Valencya sangat terpukul. Wanita berusia 45 tahun itu baru saja dituntut 1 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang di Pengadilan Negeri Karawang, lantaran mengomeli suami yang kerap mabuk-mabukan dan tidak bekerja.
Valencya alias Nengsy Lim tak menyangka bila pertengkaran rumah tangga dengan Chan Yung Ching (CYC), pria asal Taiwan yang dianggap sebagai pertengkaran suami istri biasa ternyata bisa berujung tuntutan hukuman bui.
Padahal, dirinya bukan tanpa alasan meluapkan amarah. CYC sempat berbohong soal status perkawinannya, kerap berjudi, berhutang, mabuk, dan akhirnya membebankan Valencya sebagai pencari nafkah utama. Valencya yang sempat mengikuti CYC ke Taiwan, akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Usai resmi bercerai pada 2 Januari 2020, CYC diwajibkan membiayai anak hasil pernikahannya dengan Valencya sebesar Rp13 juta per bulan. Namun, alih-alih menafkahi anak dan mantan istrinya, CYC malah melaporkan istrinya itu ke Polda Jabar atas dugaan pengusiran dan tekanan psikis terhadap suaminya di PPA Polda Jabar, September 2020.
Singkat cerita, perkara sempat naik ke pengadilan dan JPU menuntut Valencya satu tahun penjara atas kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasus ini mengundang perhatian publik, lantaran para penegak hukum dinilai tidak memiliki kepekaan atau sense of crisis.
Kejaksaan Agung juga telah melakukan eksaminasi khusus soal penanganan perkara KDRT dengan Valencya di Kejaksaan Negeri Karawang. Hasil eksaminasi menemukan adanya tindakan yang tidak logis dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Karawang dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Mereka dinilai tidak paham Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.
Selain itu, masalah lainnya karena rencana tuntutan dan pembacaan tuntutan pidana tidak sesuai waktu. Mereka juga tidak menerapkan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Perkara Pidana.
Tak hanya itu, seperti diberitakan Asumsi.co tiga penyidik yang memeriksa Valencya juga telah diperiksa a Propam Polda Jabar. Pemeriksaan ketiga penyidik itu merupakan evaluasi berdasarkan perintah langsung Kapolda Jabar Irjen Suntana. Dari hasil pemeriksaan, tiga orang penyidik tersebut dimutasi dan dinonaktifkan.
Tuntutan Tidak Logis
Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai kondisi penegak hukum dalam kasus ini tidak logis. Menurutnya, penegak hukum saat itu kurang peka tentang penanganan kasus KDRT.
“Saya kira kurang pekanya penegak hukum yang sebenarnya masalah ini terjadi karena ribut antar rumah tangga. Menurut saya ini sudah keterlaluan hingga diproses hukum oleh polisi dan jaksa. Seharusnya, kasus serupa seperti ini harus dimediasi, namun ini berbeda situasinya,” kata Abdul kepada Asumsi.co, Rabu (17/11/2021).
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perempuan seharusnya mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Abdul menilai UU No 23 Tahun 2004 melihat perspektif perempuan sebagai pihak yang rentan mengalami KDRT. Sehingga Abdul menyayangkan tindakan penegak hukum yang malah menetapkan Valencya sebagai terdakwa pelaku KDRT. Abdul menilai polisi atau jaksa saat itu tidak mengutamakan perdamaian antar keluarga dan malah melihat laporan hukum yang dilakukan.
“Polisi atau jaksa tidak memiliki perasaan kekeluargaan dan sudah seharusnya penanganannya dengan mendamaikan kedua pihak karena konteksnya masih dalam lingkup kekeluargaan. Kecuali, ada kekerasan secara fisik seperti luka-luka, pukulan, dan lain-lain baru diperbolehkan untuk masuk ke jalur hukum,” katanya.
Abdul menilai perlu adanya pengertian tentang UU No. 23 Tahun 2004 untuk lebih mendalami posisi mana yang harus mendapatkan keadilan.
Sudah Menerima Laporan
Dalam kesempatan terpisah, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi turut menyayangkan peristiwa ini. Siti mengungkap sebenarnya Valencya telah melaporkan aduan sebagai korban KDRT berulang dan berlapis sejak bulan Juli 2021.
Komnas Perempuan sesuai mandatnya dengan sigap menerbitkan Surat Rekomendasi No 062/KNAKTP/Pemantauan/Surat Rekomendasi/VIII/2021/ pada 18 Agustus 2021 dan ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kepada Kepolisian Daerah Jawa Barat, Kepala Kepolisian Resor Karawang, Kepala Kepolisian Sektor Karawang, dan Kepala Kepolisian Sektor Teluk Jambe Timur.
Selain itu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Kepolisian Daerah Jawa Barat untuk menggelar perkara pada Laporan Polisi Nomor LPB/844/VII/2020/JABAR, yang mendudukan korban sebagai tersangka.
Apa daya, penegak hukum malah tetap meluluskan laporan CYC terhadap Valencya. Siti Aminah Tardi menilai tindakan penerapan hukum ini tidak tepat berdasarkan rangkaian fakta kekerasan yang dialami oleh korban di lingkup perkawinannya dengan pelaku.
Melihat Perspektif Korban
Siti berharap hakim dapat memutuskan kasus ini secara adil. Lebih lanjut, ia ingin hakim melihat dari perspektif korban untuk memperoleh keadilan yang sepatutnya.
“Memang hakim memiliki hak keputusan secara independen, namun kami berharap hakim dapat melihat kasus ini secara komprehensif dan berpihak pada keadilan korban,” katanya kepada Asumsi.co, Rabu (17/11/2021).
Siti mengungkap saat ini Valencya dan kedua anaknya sedang menjalankan proses konseling bersama Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Ia berharap konseling ini dilanjutkan untuk kesejahteraan kehidupan Valencya bersama kedua anaknya menjadi lebih baik dan stabil.
Senada dengan Abdul, Siti mengharapkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim harus memahami UU PKDRT untuk melindungi hak perempuan yang ada pada relasi kuasa yang tidak imbang.
Baca Juga: