Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengingatkan ancaman
munculnya diskriminasi jika Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) disahkan.
Ini terkait pasal mengenai living law yang bisa merugikan kelompok rentan,
minoritas, dan potensial dipakai sebagai alat politik identitas.
“Salah satu dampak pemberlakuan RUU KUHP tercantum dalam
Penjelasan Pasal 2 RUU KUHP yang mengatur bahwa “hukum yang hidup dalam
masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana” adalah hukum pidana
adat,” ujar Sekjen DPP PSI Dea Tunggaesti dalam video yang diunggah di akun media
sosial DPP PSI pada pekan ini.
Dea melanjutkan, RUU KUHP ini membuka peluang disahkannya
hukum adat atau norma lokal yang bersifat diskriminatif.
“Sebagai perempuan, saya khawatir kelak atas nama norma adat
atau ke-lokal-an muncul aturan mengenai pembatasan perempuan. Misalnya soal
cara berpakaian perempuan atau larangan keluar malam. Data Komnas Perempuan
pada 2018 mencatat ada 421 kebijakan di tingkat lokal yang bersifat
diskriminatif,” kata Dea.
PSI menolak living law dimasukkan ke dalam Pasal 2 RKUHP
mengingat kemajemukan SARA di Indonesia, sifat-hakikat hukum adat yang tidak tertulis, magis, dan dinamis,
sampai potensi over-criminalization.
“Selain itu, langkah memasukkan pasal living law bukanlah
memuliakan masyarakat adat, melainkan negara mencoba mengambil peranan aturan
masyarakat adat. Negara dapat memuliakan
masyarakat adat dengan segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat,
bukan dengan membakukan hukum adat dan mengambil alih otoritas masyarakat
adat,” kata doktor Ilmu Hukum dari Unpad ini.
Terakhir, Dea menyatakan, memasukkan living law juga
berpotensi melanggar Pasal 28G ayat 1 UUD 1945 karena aturan adat yang berbeda
antar satu daerah dengan yang lain dan ini berpotensi membuat warga takut untuk
bertindak sesuai hak asasinya.
Baca Juga