Internasional

Siapakah Taliban yang Menguasai Afghanistan Saat Ini?

Irfan — Asumsi.co

featured image
Unsplash

Percakapan mengenai Taliban, belakangan menjadi hal yang banyak menjadi sorotan. Perkaranya apalagi, kalau bukan pengambilalihan Afghanistan oleh mereka. Taliban, lantas jadi momok menyusul ratusan orang yang berjubel menuju bandara Kabul untuk meninggalkan Afghanistan.

Namun, ratusan orang yang hendak kabur ini mungkin punya alasan. Sebab, Taliban bukan kali ini saja memimpin Afghanistan. Pada 25 tahun lalu, Taliban juga melakukan yang sama. Meski hanya berkuasa selama lima tahun, Taliban mampu mengubah Afghanistan ke konsep yang mereka mau setelah sebelumnya berdiri dari konsep monarki ke republik demokratik bercorak kiri.

Di era Taliban, Afghanistan dipimpin oleh nilai-nilai interpretasi literal atas hukum Islam. Mereka memilih anjuran-anjuran yang keras berpadu dengan kebiasaan lama orang Afghanistan dalam menyikapi perempuan seperti menormalisasi pernikahan paksa dan di bawah umur. Tak heran, kalau kemudian kaum perempuan Afghanistan yang selama ini memperjuangkan hak-haknya, jadi ngeri ketika Taliban kembali.

Lalu siapakah Taliban?

Sepanjang catatan yang Asumsi ikuti, Taliban dibentuk pada 1994 di tengah perang sipil yang berkecamuk di Afghanistan. Perang sipil di Afghanistan dimulai pada 1992, melibatkan banyak faksi militan yang memperebutkan kekuasaan di negara Asia Selatan itu, setelah Presiden Mohammad Najibullah yang memimpin Republik Demokratik Afghanistan, memilih mundur dan menetralkan pemerintahan sementara.

Baca Juga: Taliban Invasi Kabul, Potensi Ambil Alih Kekuasaan dari Pemerintah Afghanistan | Asumsi

Jauh sebelum itu, para faksi militan yang kebanyakan berhaluan agama ini justru tergabung dalam bendera Mujahidin Afghanistan. Terdiri dari tujuh faksi dan dukungan asing mulai dari Amerika Serikat, Inggris, Arab Saudi, Pakistan, dan Iran, mereka bertempur melawan pemerintahan Republik Demokratik Afghanistan yang dibantu oleh Uni Soviet sejak 1979 sampai 1989.

Sementara di era perang sipil 1992, aliansi Mujahidin Afghanistan ini justru pecah. Dengan corak ke-Islam-annya masing-masing, mereka berusaha mengambil tampuk kekuasaan di Afghanistan.

Sebelum Taliban ada, pihak yang terlibat pada perang sipil ini di antaranya adalah kelompok Islamic State of Afghanistan yang didukung oleh Arab Saudi. Kelompok ini terdiri dari empat kelompok yakni Jamiat-e Islami, Hezb-e Islami Khalis, Ittehad-e Islami, dan Harakat-i Inqilab Islami.

Kelompok ini bisa dibilang kuat karena terdiri dari faksi-faksi besar. Jamiat-e Islami misalnya, sebuah partai politik untuk etnis Tajik yang dikenal sebagai milisi paling kuat di era perang Afghanistan kontra Soviet. Sementara Ittehad-e Islami pimpinan Abdul Rasul Sayyaf juga kelompok besar yang karena paham Sunni Wahabinya sangat dekat dengan Arab Saudi.

Selain Islamic State of Afghanistan, perang sipil ini juga melibatkan Hezb-i Wahdat, milisi Syiah yang didukung oleh Iran, Junbish-i Milli yang didukung Uzbekistan, dan Hezb-e Islami Gulbuddin, pimpinan Gulbuddin Hekmatyar yang didukung oleh agen intelejen Pakistan.

Amin Saikal, dalam “Modern Afghanistan: A Histroy of Struggle and Survival” (2004) menyebut, di tengah perang ini, Taliban muncul menggantikan Hezb-i Islami yang dinilai tidak produktif. Pasukan Gulbuddin yang terusir dari zona perang, akhirnya banyak yang bergabung dengan Taliban karena alasan solidaritas dan kesukuan.

Hubungan Taliban-Pakistan

Amin Saikal menyebutkan, seperti pasukan Hezb-e Islami Gulbuddin, Taliban juga mendapat sokongan yang sama dari agen intelejen Pakistan. Tak heran kalau kemudian banyak pasukan Gulbuddin yang merapat ke Taliban.

Banyak analisis mengenai sokongan Pakistan untuk Taliban. Dari geopolitik, Afghanistan jadi penting sebagai pembuka jalur dagang di Asia Tengah. Sementara dalam “An enemy we created: the myth of the Taliban/Al Qaeda merger in Afghanistan, 1970—2010”, sokongan Pakistan untuk Taliban juga berhubungan dengan isu agama. Jamiat Ulema-e Islam, sebuah kelompok Islam berhaluan Deobandi di Pakistan merasa perlu menjaga Afghanistan dari pengaruh Salafi Wahabi-nya Arab Saudi.

Paham Islam Deobandi memang banyak dianut oleh milisi Taliban. Ini terkait dengan pendidikan Islam yang mereka terima. Kebanyakan, mereka adalah lulusan seminar Darul Uloom Haqqania di Pakistan. Pimpinan Taliban Mullah Muhammad Omar dan suksesornya Akhtar Mansour bahkan disebut sebagai salah dua lulusan terbaik seminari itu.

Baca Juga: Taliban Tak Akan Wajibkan Wanita Afghanistan Pakai Burkak | Asumsi

Sedikit mengulas, paham Deobandi berbeda dengan paham Salafi Wahabisme yang besar di Arab Saudi. Dari fikih misalnya, Deobandi dekat pada tata aturan Mazhab Hanafi, sementara teologinya mengacu pada Mazhab Maturidi. Sementara dalam fikih, Wahabi cenderung tidak memilih mazhab dan dalam teologi dekat dengan pemikiran Ibnu Taimiyah. Meski demikian, dalam konteks militan, keduanya punya pandangan puritan yang sama kerasnya terutama ke kalangan sufi dan syiah.

Meski begitu, Taliban juga berfaksi dengan Al-Qaeda yang dibentuk 1988 oleh Osama bin Laden. Al-Qaeda dekat dengan corak Salafi. Perlindungan Taliban atas Al-Qaeda, disebut pengamat intelijen Ridlwan Habib karena saat itu Taliban dan Al-Qaeda merasa memiliki musuh yang sama yakni Amerika Serikat.

Adapun tentang kedekatannya dengan Pakistan, Taliban tetaplah orang Afghanistan. Bahkan kebanyakan dari milisi Taliban adalah etnis Pushtun yang merupakan etnis paling besar di Afghanistan. Tak heran kalau kemudian pendekatan mereka dalam memimpin, selain dengan Islam corak Deobandi tadi adalah juga cara Pushtun atau yang dikenal sebagai Pushtunwanli.

Dalam “War, Will, and Warlords”, Robert M Cassidy menulis, Pusthunwali tidak tertulis tapi secara luas dipraktikan dalam tata hidup masyarakat Pushtun. Prinsipnya sebetulnya tak buruk. Ini mencakup pada toleransi, independensi, self-respect, keramahan, respect, pengampunan, namun sekaligus juga balas dendam. Menurut Cassidy, untuk laki-laki Pusthun, kemerdekaan pribadi adalah prinsip utama dari nilai-nilai Pushtun.

Kemenangan dan Kejatuhan

Sejak memenangkan perang Sipil Afghanistan, pada 1996 Taliban resmi memimpin Afghanistan. Bentuk negara pun diubah menjadi keamiran, dengan amirnya Mullah Muhammad Omar.

Namun masa kepemimpinan Taliban di Afghanistan tidak lama. Pemerintahannya jatuh setelah invasi Amerika Serikat ke sana pada 2001. Dalih AS menginvasi Taliban karena mereka enggan menyerahkan Osama bin Laden, pimpinan Al-Qaeda yang disebut AS sebagai dalang dari tragedi 9/11.

Kejatuhan Taliban membuat Afghanistan kembali berganti pemerintahan. Dibentuklah pemerintahan transisi kemudian Republik Islam Afghanistan yang lebih demokratis. Pemerintahan ini memunculkan Hamid Karzai sebagai presiden, dan dibantu oleh sejumlah elit Aliansi Utara yang selama masa keamiran Taliban bergerak menjadi oposisi.

Baca Juga: Taliban Yakinkan Keamiran yang Lebih Moderat, Publik Masih Sangsi | Asumsi

Namun, bukan berarti Taliban di era ini tercerai berai. Taliban memang terpojok ke wilayah perbatasan Afghanistan-Pakistan, tetapi mereka tetap mempersiapkan diri. Dalam sejumlah laporan, di daerah, Taliban tetap mempertahankan kekuasaannya dan juga melakukan sejumlah serangan.

Pada 2009-2010 misalnya, Taliban cukup intensif melakukan serangan ke sejumlah titik di Afghanistan. Mereka bahkan menyerbu rumah inap di Kabul dan membunuh enam pegawai PBB. Belum serangan bom yang meski sporadis tetap menjadi teror.

Kini, setelah 20 tahun dipukul mundur, Taliban kembali menguasai Kabul. Yang artinya, mengambil alih kepemimpinan Afghanistan.

Dalam pernyataan terbarunya, Taliban memang menjanjikan pemerintah yang lebih moderat. Tapi sejauh apa janji itu bisa dipegang? Apakah milisinya di bawah bisa satu komando?

Sementara perempuan Afghanistan yang disinyalir akan menjadi pihak paling terdampak mulai panik. Kerudung tak lagi cukup, burkak diborong demi sebuah rasa aman. Harganya melonjak sampai 10 kali lipat di pasaran. Yang tua trauma, yang muda menolak tunduk. Sementara yang selama ini dikenal progresif memilih bersembunyi dan mengadvokasi dalam senyap.

Share: Siapakah Taliban yang Menguasai Afghanistan Saat Ini?