Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menggagas adanya pengawasan sosial media serta media informasi baru di Indonesia, Jumat (12/3). Hal ini, disampaikan Ketua KPI Pusat Agung Suprio mendukung sekaligus mendorong pembuatan aturan dan pengawasan tersebut. Media sosial yang bakal diawasi, diantaranya podcast dan TikTok. Buat apa?
Agung mengungkapkan, saat ini belum ada regulasi yang mengatur soal kebijakan serta publikasi konten di media-media baru tersebut. KPI mengkhawatirkan konten media baru dapat menjadi pengaruh negatif bagi generasi muda.
“Perkembangan teknologi memunculkan platform-platform lain seperti sosmed dan lainnya, termasuk podcast. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran tidak ada kewenangan mengatur media ini. Jadi ada kekosongan mengenai media baru ini. Padahal, media baru memerlukan pengawasan,” ungkap Agung dalam webinar berjudul “Transformasi Digital dan Menembus Batas Era Podcast”, sebagaimana dikutip dari Kompas.
Podcast memang tengah digandrungi masyarakat, khususnya kalangan muda. Hasil survei Daily Social Research menunjukkan, 42,2 persen pendengar podcast di Indonesia paling banyak berada di usia 20 hingga 25 tahun.
KPI: pengawasan media baru bukan pengekangan hak berekspresi
Agung menegaskan, pengawasan terhadap media-media baru ini, bukan dilakukan pihaknya sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi di tengah masyarakat. Hal ini dilakukannya, sebagai langkah untuk menghormati norma serta etika ketimuran di Indonesia.
“Di TikTok misalnya, banyak ditemukan kata-kata yang tidak pantas sehingga tidak bisa dipungkiri akan mengubah perkembangan khususnya anak-anak, dan ini jadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan,” tambah Agung.
KPI juga mendesak agar pengaturan media baru ini juga dicantumkan dalam revisi Undang-Undang Penyiaran. Agung meyakini, masyarakat pasti mendukung gagasan soal aturan media baru ini.
“Banyak negara maju yang memiliki regulasi media baru dan ini harus menjadi acuan bangsa Indonesia untuk peduli juga media baru,” ungkapnya.
Apa respons Podcaster?
Wacana pengawasan terhadap media baru yang digaungkan KPI ini langsung mendapatkan reaksi dari podcaster, salah satunya Adriano Qalbi. Ia dikenal publik sebagai penggagas tren podcast di Indonesia pada tahun 2016.
Kala itu, ia mengembangkan “Podcast Awal Minggu”. Konsistensinya menyebarkan tren podcast membuatnya kerap dijuluki sebagai “Bapak Podcast Indonesia”.
Pria yang memulai karier di panggung stand up comedy ini, mengaku keberatan dengan keinginan lembaga pengawasan penyiaran itu untuk mengawasi konten media baru di dunia maya.
“Buat saya, kalau mengatur pembatasan akses konten secara usia, demografiis atau geografis oke lah. Saya tidak setuju kalau pengawasan bahkan sampai ada pengaturan topik konten yang dianggap mereka layak atau tidak layak didengarkan di podcast atau diunggah di medsos, tanpa alasan yang jelas,” ungkap pria yang akrab disapa Adri ini saat dihubungi Asumsi.co, Sabtu (13/3).
Ia menambahkan, bila KPI mengaku resah dengan kehadiran podcast atau media sosial yang dinilai kerap membagikan konten yang tak bermanfat, mereka harus memberikan penjelasan lebih lanjut mengapa harus KPI yang turun tangan.
“Misalnya, soal khawatir konten yang menyebarkan ujaran kebencian perlu ada aturan yang jelas. Kemudian kalau harus dilakukan pengawasan terhadap konten di medsos, kenapa harus KPI? Buat apa? Apa enggak ada lembaga atau pihak lain yang lebih berwenang? Ini harus dijelaskan,” tuturnya.
KPI, lanjut dia, bila resah dengan kemunculan konten-konten yang dinilai tak bermanfaat di suatu platform, semestinya bukan menyalahkan para pembuat kontennya dan langsung bersikap protektif.
“Misal ada konten asusila di Instagram. Salahkan pihak Instagram kenapa membiarkan itu tetap tayang. Kalau mau salahkan pihak platform-nya jangan pengguna,” ujar dia.
Ruang Siber Dinilai Bukan Kewenangan KPI
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto mempertanyakan alasan KPI dengan penuh percaya diri menyerukan wacana untuk mengawasi konten di media sosial.
Pasalnya, kata dia, urusan publikasi di ruang siber merupakan kewenangan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan bukan ranahnya KPI.
“KPI ini memang berkali-kali saya lihat kepingin ikut campur ke ruang-ruang yang bukan domainnya, tanpa punya landasan hukum. Apa landasan hukumnya? Ruang siber sebenarnya ranahnya Kemenkominfo. Ini jelas tertulis dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat,” jelas Damar saat dihubungi via telepon.
Justru, dirinya menyayangkan sikap KPI yang justru malah membiarkan terjadinya perampasan hak publik menerima tayangan siar yang berkualitas, dengan membiarkan penayangan siaran langsung acara lamaran sampai pernikahan selebriti di salah satu stasiun televisi nasional.
“Inilah kasus menyangkut penyiaran publik yang jadi sorotan hari ini. Penayangan acara lamaran Atta Halilintar dan Aurel hermansyah ini, malah tidak menjadi perhatian KPI. Padahal, dalam tugasnya mereka ada pada pengawasan hal ini.
KPI Diminta Tak Buruk Sangka dengan Media Baru
Damar mengatakan, semestinya KPI tak melulu berburuk sangka dengan kemajuan zaman dan teknologi yang menghadirkan banyak media baru. Banyak sisi positif yang menurutnya perlu dipandang secara bijak oleh KPI.
“Ini harus dipandang sebagai sesuatu yang positif. Jadi, era baru ini ada banyak bermunculan teknologi baru yang memberikan kemudahan saat ini. jangan dicari-cari jeleknya doang,” ungkapnya.
Sementara itu, praktisi penyiaran sekaligus anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, Lestari Nurhajati menilai keinginan KPI melakukan pengawasan konten di jagad maya sangat keluar dari jalur fungsi dan tugas pokoknya.
“KPI ini yang jadi tugas pokoknya untuk pengawasan frekuensi publik belum dijalankan dengan benar, sudah meminta pekerjaan lain saja. Kok bisa berpikiran begitu ya?” tuturnya.
Alih-alih jadi juri konten di dunia digital, Lestari menyarankan sebaiknya KPI lebih banyak membenahi kinerjanya terlebih dahulu dalam urusan penyiaran di negeri ini.
“Mereka harus memastikan, frekuensi penyiaran milik publik sudah terjamin dengan baik, digunakan untuk kepentingan publik, serta harus ada unsur edukasi dan etika publik. Menurut saya ini semua masih belum dikerjakan dengan baik oleh KPI,” tandasnya.