Isu Terkini

Ini Jalan Munarman: dari Advokat LBH ke FPI via Ba’asyir

Irfan — Asumsi.co

featured image
Tangkapan Layar YouTube/Najwa Shihab

Sosok Munarman kembali jadi sorotan. Mantan Sekretaris Front Pembela Islam ini diperbincangkan karena penangkapan dan dugaan sangkut pautnya atas jaringan aksi teror. Namun, Munarman tak ujug-ujug aktif di gerakan keagamaan. Jauh sebelum itu, pria kelahiran Palembang, 1968 silam ini justru berkecimpung di lembaga yang dekat dengan pembelaan isu Hak Asasi Manusia.

Pentolan YLBHI

Munarman adalah seorang pengacara publik. Sebagai advokat, ia merintis karirnya dengan menjadi relawan di sebuah Lembaga Bantuan Hukum di Palembang pada 1995. Tidak perlu waktu lama baginya untuk kemudian tampil lebih besar dengan menjadi koordinator KontraS Aceh sejak 1999 sampai 2000.

KontraS, seperti kita ketahui bersama, adalah lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasi di beberapa bidang, seperti perburuhan, pertanahan, lingkungan, gender, dan sejumlah kasus pelanggaran hak sipil dan politik. Aktivis Munir Said Thalib adalah salah satu pentolannya.

Dua tahun sejak mengawal kerja-kerja KontraS di Aceh, Munarman hijrah ke Jakarta dan pada 2002 terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Di lembaga bentukan begawan hukum Adnan Buyung Nasution itu, Munarman berkiprah hingga 2007.

Baca juga: Beda Pendapat Kuasa Hukum Munarman dan Polisi Soal Bahan Peledak, Mana yang Benar? | Asumsi

Mengutip Kompas, pada dua bulan masa kepemimpinannya di YLBHI, ia membuat gebrakan dengan mengungkapkan kondisi YLBHI yang mengalami krisis keuangan. Apabila tidak ada suntikan dana segar, YLBHI berikut 14 cabang LBH akan kolaps.

Dewan pengurus terpaksa mengambil keputusan kurang populer, yakni memotong gaji para staf 50 persen dan tidak pula membayarkan tunjangan hari raya (THR). Lebih lanjut, Munarman menggelar malam dana.

Dari acara sosial tersebut terkumpul Rp 1 miliar. Uang itu berasal dari kocek Taufik Kiemas Rp 500 juta, Buyung Nasution Rp 400 juta, dan alumnus YLBHI Hotma Sitompoel Rp 100 juta. YLBHI juga mendapat bantuan emergensi dari donator Triple Eleven 30.000 euro atau setara Rp 270 juta dan Novib senilai 250.000 euro (Rp 2,25 miliar)

Terpaut Pemikiran Ba’asyir

Aktivitasnya di LBH lantas memperkenalkan dia dengan sosok Abu Bakar Ba’asyir. Saat itu, Munarman menjadi pengacara Ba’asyir untuk kasus Bom Bali.

Dalam wawancara dengan Refly Harun yang disiarkan di kanal YouTube pada Desember 2020 lalu, kerja advokasinya untuk Ba’asyir mengubah pemikiran dia soal gerakan keagamaan.

Menurut dia, dalam referensi yang banyak ia baca soal ideologi, ia sering menemukan ketidakselarasan antara teori dan praktik. Dalam dunia sekuler, Munarman mencontohkan, banyak ketidaksesuaian antara satu pendapat dengan yang lain. Padahal dia lebih condong sepakat pada ideologi yang mengkonfirmasi antara norma atau teori dengan pelaksanan.

Lewat sosok Abu Bakar Ba’asyir inilah Munarman menemukan keselerasan tersebut. “Dari proses pembelaan itu, saya banyak melihat kesesuaian sikap dengan tindakan dia (Abu Bakar Ba’asyir). Selisihnya sedikit. Saya lihat seorang Ustad, sudah sepuh, digugat soal aksi teror besar, saya lihat dia tak ada mengeluh sediki pun. Padahal lagi kondisi sakit waktu itu,” kata Munarman.

“Saya suka orang yang konsisten dalam perkataan dan perbuatan,” Munarman menambahkan.

Lalu dalam pencariannya, ia malah bergabung dengan FPI.

Baca juga: Aksi Munarman di Sidang Rizieq Shihab: Debat Jaksa Hingga Sindir Pasal Tempelan | Asumsi

Munarman menceritakan, singgungannya dengan FPI dimulai saat ia mengomandoi aksi penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 2008. Saat itu dia masih menjabat sebagai Panglima Komando Laskar Islam. Dalam aksi ini bergabung sejumlah laskar termasuk FPI.

Aksi demo menolak kenaikan BBM ini lantas diwarnai oleh kerusuhan. Massa laskar menyerang massa Aksi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang kebetulan sedang menggelar parade di tempat yang sama. Munarman yang menakhodai serangan ke massa kebudayaan lantas ditangkap. Bersamanya, ditangkap pula Rizieq Shihab dari FPI.

“Saya sebagai penanggung jawab kelaskaran harus bertanggung jawab atas bentrok itu, sempat diadili, kebetulan bareng Habib Rizieq, diproses, divonis 1 tahun 6 bulan,” ucap dia.

Selama dalam masa kurungan, bersebelahan dengan sel Rizieq selama 9 bulan dan dipindah ke lapas terbuka, Munarman mengaku banyak belajar aspek-aspek ilmu keagamaan. Mulai dari yang sederhana, seperti memperbaiki salat, bagaimana tata cara salat, sampai pemikiran dan perbedaan mahzab.

Keluar dari lapas pada 2009, Munarman makin intensif berkomunikasi dengan Rizieq hingga ditawarkan aktif bergabung di FPI. “Sejak 2009 akhirnya saya itu ketua-ketua bidang. Pertama Ketua Bidang Nahi-Munkar 2009-2013. Setelah itu, karena referensi saya cukup banyak, saya jadi Ketua Badan Ahli, jadi dewan pakar sampai 2015, dan dilanjut sebagai Ketua Bidang Keorganisasian untuk menata FPI agar strukturalnya lebih lincah. Sudah itu beres, saya diminta untuk jadi sekum,” ucap dia.

Meski demikian, pengalaman-pengalaman ini tidak membuat dirinya merasa bergeser dengan aktivitas sebelumnya di LBH. “Tapi aktvitas tidak ada perubahan, dulu saya bela buruh, petani, di LBH saya garap isu pertanahan. Dulu membela petani lewat LBH, kini lewat FPI, dan saya merasa banyak orang Islam yang terpinggirkan,” kata dia.

Dugaan Terlibat Jaringan Teror

Setelah sempat ditahan pada 2008 lalu, Munarman kini kembali berhadapan dengan hukum. Dugaannya adalah keterlibatannya pada jaringan teror yang berafiliasi dengan ISIS. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan Munarman ditangkap karena mengikuti sejumlah baiat di Jakarta, Makassar dan Medan.

Saat ini, Munarman masih dalam proses pemeriksaan dan dalam hukum penyidik merujuk pada penangkapan. Ramadhan menjelaskan, penyidik Densus 88 memiliki waktu hingga 21 hari untuk melakukan proses pendalaman. Hal ini merujuk pada ketentuan Undang-undang nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme.

Beleid itu menuliskan bahwa penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap terduga terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk 14 hari pertama.

Kemudian pada Pasal 28 ayat (2) disebutkan, apabila waktu penangkapan tak cukup maka penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk jangka waktu paling lama tujuh hari.

Share: Ini Jalan Munarman: dari Advokat LBH ke FPI via Ba’asyir