Pemerintah melalui 3 kementerian/lembaga telah meneken Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). SKB ini ditanda tangani Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Rabu (23/6/2021) kemarin.
Apa Isinya?
Menko Polhukam Mahfud MD mengharapkan SKB ini bisa menjadi pedoman terhadap aturan UU ITE selama dilakukan revisi terbatas. Sebagaimana diketahui, pemerintah kini sedang merevisi empat pasal di Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Sambil menunggu revisi terbatas, pedoman implementatif yang ditandatangani tiga menteri dan satu pimpinan lembaga setingkat menteri bisa berjalan dan bisa memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada masyarakat,” kata Mahfud seperti dikutip dari Kompas.com.
Ia menerangkan SKB ini disusun usai sejumlah pihak memberikan masukan, mulai dari Polri, Kejaksaan Agung, Kemenkominfo, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), hingga para korban, maupun pihak pelapor dan perlapor.
“Di tengah suasana pandemi yang meningkat, kami tetap melaksanakan tugas kenegaraan dan tata pemerintahan, tadi kami berempat, saya Menko Polhukam, Menkominfo, kemudian Jaksa Agung, kemudian Kapolri, menindaklanjuti keputusan rapat kabinet internal tanggal 8 Juni 2021 kemarin,” tuturnya.
Sumber yang sama melaporkan, pedoman yang tertuang dalam SKB ini, kata dia adalah implementasi pasal-pasal UU ITE, antara lain pasal 27, 28, 29, dan 36 yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Pasal 27 ayat (1)
Fokus pasal ini adalah pada perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya, bukan pada perbuatan kesusilaan itu. Pelaku sengaja membuat publik bisa melihat atau mengirimkan kembali konten tersebut.
b. Pasal 27 ayat (2)
Fokus pasal ini adalah pada perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya konten perjudian yang dilarang atau tidak memiliki izin berdasarkan peraturan perundang-undangan.
c. Pasal 27 ayat (3)
Fokus pasal ini adalah:
(1) Pada perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan maksud mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum.
(2) Bukan sebuah delik pidana jika konten berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, juga jika kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.
(3) Merupakan delik aduan sehingga harus korban sendiri yang melaporkan, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
(4) Bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik jika konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas.
(5) Jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE, kecuali dilakukan oleh institusi Pers maka diberlakukan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Baca Juga : Revisi UU ITE, Pemerintah Diminta Tak Hanya Fokus pada 4 Pasal
d. Pasal 27 ayat (4),
Fokus pasal ini adalah perbuatan dilakukan oleh seseorang ataupun organisasi atau badan hukum dan disampaikan secara terbuka maupun tertutup, baik berupa pemaksaan dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum maupun mengancam akan membuka rahasia, mengancam menyebarkan data pribadi, foto pribadi, dan/atau video pribadi.
e. Pasal 28 ayat (1),
Fokus pasal ini adalah pada perbuatan menyebarkan berita bohong dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan daring dan tidak dapat dikenakan kepada pihak yang melakukan wanprestasi dan/atau mengalami force majeur. Merupakan delik materiil, sehingga kerugian konsumen sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya.
f. Pasal 28 ayat (2)
Fokus pasal ini adalah pada perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu/kelompok masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu/kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan.
g. Pasal 29
Fokus pasal ini adalah pada perbuatan pengiriman informasi berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi atau mengancam jiwa manusia, bukan mengancam akan merusak bangunan atau harta benda dan merupakan delik umum.
h. Pasal 36
Fokus pada pasal ini adalah kerugian materiil terjadi pada korban orang perseorangan ataupun badan hukum, bukan kerugian tidak langsung, bukan berupa potensi kerugian, dan bukan pula kerugian yang bersifat nonmateriil. Nilai kerugian materiil merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.
Pada prinsipnya, tegas Mahfud, pedoman ini merespons suara masyarakat bahwa UU ITE itu kerap memakan korban karena mengandung pasal karet yang memicu terjadinya kriminalisasi dan diskriminatif.
Berpotensi Bikin Takut Masyarakat
Menyadur Kompas.com, ada sejumlah pasal karet atau bermasalah di dalam UU ITE, salah satunya Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Pasal ini disebut dapat digunakan untuk mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis. Selain itu juga dianggap publik mengekang hak mereka untuk mengkritik pihak polisi dan pemerintah.
Bunyi pasal tersebut adalah, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE menilai hingga kini polemik Undang-undang ini, sesungguhnya belum selesai di tengah publik, meski pemerintah tengah berambisi merevisinya.
Damar mengungkapkan, revisi yang dilakukan pemerintah kali ini akan jadi jilid ketiga perubahan UU ITE dalam kurun waktu kurang dari 15 tahun terakhir.
“Seakan enggan belajar dari serangkaian penolakan publik, wacana revisi UU ITE kali ini bergulir bersamaan dengan digodoknya Omnibus Law sektor digital. Mewakili Koalisi Masyarakat Sipil, kami menyayangkan minimnya keterbukaan serta proses partisipasi publik yang semu dari pemerintah,” ujarnya lewat keterangan tertulis yang diterima Asumsi.co, Kamis (24/6/21).
Sebelumnya, kata dia Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menko Polhukam Mahfud MD kompak mengklaim bahwa perubahan ini bertujuan menghilangkan pasal-pasal karet dari UU ITE. Namun, hingga kini menurutnya masih terdapat kesimpangsiuran substansi pasal mana yang akan direvisi.
“Dari informasi yang beredar di media, didapati empat pasal masuk dalam daftar koreksi, diantaranya Pasal 27 ayat (1), (2), (3), & (4), Pasal 28 ayat (1) & (2), Pasal 29, dan Pasal 36,” jelasnya.
Selain itu, ia menduga ada rencana penambahan satu butir Pasal 45C tentang penyebaran kabar bohong berujung keonaran dan kabar tidak pasti, sebagaimana diduga berbunyi:
1. Setiap Orang dengan sengaja menyebarluaskan informasi atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat yang dilakukan melalui sarana elektronik, Informasi Elektronik, dan/atau Dokumen Elektronik diancam pidana dengan pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda maksimal Rp10 miliar.
2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarluaskan informasi elektronik yang berisi pemberitahuan yang tidak pasti atau yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia patut menyangka bahwa hal itu dapat menimbulkan keonaran di masyarakat yang dilakukan melalui sarana elektronik, Informasi Elektronik, dan/atau Dokumen Elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp4 miliar.
“Penambahan satu pasal yang terakhir justru kontradiktif dengan harapan publik akan dihapusnya pasal-pasal bermasalah dan justru rentan disalahgunakan,” ucapnya.
Baca Juga : Pelaku Konten Asusila Bakal Tak Lagi Dijerat UU ITE, Ini Gantinya
Pasalnya, dalam aturan yang ada saat ini, lanjut dia definisi berita bohong atau hoaks sangat samar dan tidak memungkinkan orang untuk dapat mengetahui jenis perilaku apa yang dapat diterima.
“Pasal ini juga dapat menimbulkan pelanggaran hukum saat prakteknya tidak dapat diterapkan secara setara atau terjadi tebang pilih penindakan,” katanya.
Ia pun menilai, penggunaan sanksi kriminal berat seperti maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar rupiah merupakan hal yang tak diperlukan dan tidak proporsional.
“Selain itu, penambahan pasal 45C akan berpotensi membuat masyarakat takut untuk berpendapat di ranah daring dan akan berpotensi memperbanyak kasus kriminalisasi atas ekspresi digital warganet yang sah,” terangnya.
Penyusunan Draft SKB Tak Libatkan Parisipasi Publik
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Indonesia AJI Jakarta Afwan Purwanto, menegaskan masih terdapat permasalahan dalam implementasi UU ITE yang tidak dapat diselesaikan dengan pedoman yang tertuang dalam SKB tersebut.
“Alasannya, kami menilai yang menjadi salah pokok permasalahannya adalah ketidakjelasan atau kekaburan norma hukum yang tercantum dari pasal-pasal yang selama ini lebih sering digunakan untuk mengkriminalisasi warganegara, dana karenanya melanggar Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi,” jelas dia.
Selain itu, pihaknya juga menyayangkan bahwa draft SKB tersebut belum pernah dibuka ke publik sehingga minim partisipasi publik dan menunjukan bahwa proses penyusunan tidak terbuka dan tidak partisipatif.
“Padahal, partisipasi publik yang bermakna, efektif dan inklusif merupakan bagian yang sangat penting dalam penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia,” ucapnya.
Menurutnya kehadiran pedoman ini justru menegaskan kalau pemerintah mengakui selama ini UU ITE penuh dengan masalah. Selain itu, Afwan mengingatkan kalau SKB tidak boleh dianggap sebagai proses pengganti revisi UU ITE namun dianggap sebagai aturan transisi, sebelum adanya revisi UU ITE.
“Kami menekankan agar praktik pembuatan pedoman untuk menjawab revisi sebuah undang-undang bermasalah tidak menjadi kebiasaan di Indonesia,” ungkapnya.
Pemerintah Mesti Perbaiki Nama Baik Korban Pasal Karet UU ITE
Afwan mendesak pemerintah supaya tetap memprioritaskan dan menjaga komitmen revisi UU ITE. Salah satu langkah yang harus segera diambil Pemerintah, kata dia segera melakukan pengajuan revisi dan pembahasan dengan DPR RI.
Ia juga mendorong Pemerintah untuk lebih terbuka dan partisipatif dalam proses penyusunan revisi UU ITE, dengan sungguh-sungguh melibatkan masyarakat terdampak regulasi, termasuk mereka yang bekerja di bidang jurnalistik.
“Perlu diingat bahwa proses regulasi Undang-Undang atau merevisi UU ITE juga dapat memakan waktu yang panjang. Maka dari itu, moratorium kasus UU ITE menjadi penting untuk pemerintah untuk tidak memproses kasus-kasus yang berhubungan dengan pasal-pasal karet tersebut,” jelas dia.
Ia juga meminta supaya semua proses hukum yang sedang berlangsung berkendaan dengan pasal karet ini disetop .”Apalagi negara tahu dan mengerti bahwa adanya pasal-pasal karet UU ITE yang bermasalah, dapat melanggar hak kebebasan berpendapat dan berkespresi,” imbuhnya.
Selain itu, dirinya juga menilai penting pemulihan nama baik korban yang sudah terbukti dijerat pasal-pasal karet UU ITE. “Ini merupakan bentuk hak asasi yang harus penuhi dan dilakukan oleh negara saat ini. Serta sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia,” ujar Afwan.