Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia akan memiliki penilaian kinerja baru mulai tahun 2022. Melalui penilaian ini, nantinya kinerja mereka bakal dinilai secara sistematis. Sanksi pemecatan juga bakal dikenakan kepada ASN yang malas-malasan dan mendapat gaji buta alias gabut.
Nilai Kinerja
Kepala Biro Hukum, Humas dan Kerjasama Badan Kepegawaian Negara (BKN), Satya Pratama mengatakan peraturan kinerja ini tertuang dalam Peraturan Menteri PAN RB (PermenpanRB) nomor 8 tahun 2021 yang merupakan turunan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 30 tahun 2019.
Ia mengatakan, berdasarkan pasal 56 PP 30 tahun 2019 dinyatakan pejabat pimpinan tinggi, pejabat administrasi, dan pejabat fungsional yang tidak memenuhi target kinerja bisa dikenakan sanksi administrasi hingga pemberhentian alias dipecat.
“Jadi, ada proses penilaiannya. PNS yang bakal dikenakan sanksi, merupakan pegawai dengan perolehan nilai kinerja di bawah 50,” kata Satya kepada Asumsi.co, Minggu (21/11/2021).
Adapun sanksi pemecatan, kata dia tidak serta merta dijatuhkan begitu saja kepada ASN. Bila ASN tersebut meraih skor rendah, instansi akan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kinerja selama enam bulan.
“Jadi kalau dalam jangka waktu itu tidak memperbaiki kinerjanya, diberikan sanksi administratif mulai dari turun pangkat, jabatan hingga pemberhentian dengan hormat tersebut. Tidak akan langsung kena sanksi pemecatan. Diberikan kesempatan dulu untuk memperbaiki kinerja, sampai dijatuhi sanksi,” tuturnya.
Dorong Kinerja ASN
Satya menerangkan, platform penilaian para ASN dilakukan melalui aplikasi yang disiapkan BKN yang nantinya terintegrasi dengan skor kinerja para abdi negara berdasarkan penilaian atasan masing-masing.
“Aplikasinya nama Sistem Informasi Kepegawaian Nasional (Simpegnas). Nanti diterapkan di tahun 2022. Sistem ini akan berlaku pada seluruh ASN pusat dan daerah,”
Ia mengakui sistem penilaian ASN yang fokus pada produktivitas kinerja mereka untuk mendorong ASN untuk lebih banyak bekerja. Bukan cuma sanksi, lanjut dia penghargaan juga akan diberikan kepada pegawai yang berprestasi.
Tolok ukur ASN berprestasi adalah mereka yang meraih nilai 100 sampai 120. ASN dengan capaian skor ini, lanjut Satya bakal mendapatkan predikat sangat baik dan berhak untuk diberikan penghargaan.
“Jadi penilaiannya berdasarkan perjanjian kinerja yang telah disetujui oleh ASN yang bersangkutan dan atasannya. Diberikan reward kepada ASN yang aktif dan berprestasi yang bentuknya tergantung keputusan instansi masing-masing,” ucapnya.
Perlu Penyesuaian
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Padjajaran (Unpad), Yogi Suprayogi Sugandi, menyebut rencana penerapan aturan ini sebetulnya sudah lama diwacanakan demi menekan produktivitas ASN.
Menurutnya, memang perlu adanya platform penilaian khusus untuk mengukur kinerja ASN. Namun ia mengatakan, sanksi pemecatan tetap menjadi pilihan terakhir untuk menghukum pegawai yang tidak berhasil meraih capaian target yang ditentukan oleh atasan.
“Misalnya pegawainya ini enggak masuk kerja dalam waktu lama tanpa alasan jelas kemudian tidak achieve berkali-kali kinerjanya. Ini bisa dipertimbangkan untuk dipecat, tapi tetap harus ada prosedurnya dan enggak bisa dipecat begitu saja. Ada surat peringatan 1 dan 2 misalnya,” katanya saat dihubungi terpisah.
Ia menilai secara internal aturan penilaian yang menekankan skor kinerja merupakan hal yang baik. Akan tetapi perlu adanya penyesuaian dengan ASN yang ada di daerah.
“Kalau misalnya di desa kan ada sekretaris desa misalnya. Itu ASN yang kerjanya di luar kantor, ketemu dan mengabdi langsung pada masyarakat. Penilaian aktif dan tidak aktif kinerja mereka harus jelas. Outputnya bisa dari masyarakat apakah bagus atau tidak dari segi pembangunan masyarakat. Jadi ga hanya on paper instrumen penilaiannya,”
Harus Objektif
Suprayogi menyebut sistem penilaian ketat semacam ini efektif untuk menunjukkan ketegasan pemerintah supaya persepsi publik terhadap ASN tidak buruk, misalnya lebih sering gabut.
“Intinya sih bagus buat internal cuma yang penting penilaiannya juga harus objektif. Jangan subjektif, misalnya bosnya enggak suka ama salah satu bawahannya lalu menjadikan alasan penilaian produktivitas untuk bisa memecatnya. Kan ini jangan,” tandasnya.
Hal senada juga disampaikan pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia. Lisman Manurung. Ia mengkhawatirkan aspek penilaian kinerja ini dimanfaatkan pimpinan supaya bisa memecat bawahan yang tidak disukainya.
“Ini kan untuk menindaktegas pegawai supaya tidak korupsi waktu. Nah penting juga bagi atasan untuk memotivasi pegawai yang kelihatannya kok kinerjanya mulai loyo. Jangan asal pecat saja karena faktor sentimen,” ucapnya.
Baca Juga