Cuitan mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang kembali mempertanyakan kekuatan oposisi di Senayan menjadi sorotan publik. Nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut Fahri dalam kicauannya itu.
Di dalam cuitan melalui akun @fahrihamzah, ia menyebut Presiden Jokowi sempat berkeluh kesah kepadanya bahwa oposisi di Senayan sekarang lemah. Hal ini tentu membuat kita bertanya apakah indonesia sekarang masih memiliki oposisi?
Parlemen Sebagai Oposisi
Oposisi memang dibutuhkan dalam iklim berdemokrasi, tepatnya sebagai penyeimbang bagi pihak penguasa. Oposisi seringkali dimaknai sebagai partai-partai politik di parlemen yang tidak tergabung dalam koalisi pemerintah.
Namun menurut Fahri Hamzah, di dalam sistem presidensial seharusnya parlemenlah secara keseluruhan yang menjadi oposisi bagi pemerintah.
Menanggapi cuitan Fahri, Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu mengatakan oposisi tidak semata berbeda pandangan dengan pemerintah.
“Oposisi memang harus bisa efektif sekaligus mampu melahirkan alternatif sehingga publik bisa melihat ini memperkuat perspektif di publik. Tapi kalau cuma asal beda saja, ya enggak asyik,” katanya melalui pernyataannya dalam tayangan Asumsi Flash.
Sejak Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN) bergabung dalam koalisi pemerintah pasca 2019, memang hanya PKS dan Demokrat yang mengambil peran sebagai oposisi di DPR. Namun jumlah mereka hanya 104 kursi, kalah jauh dari 471 kursi koalisi pemerintah. Faktor ini dinilai menjadi alasan oposisi di DPR tidak terdengar suaranya.
Oposisi Terkalahkan
Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani mengungkapkan oposisi di parlemen saat ini posisinya memang minoritas dengan jumlah kursi yang sangat kecil. Tak heran apabila di dalam berbagai pengambilan keputusan suaranya pasti akan selalu terkalahkan.
“Karena mekanisme pengambilan keputusannya akan selalu voting. Secara nominal, secara kuantitatif kita sedikit tentunya selalu gampang terkalahkan,” kata Kamhar.
Sementara itu, anggota DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera menilai sebetulnya yang dinamakan oposisi tidak tergantung pada besar dan kecilnya kursi atau jumlah partai, melainkan tergantung dari akurasi dan ketepatan aspirasi masyarakatnya.
“Jadi saya tetap percaya, oposisi justru sekarang mendapatkan tempat yang luas dan besar ketika kita betul-betul mampu untuk mengangkat akurasi dan aspirasi,” katanya.
Mardani mengungkapkan, saat ini PKS memilih sebagai oposisi yang sifatnya kritis dan konstruktif, bukan kritis dan destruktif. Oleh sebab itu, ia tak heran bila sebagian masyarakat menganggap PKS sebagai oposisi yang tidak eksis.
“Contohnya tidak ada sosok yang atraktif lagi, sosok yang katakanlah suka meledak-ledak. Katakan suka untuk mengambil panggung. Mayoritas memang kita proporsional berbasis data analisa,” terangnya.
Hak Politik Publik
Kamhar Lakumani menimpali, partainya yang memposisikan diri sebagai oposisi selama ini tidak pernah berhenti untuk terus menyampaikan serta mengajak publik supaya hadir untuk hak politiknya.
“Sehingga ada kontrol terhadap kekuasaan. Kita tidak mau penguasa dengan operasi politik Oligopolinya untuk kemudian semena-mena menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan,” tegasnya.
Tantangan ini pun disambut baik oleh Masinton sebagai anggota partai koalisi. Ia justru mengharapkan ada perlawanan berarti untuk membuat pertempuran perspektif dalam berdemokrasi semakin seru.
Menurutnya, saat menjadi oposisi PDIP selama ini melakukan perlawanan. Sebab, prinsip PDIP berada di dalam maupun luar pemerintahan sama baiknya. “Ini sama mulianya untuk berpikir dalam konteks kepentingan bangsa,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati menilai meski sudah dalam satu koalisi terkadang dalam menyampaikan suara tetap berbeda sesuai aspirasi masing-masing.
“Tidak dalam satu ide yang sama. Misalnya kita bicara soal Undang-undang Pemilu. Walaupun dalam satu koalisi pasti maunya berbeda-beda. PDIP maunya sistem yang A, Golkar yang B, dan Nasdem maunya yang C. Jadi walaupun sudah dalam satu posisi yang sama, itu bisa terjadi,” terangnya.
Tak Manfaat
Berlawanan dengan perspektif di atas, sejumlah cendekiawan justru meragukan peran oposisi dalam iklim demokrasi di Indonesia. Mereka ragu akan relevansi dan kekuatan perlawanan dari pihak oposisi. Tak hanya kekuatannya, bahkan semangatnya pun dipertanyakan.
Peneliti FORMAPPI, Lucius Karus menyebut keberadaan oposisi seperti tidak ada manfaatnya. Pasalnya, mereka harus menembus tembok yang lebih tebal untuk bisa mempengaruhi sebuah kebijakan yang diambil parlemen.
“Tapi saya kira semangat mereka juga untuk menjadi oposisi yang sesungguhnya itu juga tidak ada. Tidak terlalu terlihat,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menambahkan pada akhirnya yang terlihat dalam oposisi di negeri ini memang hanya sebatas konsistensi menunjukkan berbeda dengan pemerintah.
“Asal berbeda, asal menolak bukan karakter oposisi yang baik. Artinya tidak pernah ada solusi, tidak pernah ada dialektika tesis, antitesis dan kemudian membentuk sintesis,” kata Yunarto.
Pro dan kontra semacam ini, menurutnya hampir tidak pernah ditemukan dalam sistem demokrasi di Indonesia. Ia mengatakan merupakan sebuah kesalahan besar ketika terbentuknya kubu oposisi dan koalisi bukan didasarkan perbedaan ideologi atau ide secara programatik.
“Misalnya, kaum Republik dan Demokrat di Amerika Serikat. Mereka memang memiliki ideologi yang berbeda, sehingga program yang ditawarkan sesuai dengan ideologinya,” kata Yunarto.
Sesungguhnya, tak hanya legislasi yang menjadi tugas orang-orang yang dipilih rakyat ini. Mengawasi jalannya pemerintahan juga menjadi salah satu kerja utama para wakil rakyat. Sayangnya, para wakil rakyat kini seolah lebih takut kepada partai daripada kepada rakyat yang memilihnya.
Jika oposisi tidak bergigi akibat sedikitnya partai di parlemen yang tidak tergabung dalam pemerintah, jangan-jangan kita memang harus ingat kembali bahwa dalam sistem presidensial, parlemen secara keseluruhanlah yang harusnya menjadi oposisi.
Baca Juga: