Isu Terkini

Ribut-ribut soal Awasi Podcast-TikTok Hingga Tayangan Atta-Aurel, KPI Akhirnya Buka Suara

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi: Asumsi.co

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kembali jadi sorotan luas terkait rencana mengawasi konten media sosial baru seperti Podcast dan TikTok. KPI dianggap terlalu ikut campur urusan yang bukan domainnya, tapi di sisi lain malah membiarkan penayangan siaran langsung acara lamaran selebriti di salah satu stasiun televisi nasional. Apa tanggapan KPI?

Hari-hari ini, KPI kembali muncul ke permukaan. Pada Jumat (12/3/21) lalu, Ketua KPI Pusat Agung Suprio menyebut akan mendukung dan mendorong pembuatan aturan dan pengawasan media sosial baru, di antaranya Podcast dan TikTok.

Menurut Agung, saat ini ada kekosongan regulasi soal pengawasan tersebut. Aturan ini, katanya, dianggap perlu untuk melindungi karakter bangsa. Ia khawatir konten media baru dapat menjadi pengaruh negatif pada generasi muda.

Tapi, rencana pengawasan itu justru dikritik berbagai pihak. Mulai dari Podcaster, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), hingga Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP), yang menilai KPI tak perlu terlalu ikut campur dalam pengawasan media sosial baru, sehingga lebih baik memantau sektor penyiaran yang selama ini banyak sorotan.

Apalagi, KPI dinilai justru malah membiarkan terjadinya perampasan hak publik menerima tayangan siar yang berkualitas, dengan membiarkan penayangan siaran langsung acara lamaran sampai pernikahan selebriti di salah satu stasiun televisi nasional.

Terkait polemik tersebut, Asumsi berbincang langsung dengan Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo. Ia menanggapi beberapa hal termasuk soal rencana pengawasan Podcast dan TikTok hingga soal kontroversi penayangan siaran langsung acara lamaran Atta Halilintar-Aurel Hermansyah di salah satu stasiun televisi nasional.Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana tanggapan KPI soal kritik dari berbagai pihak, seperti SAFENet, Podcaster, hingga KNRP, terkait rencana KPI mengawasi media sosial baru Podcast dan TikTok? 

Mulyo Hadi: Kalau punya kepedulian, iya, karena begini, karena media-media itu kan selama ini belum terawasi secara aktif ya. KPI (lebih) mengawasi media penyiaran itu. Nah, padahal di situ (media sosial baru) ada konten-konten yang, menurut pengamatan kami, perlu diperhatikan terkait dengan dampak yang ditimbulkan pada masyarakat, terutama anak-anak dan remaja.

Kalau mengawasi, selama di dalam Undang-undang (UU) belum ada amanah untuk melakukan itu, kami tidak akan kemudian berinisiatif ke sana. 

Berarti, dalam setiap pengawasan itu, KPI ingin mengedukasi masyarakat, ya?

Mulyo Hadi: Mengantisipasi. Prinsipnya mengantisipasi kemungkinan dampak yang ditimbulkan. Tapi, kami belum akan melakukan sebelum Undang-undang mengamanatkan itu untuk mengawasi.

Bagaimana tanggapan KPI soal polemik penyiaran acara personal seperti lamaran selebriti Atta Halilintar-Aurel Hermansyah kemarin di ruang penyiaran televisi?

Mulyo Hadi: Ya, ini sedang menjadi wacana publik ya, sesuatu yang kayaknya menarik  untuk diperbincangkan dan kami juga sudah mengambil langkah-langkah. Kami tidak abai sebetulnya, kami melakukan langkah-langkah.

Yang pertama, yang kami lakukan, kadang jujur saja ya, saya pribadi itu mendapatkan informasi melalui flyer itu agak terlambat. Makanya kemudian hari Jumat sore saya baru dapat, sehingga kemudian kami coba konfirmasi ke pihak RCTI, ke orangnya yang biasa berhubungan dengan KPI, cross check-nya. Untuk menanyakan apakah ini informasi resmi dari RCTI atau enggak. Baru hari Sabtu pagi, sekitar pukul 8 ya, saya baru diberi jawaban dan jawaban itu juga akan melanjutkan pertanyaan itu kepada manajemen.

Dan hari ini, Senin (15/3/2021), RCTI menyatakan, karena baru saja selesai tadi (pertemuan), mereka mengatakan bahwa sebetulnya itu bukan publikasi resmi yang dikeluarkan melalui media sosial officialnya RCTI dan juga tidak ditampilkan di website resminya RCTI.

Jadi mereka mengatakan mereka tidak tahu siapa yang memuat itu.Nah, terkait dengan hal itu, kami menyayangkan karena ada beberapa program sejenis. Kurang lebih sih di dalam catatan riwayat sanksi kami itu ada empat program, mulai dari tahun 2014 sampai 2015, sudah pernah ada sanksi yang dijatuhkan termasuk di antaranya kan juga kepada RCTI.

Sehingga itu mestinya bisa menjadi referensilah. Kira-kira itu layak atau tidak.

Berarti, ke depan, KPI akan sigap ya kalau ada rencana penayangan konten-konten personal seperti pernikahan publik figur itu di TV nasional swasta?

Mulyo Hadi: Ya, kami harus memastikan betul karena kami kan pengawas isi siaran ya. Jadi, karena belum tayang, ya memang kami tidak, kami jarang sekali masuk pada persoalan-persoalan pra-produksi begitu atau produksinya bahkan juga tidak.

Tapi kalau kemudian ada sesuatu hal yang bisa menimbulkan keresahan masyarakat, kami akan mencoba masuk ke wilayah sana, memastikan apakah betul itu akan sama karena memang, seperti yang disampaikan dalam flyer itu, tidak hanya apa, pertunangan begitu, tapi ada prosesi yang lain yang kemudian dipublikasikan di sana sehingga meminta penjelasan tadi kepada RCTI sih, begitu.

Sekarang opini yang berkembang di publik itu ramai soal sikap KPI yang dianggap tebang pilih dalam menegakkan aturan. Terhadap media-media baru Podcast dan TikTok, mau diawasi, tapi tayangan public figure justru lengah. Apa yang mau disampaikan KPI?

Mulyo Hadi: Kami tidak mau, belum akan mengurusi soal TikTok, YouTube dan media-media sosial yang lainnya, sepanjang belum ada amanah yang diberikan kepada KPI di dalam Undang-undang. Jadi, kami tidak akan melakukan itu.

Kalau kami punya kepedulian, itu kan sebetulnya ada beberapa kepentingan. Kenapa? Yang pertama, ya melihat potensi dampak, misalnya di Instagram itu, mohon maaf saja lah, kalau kita lihat, banyak juga kan foto-foto yang dari segi cara berpakaian sendiri sudah sangat tidak etis begitu.

Kemudian (yang kedua), juga media sosial YouTube, TikTok, dan sebagainya, itu kan keberadaannya secara hukum di Indonesia, itu legalitasnya belum jelas keberadaan hukumnya.

Yang ketiga, ya (media-media sosial baru), itu belum memberikan apapun kepada negara ini kan, baik itu dalam bentuk pajak, baik itu juga termasuk sumber daya manusia dalam arti yang mengoperasionalkan manajemen dan sebagainya. Kalau soal content creator-nya, iya, penghasilan atas itu, iya.

Tapi, legalitas, kalau kemudian ada persoalan terhadap konten-konten itu, gimana kemudian kita mau meminta pertanggungjawaban? Kan itu, itu juga penting. Beda dengan penyiaran, kalau penyiaran ada persoalan kayak begini kan yang diviralkan oleh masyarakat begitu, lalu kemudian kita bisa memanggil RCTI. Bisa ada tindakan.

Share: Ribut-ribut soal Awasi Podcast-TikTok Hingga Tayangan Atta-Aurel, KPI Akhirnya Buka Suara