Femisida nyata terjadi di sekitar kita. Bukan untuk menakut-nakuti, justru kaum perempuan diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan agar jangan sampai menjadi korban berikutnya.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tengah menaruh perhatian terhadap isu ini. Mereka pun telah melakukan pemantauan terhadap pemberitaan yang mengangkat soal femisida. Komnas Perempuan menyampaikan hasil pemantauan tersebut dan mengungkapkan lebih jauh soal perkara ini melalui keterangan pers virtual, Rabu (21/4/21).
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan. “Pembunuhan perempuan ini terjadi karena mereka perempuan. Femisida merupakan bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan dan ketidaksetaraan gender,” kata Siti.
Ia menambahkan, femisida digunakan untuk menunjukkan perbedaan dengan kasus pembunuhan pada umumnya (homicide). “Ini karena femisida menekankan pada adanya ketidaksetaraan gender, opresi dan kekerasan terhadap perempuan yang sistematis sebagai penyebab atau disebut juga puncak kekerasan berbasis gender,” ujarnya.
Berdasarkan hasil pantauan media yang dilakukan Komnas Perempuan, femisida saat ini tengah menjadi isu serius di tingkat global, namun masih kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia.
Baca juga: Jangan Stigmatisasi Perempuan dan Anak Yang Terpapar Ide Ekstrem! | Asumsi
“Padahal Komite CEDAW (Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita) sudah memandatkan negara sebagai pihak yang bertugas untuk membentuk femicidewatch dan mempublikasikan laporan tentang femisida, serta upaya-upaya yang telah ditempuh negara untuk mencegah dan menanganinya,” tuturnya.
Kenapa Orang Melakukan Femisida?
Siti mengungkapkan, terdapat empat pemicu utama terjadinya kasus femisida sepanjang 2019 hingga 2020. “Antara lain disebabkan kecemburuan sebanyak 27 kasus, ketersinggungan maskulinitas sebanyak 11 kasus, menolak hubungan seksual ada 9 kasus dan disebabkan desakan bertanggung jawab atas kehamilan yang tak dikehendaki,” ujarnya.
Lebih lanjut, pemicu femisida yang baru terungkap di tahun 2020 ialah alasan moralitas perempuan, yakni kehormatan serta dipicu peran perempuan dalam masyarakat patriarki.
“Dalam struktur masyarakat patriarki, perempuan yang dianggap tidak bisa mengurus anak, tidak bersedia mengasuh anak tiri, hingga tidak bangun sahur untuk memasak paling banyak jadi pemicunya,” jelas Siti.
Ia menambahkan, terdapat 97 kasus femisida yang tersebar di 25 provinsi dengan 5 provinsi tertinggi kejadian femisida. “Jawa Barat paling tinggi ada 14 kasus, kemudian Jawa Timur ada 10 kasus, Sulawesi Selatan sebanyak 10 kasus, Sumatera Selatan terdapat 8 kasus dan Sumatera Utara ada 7 kasus,” ucapnya.
Kasus Femisida Apa yang Paling Banyak Dilaporkan?
Sejauh ini, tidak ada pengaduan atau laporan langsung yang diterima Komnas Perempuan atau lembaga layanan korban terkait mengenai kasus femisida.
“Ini karena seluruh korbannya sudah meninggal dunia. Bagaimana mereka mau melaporkan? Mereka kan, menjadi korban jiwa akibat kekerasan,” kata Siti.
Meski demikian, Komnas Perempuan telah menghimpun data soal kejadian femisida di Tanah Air sepanjang 2019-2020 yang dilakukan oleh Resource Center.
Ia menjelaskan, Resource Center merupakan salah satu bidang pekerjaan yang ada di Komnas Perempuan yang selama ini menjadi pusat pengetahuan tentang perempuan Indonesia.
Baca juga: Konten TikTok “Persalinan” Dokter Kevin Samuel Dinilai Melecehkan | Asumsi
“Kami harap Resource Center ini akan menjadi knowledge management bagi perempuan ke depan. Pemantauan dilakukan terhadap pemberitaan daring dan dilakukan cross check untuk mencegah perhitungan berganda,” imbuhnya.
Berdasarkan data, ia menjelaskan, bentuk femisida yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Tiga teratas bentuk femisida yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah KDRT atau kekerasan pada pasangan intim, kemudian penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan dan pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas nama “kehormatan”,” kata Siti.
Pelaku femisida yang terjadi di Indonesia, lanjutnya, paling banyak dilakukan oleh pria yang berstatus suami. “Sebanyak 58% pelaku adalah suami. Ini pelaku terbanyak,” ungkapnya.
Selain suami, ia mengatakan, pacar atau teman dekat perempuan diketahui menjadi pelaku kedua yang paling banyak melakukan femisida. “Kami mencatat ada 26% yang berstatus sebagai pacar atau teman dekat korban sebagai pelaku femisida,” katanya.
Selanjutnya, pelaku yang menempati posisi ketiga dari tiga teratas ialah pelanggan atau pengguna jasa yang ditawarkan perempuan sebagai terapis, pekerja seks dan pemandu lagu.
“Jumlahnya kurang dari 10 %, namun kami mencatat masuk dalam tiga teratas pelaku femisida terbanyak di negara kita,” ujarnya menerangkan.
Kenapa Femisida Banyak Terjadi di Rumah Tangga?
Komnas Perempuan menilai, data pelaku yang disampaikan menunjukkan bahwa femisida merupakan puncak dari KDRT atau relasi personal.
“Dengan rantai kekerasan yang tak dapat diputus dan berakhir dengan kematian. Pada tahun 2020 lingkup rumah tangga dan relasi personal adalah hubungan yang paling rentan terjadi femisida. Belum terpantau femisida yang terjadi di ranah negara,” katanya.
Siti menuturkan, sebagian besar pemicu femisida berasal dari konflik rumah tangga, seperti poligami, meminta cerai, tidak mau bercerai hingga permintaan kebutuhan materi.
Baca juga: Unggah Cerita Layanan Klinik Kecantikan, Stella Malah Dijerat UU ITE | Asumsi
Sebagai puncak dari kekerasan terhadap perempuan, lanjutnya, femisida dilakukan dengan agresi maupun sadisme. “Sepanjang pantauan kami, pemukulan tangan kosong hingga menggunakan benda tumpul seperti balok kayu, besi, gagang sapu, galon hingga tabung gas merupakan cara yang paling banyak dilakukan pelaku femisida, jumlahnya ada 27 kasus,” ujarnya.
Berikutnya, penusukan dan pencekikan adalah dua cara femisida yang paling banyak dilakukan pelakunya. Siti mengaku prihatin dengan hal ini.
“Penusukan jumlahnya sampai 19 kasus, seperti korban ditusuk sekali hingga 43 tusukan dengan pisau lalu pencekikan ini jumlahnya ada 18 kasus, mulai dari dicekik tangan sampai tali rafia,” katanya.
Atas keprihatinan terhadap banyaknya kasus femisida di Indonesia, Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah rekomendasi untuk sejumlah pihak. Pertama, kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk mengintegrasikan isu femisida dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
“Polri diminta melakukan pendokumentasian secara nasional dengan melakukan pemilahan gender terhadap korban femisida. Hal ini penting agar terpetakan penyebab dan pola kejadiannya di Indonesia,” kata dia menegaskan.
Selanjutnya, ia mengharapkan organisasi media dan insan pers terus menggali dan memberitakan kasus-kasus femisida dengan menggunakan perspektif gender. “Ini perlu dilakukan agar dikenali bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender yang menyertai femisida,” ujar Siti.
Komnas Perempuan juga meminta masyarakat sipil agar memantau dan melaporkan kasus femisida kepada mereka. “Bahkan, sebelum menjadi korban femisida, bila sudah merasa arahnya akan ke sana, segera laporkan ke kami atau lembaga penyedia layanan korban terkait,” pungkasnya.