Isu Terkini

Karut Marut Pendataan di Indonesia: Tidak Akurat, Bocor lalu Diperdagangkan

Tommi Andry — Asumsi.co

featured image
foto: pixabay.com

Sebanyak 97.000 PNS fiktif yang terdata di Badan Kepegawaian Negara menambah panjang rentetan karut marut pendataan di Indonesia. Selama sepekan terakhir, sedikitnya terdapat tiga isu tentang bobroknya pendataan di tanah air, mulai dari data yang tidak akurat, bocor, lalu diperjualbelikan di forum digital.

Penemuan puluhan ribu PNS fiktif ini cukup mencengangkan. Bukan sekadar data yang berantakan, namun ada uang negara yang diduga menguap. Soalnya, meski fiktif, 97.000 PNS itu masih mendapatkan gaji, lengkap dengan tunjangannya. Ironisnya, gaji gaib itu bahkan sudah berlangsung bertahun-tahun.

Jika diasumsikan gaji seorang PNS beserta tunjangannya sebesar Rp 3 juta, setidaknya negara harus mengeluarkan Rp 291 miliar per bulan atau Rp 3,4 triliun per tahun untuk para abdi negara yang tidak jelas fisiknya itu. Jumlah tersebut setara dengan anggaran bansos tunai (BST) bagi 11,6 penduduk. Atau bahkan jauh lebih besar dari anggaran Kartu Indonesia Pintar, program kebanggaan Jokowi, yakni Rp 2,5 triliun tahun ini. 

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Raradiansyah mengatakan, persoalan data di Indonesia masih belum selesai. “Memang dari dulu persoalan data ini tidak pernah beres. Kebocoran demi kebocoran terus terjadi, kemudian akurasi pun rendah. Memang ini terus berulang,” katanya kepada Asumsi.co, Selasa (25/5/2021).

Baca juga: 279 Juta Data Penduduk Indonesia Diduga Bocor dan Dijual di Forum Hacker | Asumsi

Kebocoran data PNS, kata Trubus, merupakan salah satu yang fatal soalnya menyangkut keuangan negara secara langsung. Trubus pun mempertanyakan kemana uang gaji yang disalurkan pemerintah kepada data palsu itu. “Ini yang saat ini belum diungkap, bagaimana itu uang gajinya, tunjangannya. Ini kan bukan uang sedikit,” ucap dia. 

Minimnya akurasi hasil pendataan di Indonesia diakui oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat hendak menggulirkan program vaksinasi. Budi bahkan enggan menggunakan data milik kementeriannya sendiri untuk vaksinasi. Budi memilih menggunakan data milik KPU yang notabene tidak berhubungan dengan program vaksin. Mantan Direktur Bank Mandiri menyebut data KPU lebih akurat karena terus diperbaharui, terutama jelang pemilihan.

Selanjutnya, persoalan data pada program Bansos Covid-19 di Kementerian Sosial. Terdapat tiga juta data penerima yang ditolak bank karena identitasnya yang mencurigakan. Bukan diperbaharui, Menteri Sosial Tri Rismaharini lebih memilih mengalihkan distribusi dari bank ke Kantor Pos.

Trubus mengatakan, Indonesia sebenarnya terlalu banyak versi pendataan. Setiap instansi, setiap kementerian dan bahkan setiap kedinasan di setiap daerah memiliki data dengan versi masing-masing. Namun, banyaknya data itu tidak dibarengi dengan akurasi yang tinggi. Bahkan tidak sedikit data yang tidak perbaharui.

“Lihat saja Kemenkes pada program vaksin, itu tidak dipakai karena sejak tahun 2005 datanya tidak di-update. Kemudian Kemensos banyak data yang gagal. Kementerian ini punya data, kementerian itu punya data tapi akurasinya mana. Tidak pernah update. Termasuk Disdukcapil yang memiliki data berbasis e-KTP pun tidak akurat,” ucap dia.

Proteksi Lemah

Pemutakhiran data yang dilakukan pemerintah melalui digitalisasi ini tidak lantas membuat data menjadi runut dan rapih. Buruknya sistem proteksi membuat data pribadi setiap warga di Indonesia justru makin terancam. Kerap ditemukan data tiba-tiba digunakan oleh situs jual beli online. Hal yang mengkhawatirkan bila data itu sudah dipergunakan dalam kejahatan perbankan, pinjaman online, terorisme sampai penyebaran gambar pribadi di kanal dewasa.

Buruknya proteksi terhadap data pribadi ini terjadi pada bocornya 279 data warga di sebuah forum online raidsforum,com. Data yang diduga berasal kepesertaan BPJS Kesehatan itu mencakup nomor induk kependudukan, kartu tanda penduduk (KTP), nomor telepon, surel, nama, alamat, hingga gaji.

Data tersebut dijual oleh pengguna forum dengan nama id ‘Kotz’. Ia mengatakan data tersebut juga termasuk penduduk yang sudah meninggal. “Ada satu juta contoh data gratis untuk diuji. Totalnya 279 juta, Sebanyak 20 juta memiliki foto personal,” kata dia dalam utas yang dibuat pada 12 Mei 2021.

Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut telah memblokir situs tersebut. Namun, pemblokiran itu bukan berarti data yang tersebar telah terlindungi.
Baca juga: 
Mengejar Hacker 279 Juta Data dan Regulasi Keamanan Data Pribadi | Asumsi

Kebocoran data ini bukan kali pertama terjadi. Pada Mei 2020 lalu, sebanyak 2,3 juta data milik KPU pun bocor, yang kemudian diperjualbelikan di forum hacker. Data tersebut berisi warga yang masuk sebagai pemilik hak pilih pada Pemilu 2014. Data itu kemudian dijual dalam bentuk PDF, lengkap dengan nama, alamat, nomor induk kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK).

Trubus menambahkan, persoalan proteksi data pun lemah. Sistem keamanan data mudah ditembus sehingga data kerap bocornya. Ironisnya lagi, kebocoran data tidak dibarengi dengan langkah keamanan. Negara tidak mampu menjamin keamanan data warganya.

Undang-undang Data

Trubus menegaskan, pusat persoalan dari karut marutnya pendataan di Indonesia berada pada komitmen pemerintah. Pemerintah tidak memiliki kemauan secara politik untuk memerbaiki persoalan pendataan, meski sebelumnya Presiden Joko Widodo pernah menginstruksikannya. “Pak Jokowi pernah berkomitmen agar persoalan pendataan di Indonesia agar dibenahi, tapi kenyataannya tidak ada. Pemerintahannya sulit merealisasikan itu,” ucap dia.

Salah satu bukti minimnya komitmen pemerintah, yakni sampai sekarang Indonesia belum memiliki undang-undang yang khusus mengatur pendataan. Saat ini, regulasi yang ada hanya UU Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik. Regulasi itu dinilai tidak mengatur soal pendataan, serta tidak lagi relevan dengan kondisi yang ada.

Trubus menyayangkan pemerintah dan DPR RI kerap mendahulukan RUU tentang hal-hal yang dianggap tidak mendesak untuk disusun jadi regulasi. “Bahkan undang-undang data, menurut saya, lebih penting dari pada UU ITE. Harusnya UU data dulu baru UU ITE,” ucap dia.

Nantinya dalam UU data ini mengatur tentang data besar yang mencakup keseluruhan tentang warga negara, baik dari sisi pendidikan, ekonomi, kependudukan, sosial hingga kesehatan. Kebijakan yang diambil pun nantinya harus berbasis data, bukan sebatas politik.

“Mau sampai kapan bantuan yang disalurkan itu tidak tepat sasaran. Bantuan untuk pedagang kaki lima tidak tersalurkan karena tidak ada datanya, bantuan untuk orang miskin datanya semrawut. Mau sampai kapan kebijakan itu berbasis political, karena sesungguhnya harus berbasis data, karena harus tepat sasaran,” ucap dia.

Share: Karut Marut Pendataan di Indonesia: Tidak Akurat, Bocor lalu Diperdagangkan