Teknologi

Nilainya 1 Triliun, Sandi Sayangkan Stigma Negatif Esports

Irfan — Asumsi.co

featured image
Twitter/@sandiuno

Perkembangan olahraga elektronik atau yang lazim disebut esports dalam lima tahun terakhir bisa dibilang sedang menarik perhatian. Hobi main gim yang yang selama ini dianggap sebagai sebuah hiburan belaka mulai mendapat tempat yang menjanjikan.

Dalam webinar bertajuk Leverage Esports to Grow Your Business yang dihelat via Zoom, Rabu (28/4/2021), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno menyebut kalau esports sebagai subsektor ekonomi kreatif punya kontribusi yang signifikan dalam peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Industri ini juga menjadi salah satu industri pemenang di era pandemi.

Berdasarkan data Focus Economy Outlook 2020, ekonomi kreatif dari sejumlah subsektornya termasuk gim menyumbang sebesar Rp1.100 triliun terhadap PDB Indonesia sepanjang tahun 2020.

“Subsektor game ini juga luar biasa pesatnya dengan 50 sampai 75 juta gamers segala umur. Dari milenial sampai kolonial semua main game,” kata Sandi.

Dengan begitu, tak heran kalau Indonesia masuk dalam 16 besar pasar esports dunia dengan pendapatan mencapai US$1 miliar.

Baca juga: Kampanye Partai Merambah Game | Asumsi

Kendati demikian, Sandi tak memungkiri kalau bermain gim masih sering mendapat stigma negatif. Dalam salah satu kunjungannya, Sandi pernah dihampiri oleh ibu-ibu yang langsung mengamit tangannya erat seraya meminta agar esport dilarang.

Sandi memahami keluhan ibu tersebut. Pasalnya, sering kita temui orang yang main gim sampai lupa waktu. Namun tentu hal ini bukan juga jadi alasan untuk melarang esport. Apalagi di tengah prospeknya yang spesial. Yang harus dilakukan adalah bagaimana menyalurkan bakat-bakat dari anak yang gemar main gim tersebut.

“Kalau anaknya berbakat mari disalurkan ke klub yang sudah berdiri. Dan harus diatur waktunya, dua sampai tiga jam per hari. Agar game itu jangan distigma negatif tapi diliihat sebagai potensi,” kata Sandi.

Negara, kata Sandi, dalam intervensinya pada esports pun tetap berpegang pada tiga fokus utama. Yakni fokus perlindungan anak, ideologi dan budaya, fokus promosi industri elektronik, dan fokus industri olahrga elektronik.

“Jadi jangan sampai esport ini menggerus juga ideologi dan budaya yang ada. Sementara itu, untuk promosinya, kami mendorong ekosistem yang ideal. Semakin banyak gamer di level nasional akan tumbuh ekosistem yang berdaya saing,” kata dia.

Untuk menuju ke sana, Kemenparekraf juga tentunya bekerja sama dengan berbagai sektor. Dari segi industri, misalnya, bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian, untuk penguatan jaringan yang berpengaruh besar pada pertandingan esports, bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pun bisa ambil bagian dalam muatan pendidikannya. Agar lulusan-lulusan yang ada bisa diserap oleh industri esports ini.

“Akhrinya tidak semuanya hanya jadi gamers. Tapi juga pelaku ekosistem, mulai dari pemilik tim, Event OrganizerCoach. Kita dorong terus agar gamer juga bisa terus mempromosikan game lokal. Mudah-mudahan bisa dipromosikan ke luar negeri. Untuk private sector, jadilah pahlawan dalam pengembangan industri ini,” ucap dia.

Baca juga: Bisakah eSports Jadi Kurikulum Pendidikan? | Asumsi

Rangga Danu Prasetyo dari Indonesia Esport Premiere League (IESPL) mengatakan, secara statistik pandemi justru memberi dampak baik bagi industri esports. Karena cara permainannya yang bisa dilakukan dari rumah dan interaksi jarak jauh membuat orang mulai banyak memainkan esport di masa pandemi ini.

Namun, sama seperti cabang olahraga lainnya, esport juga butuh ekosistem dan regulasi yang baik. Dan peran semua pihak baik negara dan masyarakat sangat berpengaruh untuk terus merangsang pertumbuhan cabang olahraga baru yang bisa dibilang muda ini.

Esport sudah resmi dianggap cabor, ini salah satu hal positif,” kata dia.

Di Indonesia sendiri, keunggulan esport karena pasarnya yang berbasis mobile gaming atau gim yang dimainkan di ponsel pintar. “Tidak perlu uang yang sangat mahal dan jaringan yang sangat kuat. esport juga punya potensi besar untuk semua brand. Dulu kita pikir brand terbatas (untuk mendukung kompetisi esport) untuk produk ponsel atau PC, tapi ketika kami nyemplung, ternyata luas banget,” ucap dia.

Hal ini diiyakan oleh Hans Saleh dari Garena Indonesia, advokat dan penyelenggara acara esports terkemuka di Asia Tenggara. Menurutnya, dalam lima sampai enam tahun terakhir terjadi perubahan yang signifikan dalam esport. Jika sebelumnya pemain game terbatas pada PC game dan konsol, saat ini yang menduduki arusutama justru mobile game. Di Indonesia sendiri, dari 150 juta ponsel pintar yang beredar, 50 sampai 70 juta di antaranya digunakan oleh gamers.

Namun, tentu untuk kompetisi esport sendiri ada permainan-permainan khusus yang dipertandingkan. Secara garis besar itu adalah game yang punya permainan kompetitif dan dimainkan dengan tim atau satu lawan satu. Saat ini, yang cukup sering dipertandingkan adalah game Battle Royale.

Lalu bagaimana dengan potensi game buatan Indonesia? Secara optimistis Hans menegaskan kalau potensi game Indonesia untuk dipertandingkan di kompetisi esport tentu ada. Tapi tentu butuh waktu.

Baca juga: Jess No Limit Ikut Andil dalam Piala Presiden eSports 2019 dan Menjadi Milioner Berkat Game | Asumsi

Ukurannya, kata dia, bukan hanya talenta yang sudah siap, tapi juga adanya banyak aspek yang mendukung dan relevan ke industri ini. “Lima tahun lalu misalnya, partner untuk turnamen ya terbatas yang memang menyasar dunia gim. Tapi kalau sekarang, ketika esport sudah mainstream, mereka (partner yang bukan menyasar gamers) pun menerima. Kami enggak berekspektasi secara instan, tapi perlu waktu untuk berkembang,” ujar dia.

Hartman Harris, co-founder EVOS eSports, sebuah organisasi manajemen club pemain esport profesional menyebut saat ini penghasilan gamers bukan hanya mengacu pada gaji dia sebagai atlet di tim, tetapi juga sebagai pendengung di media sosial. Kesempatan itu sangat besar.

“Karena para atlet atau tim ini ada juga fans-nya. Kalau menyebut angka, ada beberapa yang mendapat 10 sampai 20 juta rupiah per bulan dari game. Dengan modal HP dan internet bisa lompat ke level yang nyaman,” kata Harris.

Namun, perlu diketahui, meski kelihatannya hanya dimainkan dengan cara duduk dan menatap layar, para atlet esport juga perlu matang secara fisik dan mental. Oleh karena itu, kata Harris, tak ada istilah main sampai tak kenal waktu dan melupakan aktivitas-aktivitas fisik lainnya.

“Atlet itu enggak perlu main, tapi perlu latihan. Banyak juga stigma tidak perlu latihan fisik dan mental. Padahal itu perlu, karena di panggung itu bisa drop kalau fisik dan mental enggak baik,” ucap dia.

Share: Nilainya 1 Triliun, Sandi Sayangkan Stigma Negatif Esports