Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyatakan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional.
“Mendasarkan syarat perolehan suara (kursi) partai politik di DPR dengan persentase tertentu, untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana ketentuan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah konstitusional,” kata Hakim MK Manahan M.P. Sitompul dalam Sidang Pengucapan Putusan, Kamis (24/2/2022) dikutip dari Antara.
Konsisten: Keputusan ini konsisten dengan yang dikemukakan oleh MK dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Meskipun putusan tersebut merupakan perkara pengujian undang-undang yang berbeda, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, namun secara substansial norma yang dimohonkan pengujian mengatur hal yang sama dengan perkara a quo.
Dalam hal ini perkara yang dimohonkan oleh pemohon adalah besaran angka persentase presidential threshold. Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 telah menjadi dasar pertimbangan hukum berbagai putusan Mahkamah Konstitusi untuk perkara serupa.
MK menilai belum terdapat alasan-alasan yang fundamental untuk dapat menggeser pendirian Mahkamah atas putusan-putusan yang sebelumnya.
Demi sistem presidensial yang efektif: MK dalam berbagai putusan sebelumnya telah menyatakan bahwa presidential threshold tidak hanya dimaksudkan untuk mendapatkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan legitimasi yang kuat dari rakyat.
Persyaratan tersebut juga memiliki tujuan untuk mewujudkan sistem presidensial yang efektif berbasis dukungan dari DPR.
Open legal policy: MK juga menyatakan presidential threshold merupakan open legal policy, dengan demikian menjadi ranah pembentuk UU dalam menentukan dan/atau mengubah besaran persyaratan tersebut.
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum: Ketua Hakim MK Anwar Usman juga menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Oleh sebab itu, pokok permohonan dari para pemohon tidak dipertimbangkan.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Anwar Usman.
Adapun pemohon gugatan itu antara lain Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyom Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan warga sipil.
Baca Juga:
Walkot Banjarmasin Mau Gugat ke MK Soal Pemindahan Ibu Kota Kalsel
Jokowi: Pemerintah Tidak Pernah Tempuh Langkah Inkonstitusional