Eksklusif

Dangdut, Irama Orang-orang Bawah

Manda Firmansyah — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi Dangdut

Muhammad Sholeh paham betul selera musik sebagian besar orang-orang di kampungnya, Balongpanggang, Gresik, Jawa Timur.

Tua, muda, baik laki-laki maupun perempuan sudah hampir pasti dengan senang hati mengayunkan pinggul dan tangan kala mendengar Rhoma Irama berdendang.

Hidup di antara para penyuka dangdut bukan persoalan bagi Sholeh. Malah, itu ladang cuan baginya. Jalan ceritanya dimulai sebagai seorang tukang sewa sound sistem pada 1988, saat di mana musik dangdut menyelinap ke telinga setiap orang di sekitarnya.

“Dulu saya usaha sound 1988. Dulu kalau di kampung-kampung yang ramai dangdut mas, di desa, di kampung dangdut,” ujar Sholeh saat berbincang dengan Asumsi.co baru-baru ini.

Memasuki tahun 1995, Sholeh mencoba hal baru. Ia cek ombak. Sholeh mengajak seorang musisi Surabaya untuk menggung di kampungnya. Kepiawaian musisi itu bermain keyboard, kata Sholeh, membuatnya cepat mendapat penggemar di kampung-kampung. Masih belum puas dengan hal itu, Sholeh kembali bertransformasi memasuki tahun 2000-an awal.

“Tahun 2000 buka grup musik dangdut, dengan dangdut komplit, tetapi musisi-musisinya belum paten,” ujar Sholeh.

Dengan grup musik OM SERA alias Orkes Melayu Selera Rakyat, Sholeh mentas dari satu panggung ke panggung yang lain. Dari satu kampung ke kampung lain. Ia tak pilih-pilih acara, asalkan nominal kontrak menyenangkan, OM SERA pasti bermain dengan sepenuh hati.
Tanpa sadar, Sholeh membuat kemajuan besar.

Awal 2000-an fenomena pembajakan Video CD sudah menjadi ancaman bagi setiap musisi di tanah air. Namun, tidak bagi OM SERA. Kaset-kaset CD bajakan OM SERA laku keras di pasaran. Bagai mata pisau, meski merugikan, hal itu membuat nama grup OM SERA melejit.

“Waktu itu ada VCD, waktu itu baru-baru ada. Shooting VCD itu, kami sortir. Enggak tahunya kok ada yang copy. Dicopy-copy orang, hasil VCD-nya, sampai ke Rembang 2004 itu, baru kami (diundang) ke luar kota ke Rembang itu pertama,” ujar Soleh.

Rembang menjadi titik pijak perjalanan OM SERA mencicipi panggung-panggung seantero Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurut Sholeh, musik dangdut semakin berkembang pesat setelah 2010.

“Dangdut sekarang lagi ngetrend. Anak-anak muda semua senang dangdut. Kalau dulu (pada 1990-an), yang suka dangdut itu orang-orang pedesaan, orang-orang pelosok. Kalau (orang) Surabaya enggak begitu suka. Sekarang masyarakat desa dan masyarakat kota, semua sudah suka dangdut,” ujar Sholeh.

Di balik istilah dangdut

Andrew N. Weintraub dalam buku ‘Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia’ menilai, asal usul nama dangdut berhubungan langsung dengan akarnya yang masyarakat kelas bawah. Pada awal 1970-an, salah satu anggota band rock Giant Step, Benny Soebardja mencirikan dangdut sebagai musik tai anjing. Editor di majalah musik Aktuil menggunakan istilah tersebut sebagai label yang menghina untuk karakteristik musik dan pola drup yang gigih ‘dang-dut’.

“Rhoma Irama menyatakan bahwa nama dangdut sebenarnya adalah istilah hinaan yang digunakan oleh kaum yang kaya terhadap musik daerah miskin. Mereka menertawakan bunyi gendang, unsur dominan dalam orkes Melayu,” tulis Weintraub.

Konflik antara dangdut dan rock dianggap berakhir setelah Rhoma Irama dari Soneta Group dan Ahmad Albar dari God Bless berada di satu panggung. Majalah Aktuil edisi 237 tahun 1978 melaporkan, pertemuan dua tokoh musik berlainan kiblat yang memiliki penggemar fanatik dalam jumlah besar itu.

“Tentu saja itu satu pertanda yang baik bagi cakrawala musik kita untuk masa-masa mendatang. Betapa tidak? Anda tahu bahwa pada tahun-tahun kemarin antara rock dan dangdut seolah-olah telah terjadi semacam ‘perang dingin’ di kalangan para pecinta dan musisinya. Untunglah hal ini bisa diselesaikan secara baik dan mulia atas kesadaran dari mereka-mereka yang terlibat di dalamnya,” tulis Majalah Aktuil edisi 237 tahun 1978.

Stereotipe kampungan

Pengamat musik dangdut Ryan Kampua menilai, dangdut memang musik yang lekat sekali dengan masyarakat bawah. Ia menganggap, dangdut identik dengan kampungan karena penyampaian aransemen dan lirik lagu yang syahdu dan mendayu-dayu. Namun, sekarang musik dangdut sudah modern.

“(Sekarang) beberapa instrumen dalam musik dangdut juga banyak sekali unsur-unsur kekiniannya dan asik-asik saja. Kalau dulu mungkin iya (identik kampungan),” ujar Ryan.

Menurut Ryan, stereotipe ‘kampungan’ musik dangdut bukan disebabkan konflik antara Rhoma Irama dan Benny Soebardja.

“Konflik itu berdiri sendiri. Itu disebabkan media (Aktuil). Itulah yang digoreng. Kalau dulu sifatnya begitu pekerjaan media, biar ada yang baca, Kebetulan memang saat itu rock sedang happening-nya (naik daun), tiba-tiba ada musik (dangdut) yang memang (pembaca majalah Aktuil) ‘ini apa sih musik, kok begini,” ucapnya.

Majalah Aktuil memang gemar mengulas musik rock yang berkiblat ke Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Sedangkan saat itu dangdut mengadopsi unsur-unsur musik dari Melayu hingga Hindi (India). Namun, kata dia, dangdut Rhoma Irama sebenarnya naik kelas justru karena memasukkan unsur rock.

Menurut Ryan, aransemen dan lirik musik sebabkan dangdut dapat diterima berbagai kelas sosial masyarakat. Aransemen dan lirik musik dangdut sederhana. Disisi lain, notasi musik dangdut ringan.

“Itu mewakili semua penikmat musik. Cuma masalah gengsi aja sebenarnya. Jadi, kita enggak perlu heran kalau sekelas Presiden aja bisa senyum dan goyang. Karena memang karakter lagunya dan ceritanya, liriknya, berhubungan dengan kehidupan, suka cita. Kalau susah ya susah banget, kalau senang, apa adanya. Enggak bisa ditutupi. Beda sama (musik) pop yang kalau senang, hiperbolanya luar biasa,” ujar Ryan.

Baca Juga:

Sisi Lain KSAD Dudung Ngajak Ngopi Sambil Joget Dangdut

Gemerlap Panggung Lady Rocker Era 1990-an

Euforia Band Rock 1970-an

Share: Dangdut, Irama Orang-orang Bawah