Jepang sepakat untuk mengekspor alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan transfer teknologinya ke Indonesia. Hal ini disepakati dalam pertemuan antara Jepang dan menteri pertahanan Republik Indonesia, Prabowo Subianto di Tokyo pada Selasa (30/3/2021).
Dengan ditandatanganinya kesepakatan tersebut, maka Indonesia menjadi satu dari 10 negara, termasuk AS dan negara Eropa, yang sejauh ini memiliki perjanjian ekspor senjata serupa dengan Jepang. Di Asia Tenggara, Filipina, Malaysia, dan Vietnam sudah memiliki perjanjian transfer senjata dengan Jepang lebih dulu.
Jepang memang terbilang baru dalam jasa impor Alutsista ke Indonesia. Berdasarkan data yang dipaparkan
Kumparan Bisnis, negara-negara yang menjadi pemasok utama impor senjata Indonesia pada periode 2012-2016 adalah Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Korea Selatan, China, dan Jerman.Meski Indonesia juga mengembangkan industri pertahanan domestiknya, Indonesia memang tetap bergantung pada impor senjata untuk sebagian besar alutsistanya. Selama 2013–2017, berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Indonesia tercatat sebagai importir senjata terbesar ke-10 di dunia.
Lalu Bagaimana Kekuatan Alutsista Jepang?
CNN Indonesia pada 2014 menyebut kalau Jepang adalah satu dari dua kekuatan besar di Asia Pasifik yang kerap kali bersaing dalam memperkuat sektor militer, terutama dalam hal pengadaan alutsista. Cina menjadi pesaingnya.
Dalam bidang ini, Jepang tampaknya serius. Pada 2015, Jepang adalah negara nomor 7 dengan anggaran militer terbanyak mencapai 48 Milyar USD. Meski sejak 1945, Jepang hanya memiliki angkatan bersenjata yang bersifat pasif dan cuma diturunkan untuk misi damai. Namun, menyusul konflik dengan Cina, Jepang memperkuat diri dengan membeli selusin pesawat pengintai dan enam pesawat tempur siluman F-35 dari AS. Selain itu, Jepang sejak 2013 memiliki kapal induk Izumo. Angkatan laut Jepang disebut sebagai yang paling canggih dan terlatih di Asia
Dari kualitas, alutsista Jepang juga dinilai unggul dan modern ketimbang Cina.
Jepang memang sempat menutup diri dari militer luar untuk waktu yang sangat lama. Namun, sejak 1 April 2014, setelah deregulasi kebijakan atas ekspor alat-alat pertahanan atau penjualan senjata, Jepang berani membuka diri untuk kerjasama pertahanan.
Mengacu pada artikel yang diunggah di laman DW.com, isolasi Jepang pada industri militer nyaris tujuh dekade lamanya disebabkan trauma Perang Dunia kedua. Sampai sekarang, rakyat Jepang tetap peka menanggapi isu militer. Gejala militerisme dianggap sebagai salah satu hal utama yang ikut menghancurkan Jepang selama masa perang.
Lewat deregulasi kerjasama pertahanan yang disepakati di zaman Perdana Menteri Shinzo Abe ini, Jepang berharap bisa memperluas produksi senjata dengan biaya yang lebih rendah dan bekerjasama dengan negara-negara lain dalam mengembangkan teknologi militer.