Sudah satu tahun lebih pandemi Covid-19 menghantam Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah pun tampak masih berupaya menekan angka penyebaran virus corona sembari memulihkan ekonomi nasional.
Namun, ada persoalan yang kerap memicu polemik di tengah masyarakat: penggunaan istilah penanganan Covid-19 yang beraneka ragam.
Setidaknya sudah ada enam istilah yang digunakan untuk menuntaskan pandemi. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Mikro, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), PPKM Mikro, PPKM Darurat, hingga saat ini yang terbaru PPKM level 1-4.
Tidak paham prioritas
Peneliti senior dari Next Policy, Defny Holidin mengatakan gonta-ganti istilah yang dilakukan pemerintah merupakan salah satu indikator adanya inkonsistensi penerapan kebijakan. Ia membandingkan dengan Jerman, misalnya, hanya fokus menjelaskan indikator-indikator apa saja yang harus dilakukan masyarakat selama pandemi berlangsung tanpa berkutat pada istilah-istilah.
“Pemerintah Jerman tidak ribet dengan istilah tapi memberi instruksi langsung bisnis apa saja yang perlu beroperasi, daerah yang wajib bermasker, dan lain-lain. Di Indonesia, logika penerapan kebijakan masih perlu dipertanyakan karena pelaksanaannya cenderung tidak konsisten,” kata Defny ketika dihubungi Asumsi.co, Kamis (22/7/2021).
Saat memerhatikan paparan Satgas Covid-19, ia menyampaikan bahwa lembaga bentukan presiden itu condong berfokus pada pemulihan ekonomi alih-alih memerhatikan angka penyebaran, kematian, dan hal-hal lain yang bersinggungan dengan kesehatan masyarakat.
Sehingga menurutnya, pemerintah terkesan menempatkan ekonomi di atas kesehatan.
Baca Juga: Susah Cari RS Hingga Dipaksa WFO Jadi Keluhan Terbanyak Selama PPKM Darurat | Asumsi
Berbagai pakar juga sudah berulang-ulang meminta pemerintah menegakkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Namun langkah yang dipilih adalah mengganti nama-nama program yang berpotensi membingungkan warga.
Tidak mau keluar anggaran
Menurut Defny, alasan pemerintah tak memiliki anggaran untuk menerapkan karantina wilayah tidak relevan. Sebab menurutnya, pemerintah bisa melakukan relokasi anggaran dari pos lain untuk disalurkan ke penanganan pandemi.
Jika tidak dilakukan maka bukan tak mungkin biaya yang harus dikeluarkan di kemudian hari akan lebih besar karena keliru mengambil keputusan.
“Dari berbagai bidang ilmu mulai ekonomi, kesehatan dan lainnya sepakat lockdown. Ini yang diabaikan pemerintah. Dari situ kita bisa lihat ada upaya menghindari konstitusi dari sebuah kepemimpinan tanpa memerhatikan dasar hukumnya,” ujarnya.
Dalam UU, Karantina Wilayah merupakan bagian respons dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Karantina Wilayah dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaranpenyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut.
Peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah menyampaikan bahwa perkiraan biaya lockdown jika diterapkan di DKI Jakarta misalnya, membutuhkan dana Rp7,39 triliun untuk 14 hari karantina.
Angka tersebut tinggal dikalikan sesuai dengan jumlah penduduk di wilayah yang menerapkan karantina wilayah.
“Asumsinya 10,56 juta penduduk dikali Rp50 ribu per hari untuk makan lalu dikali 14 hari. Tidak harus dihitung di semua daerah, cukup yang tergolong zona merah,” katanya kepada Asumsi.co.
Dengan kondisi yang ada saat ini, Rusli percaya pemerintah bisa menerapkan karantina wilayah. Persoalan ada di dalam diri para pejabat yang mau atau tidaknya melaksanakan lockdown total.
Selain itu, pemerintah juga wajib menggenjot metode Testing, Tracing, dan Treatment (3T) untuk seluruh wilayah di Indonesia.
Ia meminta percepatan vaksinasi juga perlu digencarkan. Opsi subsidi silang anggaran lembaga negara untuk penanganan Covid-19 juga bisa dilakukan, terutama lembaga yang bersinggungan langsung dengan penanganan kesehatan.
“Bisa saja, misalnya program vaksinasi massal gratis. Kalau herd immunity tercapai, pemulihan ekonomi juga akan lebih cepat,” ucapnya.
Akibat lobi-lobi
Defny berpendapat alasan pemerintah tak kunjung melakukan karantina wilayah juga bisa diakibatkan adanya lobi dari pihak eksternal. Namun, dia enggan menuding pihak yang melakukan siasat tersebut.
“Kalau potensi (lobi-lobi dengan pihak lain), bisa saja ada, tapi kita tidak bisa serta-merta tunjuk hidung siapa orangnya,” ujar Defny.
Dia hanya menyebut dalam mengambil keputusan, pemerintah tidak melakukan diferensiasi sosial-ekonomi. “Belum lagi kooptasi (di lingkungan pemerintahan) karena ada beberapa orang yang tidak berkompeten menduduki jabatan di lembaga publik,” ujarnya.
Sedangkan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyebut lobi kepada pemerintah agar tidak melakukan karantina wilayah dimungkinkan terjadi. Pasalnya, dia melihat pemerintah cenderung ke arah penanganan ekonomi dalam mengatasi pandemi Covid-19.
“Jadi yang harus diurus adalah pandeminya dulu, tidak bisa dua kaki. Negara-negara lain juga mengurus pandeminya dulu,” ujar Agus.