Masih ingat dengan video TikTok dokter muda Kevin Samuel Marpaung yang viral beberapa waktu lalu karena kontennya dinilai melecehkan perempuan? Akibat video unggahannya, Kevin disidang etik oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pusat Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI).
Dikutip dari CNN, sidang etik kasus Kevin dilaksanakan selama tiga kali yakni 17, 18, dan 19 April secara tertutup. Ketua IDI Cabang Jakarta Selatan, M Yadi Permana mengatakan, seluruh keputusan yang diambil pihaknya telah sesuai dengan regulasi dan tata tertib organisasi kedokteran.
Dalam kasus ini, dokter Kevin dijatuhi sanksi pembekuan praktik selama enam bulan karena terbukti melanggar etika profesi sebagai seorang dokter. Terkini, MKEK Pusat menerbitkan Surat Keputusan Tentang Fatwa Etik Dokter dalam Aktivitas Media Sosial, Jumat (30/4/21) kemarin.
Apa Isi Fatwa Etiknya?
Dalam surat keputusan tersebut, terdapat 13 poin yang disampaikan sebagai acuan para dokter dalam bersikap di medsos, yang pada intinya tidak melarang penggunaan medsos namun harus memperhatikan profesionalisme dalam berinteraksi dengan publik. Para dokter tetap dibebaskan menggunakan medsos namun disarankan menggunakan akun yang berbeda dari akun pertemanan jika ingin menyampaikan saran atau anjuran kesehatan kepada publik, walaupun tidak juga dilarang secara keras untuk menggunakan akun yang sama, hanya, syarat dan ketentuan berlaku.
Akun Twitter @lilithkis mengunggah isi surat keputusan dengan nomor: 029/pb/K.MKEK/04/2021 ini. yakni:
- Dokter harus sepenuhnya menyadari sisi positif dan negatif aktivitas media sosial dalam keseluruhan upaya kesehatan dan harus menaati peraturan perundangan yang berlaku.
- Dokter selalu mengedepankan nilai integritas, profesionalisme, kesejawatan, kesantunan, dan etika profesi pada aktivitasnya di media sosial.
- Penggunaan media sosial sebagai upaya kesehatan promotive & preventif bernilai etika tinggi dan perlu diapresiasi selama sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku.
- Penggunaan media sosial untuk memberantas hoax/informasi keliru terkait kesehatan/kedokteran merupakan tindakan mulia selama sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku. Dalam upaya tersebut, dokter harus menyadari potensi berdebat dengan masyarakat. Dalam berdebat di media sosial, dokter perlu mengendalikan diri tidak membalas dengan keburukan, serta menjaga marwah luhur profesi kedokteran, tenaga kesehatan, maupun profesi/organisasi profesi dokter/kesehatan, dokter harus melaporkan hal tersebut ke otoritas media sosial melalui fitur yang disediakan dan langkah lainnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
- Pada penggunaan media sosial, dokter harus menjaga diri dari promosi diri berlebihan dan prakteknya serta mengiklankan suatu produk dan jasa sesuai dengan SK MKEK Pusat IDI No. 022/PB/K.MKEK/07/2020 tentang Fatwa Etika Dokter Beriklan dan Berjualan Multi Level Marketing yang diterbitkan MKEK Pusat IDI tanggal 28 Juli 2020.
- Pada penggunaan media sosial untuk tujuan konsultasi suatu kasus kedokteran dengan dokter lainnya, dokter harus menggunakan jenis dan fitur media sosial khusus yang terenskripsi end-to-end dan tingkat keamanan baik, dan memakai jalur pribadi kepada dokter yang dikonsultasikan tersebut atau pada grup khusus yang hanya berisikan dokter.
- Pada penggunaan media sosial termasuk dalam hal memuat gambar, dokter wajib mengikuti peraturan perundangan yang berlaku dan etika profesi. Gambar yang dimuat tidak boleh membuka secara langsung maupun tidak langsung identitas pasien, rahasia kedokteran, privasi pasien/keluarganya, privasi sesama dokter dan tenaga kesehatan, dan peraturan internal RS/Klinik. Dalam menampilkan kondisi klinis pasien atau hasil pemeriksaan penunjang pasien untuk tujuan pendidikan, hanya boleh dilakukan atas persetujuan pasien serta identitas pasien seperti wajah dan nama yang dikaburkan. Hal ini dikecualikan pada penggunaan media sosial dengan maksud konsultasi suatu kasus kedokteran sebagaimana yang diatur pada poin 6.
- Pada penggunaan media sosial dengan tujuan memberikan edukasi kesehatan bagi masyarakat, sebaiknya dibuat dalam akun terpisah dengan akun pertemanan supaya fokus pada tujuan. Bila akun yang sama juga digunakan untuk pertemanan, maka dokter harus memahami dan mengelola ekspektasi masyarakat terhadap profesi kedokteran.
- Pada penggunaan media sosial dengan tujuan edukasi ilmu kedokteran dan kesehatan yang terbatas pada dokter dan atau tenaga kesehatan, hendaknya menggunakan akun terpisah dan memilah sasaran informasi khusus dokter/tenaga kesehatan.
- Pada penggunaan media sosial dengan tujuan pertemanan, dokter dapat bebas berekspresi sebagai hak privat sesuai dengan ketentuan etika umum dan peraturan perundangangan yang berlaku dengan memilih platform media sosial yang diatur khusus untuk pertemanan dan tidak untuk dilihat publik.
- Dokter perlu selektif memasukkan pasiennya ke daftar teman pada akun pertemanan karena dapat mempengaruhi hubungan dokter-pasien.
- Dokter dapat membalas dengan baik dan wajar pujian pasien/masyarakat atas pelayanan medisnya sebagai balasan di akun pasien/masyarakat tersebut. Namun sebaiknya dokter menghindari untuk mendesain pujian pasien/masyarakat atas dirinya yang dikirim ke publik menggunakan akun media sosial dokter sebagai tindakan memuji diri secara berlebihan.
- Pada kondisi di mana dokter memandang aktivitas media sosial sejawatnya terdapat kekeliruan, maka dokter harus mengingatkannya melalui jalur pribadi. Apabila dokter tersebut tidak bersedia diingatkan dan memperbaiki perilaku aktivitasnya di media sosial, maka dokter dapat melaporkan kepada MKEK.
Fatwa Disusun Sebelum Kasus Dokter Kevin
Ketua MKEK IDI dr Pukovisa Prawiroharjo membenarkan terbitnya fatwa etik tersebut, namun dirinya menegaskan alasan diterbitkannya fatwa etik dokter bermedia sosial ini bukan sebagai sikap keras usai kasus video viral Kevin yang jadi sorotan publik.
IDI, katanya, sudah menyusun poin-poin fatwanya sejak tahun lalu dan sudah menargetkannya untuk dirilis pada tahun ini. “Fatwa ini kan sudah direncanakan sejak tahun lalu tapi terkendala karena ada pandemi. Memang kebetulan dalam proses fatwa ini sedang mau launching ada kasus itu. Jadi, bukan sebagai reaksi kasus dokter tempo hari,” jelas Pukovisa kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Sabtu (01/05/21).
Ia menambahkan, adanya fatwa etik ini sama sekali bukan untuk mengekang dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk bermain medsos. Justru, aturan yang lebih bersifat imbauan ini, lanjutnya, hadir agar mereka bisa semakin mengedukasi dan menginspirsi publik dengan baik.
“Fatwa ini jangan diartikan sebagai pengekangan dokter enggak boleh main medsos. Kalau dibaca isi fatwanya di awal-awal mengapresiasi ada banyak dokter yang dedicated melakukan upaya edukasi kesehatan lewat TikTok, Instagram, dan semacamnya,” tuturnya.
IDI pun sebenaranya telah menggelar pertemuan bersama para tenaga kesehatan yang juga dikenal publik sebagai influencer untuk menyampaikan masukkanya.
Pukovisa turut mengapresiasi mereka yang selama ini banyak mengedukasi masyarakat yang selama ini ikut memberantas hoaks tentang kesehatan. Terutama, hoaks soal virus korona yang menurutnya membuat orang-orang jadi semakin peduli dengan berbagai isu kesehatan.
“Kami juga sempat ketemu dengan teman-teman infiuencer di bidang medis. Sekaligus kami bicarakan terkait persepsi masyarakat tentang kode etik profesi di dunia belum ada acuannya di Indonesia. Maka kami perlu membuatnya supaya dokter tahu dan negara lain juga mengeluarkan hal yang serupa. Ini bukan hal yang baru sebenarnya. Intinya, tujuan kami membuat rambu-rambu, supaya yang ingin disampaikan ke masyarakat lebih ekfektif, tanpa menyinggung publik,” tuturnya.