Internasional

Taliban Tak Akan Wajibkan Wanita Afghanistan Pakai Burkak

Irfan — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi: Unsplash

Kelompok Taliban yang mengambil alih pemerintahan di Afghanistan terus mengkampanyekan pendirian barunya yang diklaim lebih moderat. Salah satunya adalah tidak wajibnya penggunaan burkak untuk perempuan.

Ini tentu berbeda dengan masa kepemimpinan Taliban 1996-2001. Di era itu, perempuan Afghanistan diharuskan menggunakan burkak atau kain yang menutupi semua bagian tubuh mereka termasuk mata jika hendak keluar rumah. 

Burkak ini biasanya berwarna biru muda. Sementara penutup matanya serupa jaring, sehingga perempuan yang mengenakannya bisa melihat keluar meski samar.

“Burkak bukan satu-satunya hijab (jilbab) yang (dapat) digunakan, ada berbagai jenis hijab yang tidak terbatas pada burkak,” kata Suhail Shaheen, juru bicara kantor politik Taliban di Doha, Qatara dikutip Asumsi dari Straits Times.

Shaheen tak merinci jilbab apa saja yang boleh dikenakan oleh perempuan di bawah rezim Taliban di Afghanistan. Karena dalam hukum Islam ada berbagai perspektif mengenai aturan menutup aurat bagi perempuan. Mulai dari menutup seluruh tubuh seperti yang diadopsi Taliban, menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, serta ada juga yang beranggapan cukup dengan memanjangkan kerudung sampai menutupi dada.

Selain itu, Taliban juga mengaku tak akan lagi menutup sekolah perempuan seperti yang telah mereka lakukan di masa lalu. Menurutnya, perempuan bisa mendapatkan pendidikan dari pendidikan dasar hingga tinggi di universitas.

“Kami telah mengumumkan kebijakan ini di konferensi internasional, konferensi Moskow dan di sini di konferensi Doha (tentang Afghanistan),” kata Shaheen.

Shaheen juga menambahkan bahwa ratusan sekolah di daerah yang direbut oleh Taliban saat ini masih bisa beroperasi dengan normal.

Praktik Patriarki

Ketakutan publik atas kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan memang bukan tanpa alasan. Soalnya, hampir satu dekade kekuasaan Taliban di Afghanistan, mereka menerapkan interpretasi yang keras terkait aturan Islam.

Untuk perempuan, pengekangan ini berpadu dengan praktik patriarki yang sudah mengakar. Meski telah berulang kali hendak diperbaiki, yakni sejak dekade 1900-an saat Afghanistan masih berbentuk monarki, praktik ini sulit untuk dientaskan. Tak heran kalau banyak yang skeptis pada janji Taliban.

Mengutip The Atlantic, salah satu yang sangsi adalah Fawzia Koofi. Mantan anggota Parlemen dari 2005 hingga 2019, dan telah menjadi salah satu orang yang mewakili Republik Afghanistan dalam negosiasi damai dengan Taliban sebelum keberangkatan pasukan Amerika dari negara itu skeptis dengan janji Taliban bahwa mereka akan terus memberikan kebebasan kepada perempuan Afghanistan untuk belajar dan bekerja di luar rumah.

Perempuan yang telah mencurahkan hidupnya lewat jaringan sekolah perempuan rahasia pada 1990-an, di provinsi asalnya, Badakhshan ini berkaca dari pengalamannya. Ia menyebut sulit untuk percaya karena ada ketidaksinkronan antara pernyataan pejabat Taliban selama negosiasi damai di Qatar dan pelanggaran hak asasi manusia yang menurut kontaknya dilakukan oleh prajurit mereka di lapangan.

“Sejujurnya, saya tidak takut dibunuh. Saya takut negara sekali lagi jatuh ke dalam kekacauan,” kata Koofi yang telah dua kali terluka karena pembunuhan berencana yang dialamatkan padanya oleh Taliban.

Harga Burkak Naik

Sementara itu mengutip The Guardian, harga Burkak di pasaran Afghanistan naik tajam jelang pengambilalihan Kabul oleh Taliban. Ini merupakan upaya perempuan Afghanistan untuk menyelamatkan diri mereka dari ancaman Taliban.

Aaila salah seorang perempuan yang menawar burkak, kepada The Guardian menyebut, harga burkak tahun lalu hanya 200 AFS. Sekarang bisa dijual seharga 2000 sampai 3000 AFS karena ketakutan di kalangan perempuan Kabul.

Di era Taliban, perempuan yang tak mengenakan burkak memang bisa kena cambukkan di depan umum.

Aref, pedagang di pasar Kabul tak menampik hal itu. Menurutnya, selama ini sebagian besar pelanggannya adalah perempuan daerah. Namun ketika Taliban makin dekat ke Kabul dan menguasainya, perempuan ibu kota mulai membeli burkak darinya.

Dengan dua pertiga populasi di bawah usia 30 tahun, sebagian besar perempuan di Kabul sebenarnya tidak pernah hidup di bawah kendali Taliban. Namun orang-orang tua sudah memperingatkan soal itu. Fawzia salah satunya. Ia mengingat kenyataan hidup sebagai seorang perempuan di bawah Taliban dua dekade lalu.

“Kami semua perempuan yang lebih tua telah berbicara tentang betapa sulitnya sebagai seorang perempuan di masa lalu. Saya dulu tinggal di Kabul saat itu dan saya ingat bagaimana mereka memukuli perempuan dan gadis yang meninggalkan rumah mereka tanpa burkak,” kata Fawzia.

Di beberapa rumah tangga, burkak telah memicu konflik antar generasi yang memecah belah. Orang tua Habiba yang berusia 26 tahun memohon padanya dan saudara perempuannya untuk mendapatkan burkak sebelum Taliban memasuki kota, tetapi dia menolak.

“Ibuku bilang kita harus membeli burkak. Orang tua saya takut dengan Taliban. Ibu saya berpikir bahwa salah satu cara dia bisa melindungi putrinya adalah dengan membuat mereka memakai burkak,” katanya.

“Tetapi kami tidak memiliki burkak di rumah kami, dan saya tidak berniat untuk memilikinya. Saya tidak ingin bersembunyi di balik kain seperti tirai. Jika saya memakai burkak, itu berarti saya telah menerima pemerintahan Taliban. Saya telah memberi mereka hak untuk mengendalikan saya. Mengenakan cadar adalah awal dari hukuman saya sebagai tahanan di rumah saya. Saya takut kehilangan pencapaian yang saya perjuangkan dengan sangat keras.”

Habiba mengatakan bahwa dia, seperti banyak perempuan di Kabul, muak dengan kekhawatiran atas apa yang akan terjadi.

“Saya begadang hingga larut malam, terkadang sampai pukul 1 atau 2 pagi, mengkhawatirkan apa yang akan terjadi. Saya takut karena saya menolak burkak, segera saya harus tinggal di rumah dan saya akan kehilangan kemerdekaan dan kebebasan saya,” ucap dia.

Share: Taliban Tak Akan Wajibkan Wanita Afghanistan Pakai Burkak