Internasional

Pesawat China Masuk Teritori Taiwan, Apakah Hubungan Kedua Negara Memanas Lagi?

Irfan — Asumsi.co

featured image
AFP

Langit Taiwan belakangan tampak panas. Musababnya, seteru mereka di daratan, yakni Republik Rakyat China, semakin agresif melakukan provokasi lewat jalur udara.

Ini bukan sekali dua. Februari lalu, sebelas jet tempur dan pengebom China melakukan manuver di langit Kepulauan Pratas, yang terletak di bagian utara Laut China Selatan dan di bawah yuridiksi Taiwan. China bahkan mengepung Taiwan dengan menggelar sejumlah latihan angkatan udara dan laut secara serentak di bagian barat dan timur daerah itu pada pekan lalu. Terkini, China dilaporkan mengerahkan 25 pesawat tempurnya menerobos zona pertahanan udara Taiwan.

Dilansir dari CNN Indonesia, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Taiwan mengungkapkan angkatan udara mereka telah siaga penuh menanggapi provokasi-provokasi China. “Kami mengerahkan sistem rudal untuk memantau aktivitas tersebut,” ungkap perwakilan Kemenhan Taiwan.

Sejarah Lama

Meski sama-sama China, hubungan Republik Rakyat China dengan Taiwan yang punya nama internasional Republic of China memang tidak baik-baik saja.

Itu dimulai lewat sejarah panjang perseteruan antara Partai Komunis China yang dipimpin oleh Mao Zedong dengan partai nasionalis Kuo Min Tang yang dipimpin oleh Chiang Kai Sek.

Perang keduanya memojokkan Kuo Min Tang dan membuat partai yang khas dengan warna biru tua ini tersingkir dari daratan pada 1949. Chiang lantas membangun pemerintahan baru di Pulau Formosa.

Namun, China yang ada di daratan tak serta merta menerima pemerintahan baru di Taiwan. China mengklaim bahwa Taiwan merupakan bagian dari kekuasaan Partai Komunitas China. Pecah China Merah (Komunis) dengan China Biru (Nasionalis) pun tak terhindarkan. Meski hubungannya panas-dingin, perseteruan keduanya tak pernah benar-benar usai.

Lalu apakah provokasi China di teritori udara Taiwan akan membuat kondisi keduanya kembali memanas?

Mengutip kolom opini di NPR.com, Richard Bush, peneliti senior di Pusat Studi Kebijakan Asia Timur, menilai kalau kewaspadaan tentang risiko serangan China terhadap Taiwan memang meningkat akhir-akhir ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah tumbuh agresif bukan hanya pada Taiwan tetapi juga pada negara-negara sekitarnya. China telah merangsek di sepanjang perbatasan India, mengancam Vietnam, memperluas kehadiran militernya di Laut China Selatan, meningkatkan tempo operasinya di dekat Kepulauan Senkaku dan mengintervensi otonomi Hong Kong.

Beijing juga berinvestasi besar dalam kemampuan militer hingga mengerahkan berbagai kemampuannya untuk meningkatkan tekanan terhadap Taiwan di bawah ambang konflik. Prioritas utama China sekarang dan di masa mendatang adalah untuk menghalangi kemerdekaan Taiwan daripada memaksakan unifikasi.

Tsai Ing-Wen dan Ide Taiwan Merdeka

Hubungan antara China dan Taiwan sejatinya pernah membaik pada 1980-an. China mengajukan formula, yang dikenal sebagai “satu negara, dua sistem”, di mana Taiwan akan diberi otonomi yang signifikan jika menerima reunifikasi China.

Sistem ini didirikan di Hong Kong untuk digunakan sebagai suatu daya tarik agar orang Taiwan kembali ke daratan.

Kekhawatiran Beijing akan Taiwan mulai besar di era 2000-an ketika Presiden Taiwan, Chen Shu-bian menyebut bahwa dirinya adalah pendukung kemerdekaan Taiwan. Terpilihnya kembali Chen pada 2004 mendorong China untuk mengesahkan apa yang disebut undang-undang anti-pemisahan pada tahun 2005. UU ini menyatakan hak China untuk menggunakan cara tidak damai terhadap Taiwan jika mencoba memisahkan diri dari China.

Dalam pemilihan pada Januari 2016, Tsai Ing-wen dari Partai Progresif Demokratik berhasil mendongkel dominasi Kuo Min Tang di Taiwan dengan memenangkan Pemilu. Di era Tsai lah ide merealisasikan kemerdekaan dari China muncul.

Garis partai Tsai secara resmi memang mendukung kemerdekaan Taiwan dari China. Ini bertolak belakang dengan Kuomintang yang masih mengusung ide unifikasi antara Formosa dan daratan.

Keinginannya untuk mewujudkan Taiwan yang merdeka bahkan disampaikan secara terang saat dia terpilih kembali untuk kedua kalinya sebagai Presiden Taiwan. “Kami tidak perlu menyatakan diri kami sebagai negara merdeka, karena kami sudah merdeka,” kata Tsai kepada BBC dikutip dari AFP, 15 Januari 2020.

Bukan Hanya Ancaman Militer

Bonnie Glaser, direktur China Power Project di Center for Strategic and International Studies kepada NPR menilai kalau ancaman yang dihadirkan China lewat manuver-manuvernya di langit Taiwan bukanlah sekadar ancaman militer. Ini justru akan menjadi ancaman psikologis.

Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah meluncurkan berbagai alat untuk menghalangi kemerdekaan Taiwan dan secara bertahap melemahkan keinginan rakyat Taiwan untuk menolak integrasi dengan daratan. China telah menargetkan Taiwan secara ekonomi, berusaha membujuk para insinyur top Taiwan ke daratan, mengisolasi Taiwan di panggung dunia, mengobarkan perpecahan sosial di dalam Taiwan, meluncurkan serangan siber, dan melakukan pertunjukan kekuatan militer.

Tujuan Beijing adalah untuk terus-menerus mengingatkan rakyat Taiwan tentang kekuatannya yang terus berkembang, menimbulkan pesimisme tentang masa depan Taiwan, memperdalam perpecahan dalam sistem politik pulau itu, dan menunjukkan bahwa kekuatan luar tidak berdaya untuk melawan tekanannya.

Strategi ini mungkin membutuhkan lebih banyak waktu daripada perang, tetapi itu akan menghasilkan biaya dan risiko yang lebih rendah bagi Beijing.

Sementara perang terbuka dinilai akan terlalu beresiko. Soalnya, setiap upaya untuk merebut Taiwan dengan paksa kemungkinan besar akan mengundang konflik militer dengan Amerika Serikat. Konflik semacam itu akan sulit dibatasi eskalasinya ke luar Selat Taiwan.

Bonnie berpandangan, penggunaan kekuatan China terhadap Taiwan juga akan meracuni citra China di kawasan dan dunia.

Share: Pesawat China Masuk Teritori Taiwan, Apakah Hubungan Kedua Negara Memanas Lagi?