Isu Terkini

Revisi UU ITE, Pemerintah Diminta Tak Hanya Fokus pada 4 Pasal

Irfan — Asumsi.co

featured image
Tangkapan Layar YouTube/Kemenko Polhukam

Setelah sempat dinyatakan batal revisi, pemerintah kini sepakat untuk merevisi empat pasal di Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Lewat konferensi pers, Selasa (8/6/2021), Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, menyebut tujuan penghilangan empat pasal itu untuk menghilangkan multitafsir, pasal karet, dan upaya kriminalisasi.

Menurut Mahfud, empat pasal yang akan direvisi adalah Pasal 26 (tentang penggunaan data pribadi), Pasal 27 (distribusi konten terkait kesusilaan, judi, hingga pencemaran nama baik), Pasal 28 (tentang penyebaran hoaks hingga SARA), dan Pasal 36 (tentang perbuatan terkait konten yang dianggap merugikan). Lain dari itu, penambahan pasal 45c yang sempat diumumkan pada 2 Mei 2021 tetap akan dilakukan.

“Kami baru laporan ke presiden, dan sudah setuju untuk dilanjutkan,” kata Mahfud.

Baca juga: Karut Marut Pendataan di Indonesia: Tidak Akurat, Bocor lalu Diperdagangkan | Asumsi

Ia menuturkan, perubahan pasal ini dilakukan tanpa harus mencabut UU ITE, mengingat masih pentingnya keberadaan UU ITE untuk atur lalu-lintas komunikasi di dunia digital. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia nantinya akan bertugas menyusun draf revisi UU ITE untuk kemudian disampaikan ke DPR.

Harus Komprehensif

Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad, berharap agar pemerintah tak hanya fokus pada empat pasal dalam revisi UU ITE. Soalnya, masih banyak frasa dalam UU ITE yang cenderung multitafsir dan mengandung ketidakjelasan. Misalnya, tafsir tentang frasa ‘tanpa hak’. Implementasi frasa tersebut belum ada kepastian hukum. Ini, misalnya, dalam Pasal 32 UU ITE yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik”.

“Ketika ‘tanpa hak’ sebagai perbuatan melawan hukum, tafsir melawan hukum formil atau materiil? Ini perlu ada kejelasan,” kata Suparji.

Menurutnya, perlu juga diperjelas tafsir tentang “Membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” yang terdapat dalam pasal 27 ayat 3. Rumusan frase tersebut masih sangat luas dan bias. Demikian pula dengan tafsir kata ‘menimbulkan’.

“Harus dipertegas, pelanggaran ini sebagai delik formil atau materiil dan bagaimana konstruksi fakta tentang timbul tersebut?” ujar dia.

Baca juga: 279 Juta Data Penduduk Indonesia Diduga Bocor dan Dijual di Forum Hacker | Asumsi

Berkaitan dengan alat bukti elektronik, Suparji juga menganggap masih multitafsir. Ia menegaskan bahwa ketentuan Pasal 6 sering terjadi perbedaan penafsiran, misalnya terkait rumusan “dapat diakses”, “ditampilkan”, dan seterusnya.

“Ini menjadi penting karena berpengaruh pada teknis pembuktian ketentuan tersebut pada saat penyidikan dan persidangan,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ia berpesan agar revisi UU ITE bisa dikerjakan secara komprehensif. Perlu dicermati lagi ketentuan yang memang perlu direvisi. Sehingga sesuai landasan filosofis, sosiologis dan yuridis.  

“Revisi UU ITE tidak boleh kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital,” ucap dia.

Revisi ini juga perlu melibatkan akademisi, baik ahli pidana atau ahli bahasa, supaya menghindari frasa yang multitafsir sehingga bisa disalahgunakan. “DPR sebaiknya juga segera menyambut usulan pemerintah ini agar segera melakukan pembahasan secara bersama-sama,” ucap dia.

Baca juga: Makin Karet, Penambahan Pasal di UU ITE Dikritisi | Asumsi

Mengutip Detik, Kadiv Kebebasan Berekspresi SAFEnet Nenden Sekar Arum meminta pemerintah lebih hati-hati dalam pembahasan UU ITE.

Menurutnya, pemerintah harus melibatkan seluruh pihak sehingga masyarakat dapat memberikan masukan. Bahkan jika memungkinkan, pemerintah membuka draf revisinya sehingga masyarakat bisa ikut memberikan masukan dan mengkritisi hal-hal yang janggal.

“Kalau pemerintah memang beneran niat untuk merevisi UU ITE, harapannya adalah proses revisi itu juga harus melibatkan lebih banyak pihak, melibatkan masyarakat, supaya kami juga bisa memberikan masukan,” kata Nenden.

Share: Revisi UU ITE, Pemerintah Diminta Tak Hanya Fokus pada 4 Pasal