Bisnis

Beda Nasib Pengusaha Tempe di Luar Negeri, RI Masih Berjibaku dengan Kedelai Impor

Nadia — Asumsi.co

featured image
Wikipedia

Tempe merupakan salah satu makanan khas Indonesia yang sudah ada dari beberapa abad yang lalu. Bahkan, saat ini tempe juga menjadi salah satu makanan yang cukup mendunia. Saking populernya beberapa negara di dunia ikut memproduksi tempe. Salah satunya adalah Amerika Serikat.

Salah satu produsen tempe yang terinspirasi dari Indonesia adalah Seth Tibbot. Dilansir dari BBC (12/06/2021), Seth terinspirasi dengan Kota Malang yang menjadi tempat produksi tempe. Dia membaca tentang Malang dari buku Tempe oleh Bill Shurtleff. Ketika membaca buku itu, ia merasa kagum dengan produk kedelai yang bisa disulap dalam bentuk olahan makanan yang unik. Ia juga kagum terhadap kawasan Malang yang terkenal membuat tempe berkualitas tinggi meskipun lokasinya berada di pedesaan.

“Cerita ini yang menginspirasi untuk memulai memproduksi tempe dengan pindah dari kota besar, ke kota kecil dengan hanya kurang dari 100 jiwa penduduk, dan terletak 90 menit dari Portland, dengan udara dan air bersih,” ujar Seth.

Setelah membaca buku tersebut, ia memilih tempat produksi pertamanya di gedung sekolah yang tak lagi digunakan di kota kecil Husum, Washington. Sampai saat ini, bisnis tempenya terus berkembang.

Seth juga yakin bahwa tempe memiliki masa depan yang cerah. Ia menyatakan bahwa sejak awal produksi sampai sekarang, perkembangan produksi tempe berkembang lebih dari 30%. Menurutnya hal tersebut merupakan tanda bahwa orang Amerika menikmati tempe.

“Kalau kita majukan sekarang, [dari awal memproduksi 50 kilogram]… sekarang kami produksi 6.000 kg tempe setiap hari. Pasar ini masih kecil bila dibanding dengan pasar burger tanpa daging, namun berkembang lebih dari 30% tiap tahun, menjadi tanda bahwa orang Amerika menikmati tempe. Sekarang, tempe bisa dibeli di mana-mana di Amerika. Saya percaya, tempe memiliki masa depan sangat cerah di Amerika dan seluruh dunia,” ujarnya.

Baca Juga: Dicari: Swasembada Bahan Baku Tempe!

Produksi tempe di luar negeri ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang asing saja. Ada Rustono, salah satu pengusaha tempe asal Indonesia mendirikan kerajaan tempe di Negeri Kimchi. Dilansir dari Liputan6.com, pria yang lama tinggal di Yogyakarta ini sudah lebih 10 tahun menekuni produksi tempe di desa tempat domisilinya, yaitu di Kyoto, Jepang. Ia juga berguru dari beberapa pengrajin tempe di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Berkat keuletannya, hingga saat ini, omset bisnisnya sudah mencapai miliaran. Ia juga berniat untuk menguasai pasar tempe secara global.

Lalu, Bagaimana dengan Produsen Tempe di Indonesia?

Menurut Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifuddin, bisnis tempe saat ini masih sangat menjanjikan. Ia menerangkan bahwa produksi tempe saat ini sudah terus mengalami inovasi.

“Saat ini inovasi-inovasi baru banyak dibuat, seperti menjadi burger tempe, rendang tempe. kripik tempe dan lain sebagainya. Pada generasi ketiga, tempe juga dijadikan sebagai bahan kosmetik, sehingga kedelai menjadi bahan kecantikan seperti alat-alat pembersih muka “ tuturnya saat dihubungi Asumsi.

Aip juga mengatakan bahwa saat ini terdapat lebih dari 10 juta produsen yang terus memproduksi tempe. Selain itu, sekitar separuh masyarakat Indonesia menurutnya masih menyukai tempe. Jadi saat ini bisnis tempe masih cukup menjanjikan.

Gizi tempe yang tinggi juga menjadi salah satu keunggulan dari produk tempe. Menurutnya, agar produksi tempe terus berkembang, perlu adanya inovasi produk agar tempe terus diminati oleh masyarakat dan tidak kalah dari inovasi makanan luar negeri.

Baca Juga: Ben Laksana & Rara Sekar: Pemerintah Ingin Anak Muda Bertani, tapi Kebijakannya Kontradiktif

Namun, dengan perkembangan bisnis tempe saat ini bukan berarti tanpa hambatan. Menurut Aip, hambatan terbesar saat ini adalah produk kedelai masih impor dari luar negeri.

“Hambatan atau tantangan kita saat ini adalah 90% kedelai itu impor dari luar negeri, seperti dari Amerika, Brazil, Argentina dan lain-lain. Sedangkan yang 10% itu adalah kedelai lokal” tuturnya.

Ia juga menyatakan bahwa negara luar memproduksi kedelai dengan GMO (genetically modified organism) yang menjadikan hasil panen lebih besar dan banyak. Hal tersebut berbeda dengan Indonesia yang masih menggunakan cara natural dalam memproduksi kedelai. Karena produk kedelai ditanam secara natural, hasilnya lebih bagus, tetapi lebih sedikit jumlah panennya.

Aip berharap pemerintah bisa membantu dalam meningkatkan produksi kedelai lokal yang menurutnya kualitas serta gizinya lebih baik dari produk impor. “Caranya bagaimana silahkan pemerintah atur” tuturnya.

Berjibaku dengan Kedelai Impor

Beda nasib Evi Ekasari, yang merupakan salah satu pemilik usaha tempe kecil-kecilan di Jakarta, ia kerap kali kesulitan untuk membeli pasokan kedelai saat keran impor belum dibuka. Belum lagi harga kedelai yang dijual di Indonesia mengikuti fluktuasi harga global karena 90% kedelai RI adalah produk impor.

“Kita gak bisa naikan tempe sementara kedelainnya bisa tiba-tiba naik,” jelas dia.

Benar saja berdasarkan data Gakoptindo kebutuhan RI akan kedelai mencapai 3 juta ton/tahun. Dari angka tersebut, sekitar 2,67 juta ton berasal dari Amerika Serikat dan Brasil. Sementara dari dalam negeri hanya memberi pasokan sekitar 300 ribu ton.

Tekanan semakin berat ketika pandemi mempengaruhi bisnis. Ia menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dari usaha Tempe terus merosot. Hal ini dipicu oleh naiknya harga kedelai pada akhir Mei 2021.

“Adanya pandemi membuat usaha turun sampai 30%. Pelanggan yang biasanya beli jadi berkurang karena masih pada libur (kerja) juga,” ujar Evi dilansir dari CNBC Indonesia (04/05/2021).

Kemudian kasus serupa juga terjadi pada para perajin tahu dan tempe di Kompleks Kampung Tahu di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Para pengrajin harus bertahan dengan tetap berjualan dengan untung tipis meski harga kedelai kini mencapai angka tertinggi yaitu Rp 11.000 per kilogramnya. Akibatnya, suasana Kampung Tahu di Desa Babalan Lor, Bojong, Kabupaten Pekalongan kini tidak seramai dulu.

Dikutip Kompas sebelum harga kedelai melonjak, hampir sebagian besar rumah warga berhenti memproduksi tahu dan tempe. Salah seorang perajin tahu dan tempe, Mohammad Hadi (31), mengatakan kenaikan harga kedelai impor terjadi sejak Ramadhan hingga dua pekan setelah lebaran.

“Sebelum bulan puasa sudah Rp 8.000 terus naik sampai sekarang puncak tertinggi harga kedelai sampai Rp 11.000 perkilonya,” kata Hadi saat memproduksi tahu di rumahnya, Jumat (28/5/2021).

Naiknya kedelai impor di masa pandemi ini juga dikonfirmasi Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Syailendra mengatakan masih tingginya harga tahu-tempe di pasaran saat ini merupakan imbas kenaikan harga kedelai yang sudah terjadi sejak semester II 2020. Harga kedelai dunia naik 30 persen sehingga harga tahu-tempe di pasaran naik dengan rata-rata 20 persen.

“Tingginya harga kedelai di tingkat pengrajin tahu dan tempe tersebut merupakan dampak pergerakan harga kedelai dunia sejak pertengahan tahun lalu hingga sekarang,” ucap Syailendra dalam keterangan tertulis, Senin (1/3/2021).

Syailendra menyatakan Kemendag akan terus memantau dan mengevaluasi pergerakan harga kedelai dunia. Terutama bila terjadi penurunan maupun kenaikan harga sehingga harga kedelai yang diterima pengrajin tahu-tempe berada pada level yang wajar.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor kedelai RI pada Januari 2021 mengalami kenaikan 55,86 persen dari Desember 2020. Tepatnya dari 71,41 juta dolar AS menjadi 111,299 juta dolar AS. Impor pada Januari 2021 ini utamanya disumbang oleh Amerika Serikat sebanyak 104,99 juta dolar AS. Lalu diikuti Kanada 6,08 juta dolar AS, Malaysua 185.698 dolar AS, Prancis 32.411 dolar AS, Kamerun 1.442 dolar AS dan gabungan negara lainnya 179 dolar AS.

Share: Beda Nasib Pengusaha Tempe di Luar Negeri, RI Masih Berjibaku dengan Kedelai Impor