Sengketa
Laut Cina Selatan kembali memanas. Setelah sebulan lalu Taiwan
“membentengi” pulau terbesarnya di wilayah itu dengan kapal-kapal
perang. Lalu Filipina yang bersiaga dengan angkatan lautnya. Kini giliran
Vietnam yang pasang ancang-ancang dengan menyiapkan milisi maritim. Ini
menjadi tantangan nyata bagi upaya Cina untuk mendominasi jalur air yang
disengketakan tersebut.
Dikutip dari South China Morning Post, Uni Eropa memperkirakan
sekitar 8.000 kapal penangkap ikan dan 46.000 nelayan adalah bagian dari milisi
maritim Vietnam. Kisaran angkanya bisa jadi lebih dari 70.000 milisi laut.
Kembali panasnya sengketa di wilayah tersebut,
setelah sebelumnya mengalami pasang surut, ditenggarai karena semakin
agresifnya Cina. Empat pekan lalu, Filipina mengklaim menemukan sejumlah
konstruksi ilegal buatan manusia di Union Banks, Kepulauan Spartly, yang
merupakan daerah sengketa di Laut Cina Selatan.
Aktivitas ini membuat Vietnam, yang juga
mengklaim Kepulauan Spartly, ikut merasa terancam. Apalagi Beijing masih dalam
posisi mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan yang disengketakan oleh
sejumlah negara tadi, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Baca juga: Pesawat China Masuk Teritori Taiwan, Apakah Hubungan Kedua Negara Memanas Lagi? | Asumsi
Cina mengklaim 80 persen Laut Cina Selatan atau
seluas 2000 KM dengan klaim sembilan garis imajier.
Dikutip dari South China Morning Post, Vietnam sendiri telah
mengesahkan undang-undang pada tahun 2009 yang memberi wewenang kepada milisi
maritimnya untuk melakukan patroli dan pengawasan laut. Mereka juga punya kuasa
menghadapi dan mengusir kapal asing yang mengganggu untuk mempertahankan pulau
dan terumbu karang yang dikuasai Vietnam.
Ketika tidak menangkap ikan, milisi terlatih
ini mengambil bagian dalam berbagai misi, terkadang bekerja sama dengan
angkatan laut Vietnam.
Misinya termasuk memata-matai fasilitas militer
dan kapal Cina, dan terkadang dengan sengaja bentrok dengan kapal penjaga
pantai Cina untuk menarik perhatian media Barat.
Terkait pembentukan milisi ini, otoritas Cina
menilai harus menanggapinya secara serius dan tepat waktu.
Cina harus memperkuat undang-undang tentang
kapal asing, menekan pemerintah Vietnam untuk menahan diri melalui saluran
diplomatik, dan meningkatkan kemampuan penjaga pantai untuk mencegah milisi.
Cina juga pernah bersinggungan langsung dengan
Vietnam pada Juni 2020 lalu. Kementerian Luar Negeri Vietnam menyatakan dua
kapal milik Negeri Tirai Bambu menyerang dan menyita hasil tangkapan serta
peralatan kapal nelayan Vietnam di Laut Cina Selatan.
Baca juga: Menakar Taji ASEAN Mengentaskan Krisis Myanmar, Efektifkah? | Asumsi
Vietnam lantas bereaksi dengan menyatakan bahwa tindakan oleh
Cina telah terjadi berkali-kali dan terus meningkat tanpa henti. Hal ini
menyebabkan ketidakamanan dan ketidakpuasan di antara para nelayan, mengurangi
produksi perikanan, menyebabkan kerugian ekonomi yang serius, melanggar
kedaulatan Vietnam, serta melanggar hukum Vietnam dan internasional.
Intervensi Amerika
Sengketa di Laut Cina Selatan, yang menggiurkan
akan sumber daya ekonomi dan migas ini, semakin panas dengan kehadiran Amerika
Serikat. Masuknya Paman Sam di sini dengan dalih menjalankan kebebasan navigasi
di perairan itu.
Mengutip CNBC Indonesia, kehadiran AS juga diikuti oleh rekan
NATO-nya, seperti Prancis dan Inggris, Maret 2021 lalu. Kemudian Jerman
juga akan menurunkan armada tempur maritimnya pada Agustus mendatang. Hal itu
merupakan pengiriman pertama kapal tempur milik Jerman ke perairan itu sejak
tahun 2002.
Selain itu, sebuah kapal perang Angkatan Laut
Kanada berlayar di dekat laut pada bulan Januari dengan melewati Selat Taiwan.
Angkatan Laut Kanada ini dalam perjalanan untuk ikut latihan bersama angkatan
laut Australia, Jepang, dan AS di Laut Cina Selatan.
Belum Membahayakan
Kendati tengah mempersiapkan milisi laut yang
kuat di Laut Cina Selatan, Vietnam disinyalir tidak akan bersikap sama dengan
Filipina dan Taiwan. Dikutip dari Global Times, sinyalemen ini menguat seiring kedatangan
Penasihat Negara Cina dan Menteri Pertahanan Nasional Wei Fenghe ke negara itu.
Baca juga: Kerjasama Alutsista Indonesia-Jepang, Seperti Apa Sih Keuntungannya? | Asumsi
Dalam keterangannya, Jenderal
Komite Sentral Partai Komunis Vietnam, Nguyen Phu Trong, menyebut pihaknya
tidak akan pernah mengikuti negara lain dalam menentang Cina. Mengenai masalah
Laut Cina Selatan, Trong mengatakan, kedua negara harus menangani masalah
tersebut dengan baik berdasarkan rasa saling percaya dan hormat. Ini dilakukan
untuk mencegah efek negatif terkait hubungan bilateral kedua negara.
Mengenai masalah Laut Cina
Selatan, Trong mengatakan, kedua negara harus menangani masalah tersebut dengan
baik berdasarkan rasa saling percaya dan hormat, dan mencegah efek negatif
terkait pada hubungan bilateral.
Xu Liping, Direktur Pusat Studi
Asia Tenggara di Akademi Ilmu Sosial Cina, Beijing, mengatakan kepada Global Times bahwa
hubungan antara Partai Komunis Cina dan Partai Komunis Vietnam selalu
membimbing dan memimpin arah perkembangan hubungan bilateral keduanya. Melalui
serangkaian tes dalam beberapa dekade terakhir, hubungan dua partai komunis ini
menjadi batu pemberat yang menstabilkan ketegangan dan mencari solusi
berdasarkan rasa saling menghormati ketika kedua belah pihak memiliki perbedaan.
Presiden Vietnam Nguyen Xuan Phuc
mengatakan, Vietnam tidak akan pernah mengikuti beberapa negara lain yang
menentang Cina. Banyak pakar menilai kalau ini bukan hanya ekspresi
persahabatan terhadap Cina, tetapi juga sinyal yang jelas kepada AS dan
negara-negara Barat lainnya di luar kawasan bahwa Vietnam tidak akan bisa
digunakan oleh kekuatan eksternal mana pun.
Setelah mengalami serangkaian
gesekan dan ketegangan dalam beberapa tahun terakhir, Vietnam dan banyak negara
kawasan lainnya telah mengetahui bahwa intervensi AS dalam masalah Laut Cina
Selatan, serta Strategi Indo-Pasifik terbaru usulan Washington, bermaksud
memecah belah negara.