Pasangan
 Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah sudah selesai menggelar akad nikah dan
 syukuran di Hotel Raffles, Jakarta, Sabtu (3/4/21). Acara super mewah itu
 disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi RCTI. Namun sampai hari ini,
 acara itu masih tak lepas dari kritik.
Di balik kemegahan acara pernikahan
 Atta-Aurel tersebut, ternyata banyak celah sehingga kritik dari berbagai sisi
 muncul. Dari segi tayangan, meski Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akhirnya
 mengizinkan acara itu disiarkan secara langsung oleh RCTI, namun acara
 pernikahan itu dinilai telah membajak frekuensi publik.
Sementara kehadiran Presiden Joko Widodo dan
 Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, sebagai saksi pernikahan Atta-Aurel, juga
 tak lepas dari sorotan. Keduanya dinilai tak etis mempertontonkan kehadiran dalam
 kerumunan, di saat banyak masyarakat lain kesulitan menggelar acara pernikahan
 di tengah pandemi COVID-19, bahkan ada yang dibubarkan
 sampai disanksi.
Tak berhenti sampai di situ. Kritik juga
 dialamatkan kepada Kementerian Sekretariat Negara yang mengunggah cuplikan
 video dan foto pernikahan Atta-Aurel, dimana Jokowi dan Prabowo hadir, melalui
 akun YouTube dan Twitter resminya.
Siaran Atta-Aurel Membajak Frekuensi Publik
Atta-Aurel tak sekadar menggelar acara akad
 nikah saja. Beberapa waktu lalu, keduanya juga sudah mendominasi siaran
 televisi RCTI lewat siaran langsung lamaran, siraman, dan pengajian pada Sabtu
 (13/3/21) lalu. Akad akhir pekan kemarin menjadi pelengkap dari dominasi
 rangkaian acara Atta-Aurel di RCTI.
Sebelumnya, Koalisi Nasional Reformasi
 Penyiaran (KNRP), yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat dan individu
 yang fokus pada isu penyiaran untuk kepentingan publik, sempat melayangkan
 protes dan meminta KPI menegur RCTI atas siaran lamaran Atta-Aurel.
Baca Juga: Kenapa Presiden
 dan Menteri Bisa Jadi Saksi Nikah di Luar Keluarga Inti?
Kepada Asumsi.co, Senin
 (15/3) lalu, Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo menyebut telah
 berkomunikasi dengan pihak RCTI terkait tayangan acara lamaran Atta-Aurel di
 RCTI. Menurut Mulyo, pihaknya saat itu sudah mendengar penjelasan dari pihak
 RCTI, meski tetap saja tak ada sanksi dan acara tetap lolos dan
 ditayangkan. 
S. Kunto Adi Wibowo, Dosen Ilmu Komunikasi
 Universitas Padjajaran, mengkritisi acara pernikahan selebritas seperti
 Atta-Aurel yang ditayangkan secara langsung oleh stasiun televisi.
Menurutnya, acara itu sudah membajak
 frekuensi publik, yang mestinya disuguhkan tayangan-tayangan berkualitas dan
 edukatif. Kunto menyebut muara dari permasalahan seperti ini bisa dilihat dari
 sisi siaran yang tidak bermutu.
Kunto menyebut definisi siaran berkualitas di
 Indonesia saja agak bermasalah karena, dalam riset-riset dan survei-survei
 indeks kualitas penyiaran yang dilakukan KPI, biasanya bersandar pada Standar
 Program Siaran (SPS) dan standar penyiaran, serta peraturan yang secara normatif
 mengatur pola penyiaran.
“Nah, ini yang agak bermasalah, dari acara
 yang saya baca, itu ada indikator tentang informatif di wilayah
 tayangan-tayangan atau program wisata dan budaya, kalau kita mau masukan
 pernikahannya Atta-Aurel itu di wisata dan budaya. Di situ misalnya ada
 indikator informatif, berarti mestinya ada sesuatu yang baru. Well, apakah
 pernikahan ini adalah sesuatu yang baru dalam artian konsep? Nggak juga,” kata
 Kunto saat dihubungi Asumsi.co melalui telepon, Senin
 (5/4).
Kemudian dari indikator edukatif, Kunto
 menilai indikator ini juga menjadi agak sulit didefinisikan. Apakah edukatif di
 sini sesuai dengan argumen KPI yang akhirnya mengizinkan RCTI menyiarkan acara
 nikahan Atta-Aurel, yaitu dianggap memberikan edukasi soal adat dan budaya?
“Cuma kan apakah dengan tujuan yang seperti
 itu, maka televisi jadi berhak untuk memperkosa frekuensi publik? Nah, ini
 masalah etik, menurut saya. Di dalam etika penelitian atau etika apapun itu,
 kan ada istilahnya prinsip justice, prinsip keadilan, siapa yang
 diuntungkan dan siapa yang harus menanggung bebannya.”
Kunto menyebut keuntungan yang didapat publik
 dari acara pernikahan Atta-Aurel di siaran televisi RCTI hanya sangat sedikit.
 Tentu saja, lanjutnya, yang paling banyak mendapat keuntungan adalah industri wedding pernikahan
 karena sudah masuk dalam bagian wedding industrial complex.
Menurut Kunto, ada problem di wedding industrial complex ini,
 di mana status perempuan atau status anak-anak muda ini dijadikan komoditas
 untuk sebuah perayaan pernikahan yang sebenarnya tak pernah ada. Lalu kemudian,
 ini menjadi sebuah industri yang besar di dunia dan bahkan di Indonesia.
“Kalau itu pertimbangannya, menurut saya ya
 kita bisa bilang bahwa frekuensi publik kita, sebuah komoditas yang dimiliki
 oleh publik, kepentingan publik, itu kemudian dimanfaatkan untuk akumulasi
 kepentingan lainnya yang sifatnya lebih privat dan komersial seperti wedding industrial bahkan
 industri penyiaran itu sendiri.”
Menurut Kunto, hal itu tentu saja sangat
 bertentangan dengan spirit dari
 sebuah penyiaran yang berkualitas. Padahal, kata Kunto, penyiaran yang
 berkualitas itu harus lebih soft pada tujuan-tujuan yang besar misalnya terkait demokrasi
 atau demokratisasi.
“Apakah siaran itu memungkinkan kualitas
 demokrasi kita akan naik? Apakah sebuah program itu berkontribusi pada
 memperkuat sebuah ruang informasi di Indonesia yang makin terbuka dan makin
 inklusif? Misalnya memperkuat proses demokratisasi di Indonesia dengan
 menyediakan sumber informasi yang plural. Nah, itu kan enggak ada dalam
 tayangan program Atta-Aurel ini.”
Sekretariat Negara yang Ikut Meramaikan Nikahan Atta-Aurel
Acara pernikahan Atta-Aurel ini pun merembet
 ke banyak hal. Sorotan publik juga mengarah pada Kementerian Sekretariat
 Negara, yang ikut ‘merayakan’ acara yang dihadiri Jokowi dan Prabowo itu,
 dengan mengunggah cuplikan video serta foto-foto acara pernikahan Atta-Aurel di
 akun Twitter dan YouTube resmi.
Sebagai bentuk dokumentasi dan transparansi
 dari kegiatan harian yang dijalankan seorang kepala negara, mungkin unggahan
 video dan foto itu tak jadi soal. Tapi, masalahnya, kegiatan itu diunggah di
 akun resmi milik negara, dan tak ada kaitannya dengan kegiatan kepresidenan
 atau protokoler.
Kunto menilai unggahan–video dan foto
 nikahan Atta-Aurel–oleh Kementerian Sekretariat Negara di media sosial itu
 menjadi masalah dari sisi akuntabilitas publik. Sebab, unggahan tersebut bisa
 memicu keramaian publik dan tentu saja memicu kritik-kritik karena dianggap tak
 sesuai tempat.
“Itu bukan terserah mereka juga ya dalam
 mengunggah. Mentang-mentang pakai sosial media, nggak pakai frekuensi publik,
 bukan berarti juga jadi bisa menyiarkan sesuatu yang privat di ranah publik,
 kan gitu,” kata Kunto.
Menurut Kunto, masalahnya bahwa di Indonesia,
 ada hal-hal yang masih bermasalah dengan definisi antara privat dan publik.
 Menurutnya, banyak aturan hukum dan undang-undang yang mengurusi masalah
 privat, padahal itu harusnya tidak boleh karena mestinya menjadi masalah
 publik, lalu banyak pula urusan publik yang kemudian diprivatisasi.
“Menurut saya, ujungnya sampai ke diskursus
 kita hari ini, tentang pernikahannya Atta-Aurel. Apakah pernikahannya Atta itu
 sesuatu yang privat atau publik? Kan gitu. Kalau kita ngomong Royal Wedding, ya
 jelas, kalau keluarga Kerajaan di Inggris itu publik, karena mereka juga
 didanai pajak oleh rakyat, kan begitu. Sehingga apapun urusan keluarga Kerajaan
 jadi urusan publik. Termasuk pernikahannya.”
Dalam spektrum yang lebih luas, Kunto melihat
 terkait spirit itu, pernikahan monarki di Inggris atau monarki di negara
 manapun, itu bisa jadi sebuah cara negara untuk melanggengkan sistem kekuasaan
 atau sistem budaya sebuah negara.
“Pertanyaannya apakah Atta dan Aurel ini
 adalah bagian monarki di Indonesia atau apakah Indonesia menganut monarki?
 Kalau tidak jawabannya, maka tentu saja pernikahannya Atta dan Aurel ya
 pernikahan privat. Apa yang terjadi kemarin ya, hanya motif ekonomi untuk
 meraup rating sebesar-besarnya dan untuk bisa mempromosikan wedding industrial complex tadi.”
Sampai Kapan Publik Disuguhkan Acara Privat Selebritas?
Menurut Kunto, permasalahan seringnya siaran
 langsung selebritas membajak frekuensi publik, tak akan berhenti sampai di sini
 dan berpotensi akan terulang di masa mendatang. Ia menilai masalahnya di
 Indonesia itu sebetulnya bukan pada aturannya, tapi pada penegakan hukumnya.
Tengok saja, jauh sebelum acara Aurel-Atta,
 siaran langsung pernikahan selebritas juga pernah ditayangkan televisi, seperti
 pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina pada tahun 2014 di Trans TV.
Acara tersebut digelar selama dua hari dua
 malam pada 16-17 Oktober, sejak pukul 08.00 hingga 22.00 alias 14 jam per hari.
 KPI saat itu melayangkan teguran karena menilai siaran tersebut bukan untuk
 kepentingan publik sebagai pemilik utuh frekuensi.
Ada juga siaran langsung pernikahan orang tua
 Aurel sendiri, Anang Hermansyah dan Ashanty pada tahun 2012 yang digelar tiga
 jam penuh. 
Jauh sebelumnya, acara pernikahan Eko Patrio-Viona Rosalina pada 12 Oktober
 2001 silam juga disiarkan secara langsung oleh stasiun
 televisi Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), kini MNC TV. Kala itu, tayangan
 pernikahan Eko menyulut emosi pecinta sepakbola lantaran menggagalkan siaran
 langsung big match Liga
 Primer Inggris antara Liverpool vs Manchester United.
Lalu, sampai kapan masyarakat harus
 menanggung beban dengan disuguhkan tayangan-tayangan yang tidak edukatif
 tersebut?
“Sampai akhirnya KPI atau lembaga-lembaga
 penyiaran yang independen ini punya taji dan bisa bertarung melawan kepentingan
 modal maupun kepentingan negara. Dan sepertinya sejak dari reformasi justru
 trennya semakin melemah. Jadi saya nggak heran kalau ini akan terus berulang di
 tahun depan dengan ada siaran langsung selebriti yang menikah.”
Senada dengan Kunto, Pakar Kebijakan Publik
 Dr. Trubus Rahadiansyah, menilai tak etis kalau Kementerian Sekretariat Negara
 mesti sampai mengunggah foto dan video pernikahan selebritas, di akun media
 sosial resmi milik negara. Menurutnya, itu tak ada hubungannya dengan urusan
 negara.
“Mestinya kan sesuai dengan tugas pokok
 fungsi atau tupoksinya, itu kan melaksanakan kegiatan-kegiatan presiden yang
 terkait dengan protokoler negara. Nah, kalau ini kan bukan terkait tugas atau
 protokoler negara. Yang jelas tidak pas lah,” kata Trubus saat dihubungi Asumsi.co melalui
 telepon, Senin (5/4).
Menurut
 Trubus, langkah Kemensesneg itu justru memancing reaksi publik terkait dengan
 perilaku diskriminasi negara terhadap masyarakat lainnya. Ia pun menyoroti
 misalnya terkait sulitnya orang-orang mengurus pernikahan di tengah pandemi
 COVID-19. Bahkan tak sedikit yang dibubarkan oleh petugas di lapangan hingga
 dikenai sanksi.
“Sedangkan mereka-mereka ini dengan mudahnya
 mendapatkan izin. Apalagi kan sekarang kita lagi PPKM, jadi nggak boleh dong
 sembarangan menggelar acara. Itu kemudian kan itu juga mendatangkan kerumunan,
 kan nggak boleh tuh, nanti ada pelanggaran protokol kesehatan, nggak?”
Menurut Trubus, Kemensesneg mestinya
 mempublikasi video dan foto yang terkait dengan public goods,
 sehingga kalau urusannya terkait private goods, itu mestinya jangan sampai
 diunggah, bahkan harusnya tak boleh.
“Persoalannya jadi cenderung politis juga ya
 sebenarnya, karena Atta itu dicintai milenial, jadi akan lebih banyak
 tarik-menarik kepentingan politik. Makanya kan ada Menteri Pertahanan segala di
 situ yang hadir, ada ketua MPR juga. Jadinya kan itu kalau dikerucutkan ada
 perwakilan partai-partai di situ. Tapi tetap saja itu kurang etis, melanggar public civility, melanggar
 kesantunan publik.”