Isu Terkini

Ben Laksana & Rara Sekar: Pemerintah Ingin Anak Muda Bertani, tapi Kebijakannya Kontradiktif

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image

Ilustrasi: Ikbal/Asumsi.co

Melonjaknya harga kedelai membuat kita mesti memikirkan kembali sejauh mana tata kelola sektor pangan di dalam negeri. Kampanye ketahanan pangan, yang kerap digaungkan pemerintah, seperti membentur tembok tebal. Persoalan ini nyaris berulang saban tahun. Sekarang tempe, kemarin bawang, besok bisa jadi beras, dan lusa entah bahan pangan apa lagi.

Asumsi berbincang dengan pasangan peneliti dan musisi Ben Laksana dan Rara Sekar, yang dikenal publik menaruh perhatian terhadap isu pangan dan pertanian. Mereka juga konsisten berkebun selama beberapa tahun belakangan.

Selama hampir satu jam, kami mengobrol tentang banyak hal: pentingnya kedaulatan pangan, tak praktisnya kebijakan pemerintah, potensi tani menjadi kekuatan politik yang besar, hingga peran macam apa yang dapat dilakukan anak-anak muda masa kini guna mendukung pertanian dalam negeri.

Berikut petikannya:

Bagaimana kalian berdua melihat definisi ketahanan pangan?

Rara Sekar: Kalau dari yang kami pernah dapatkan sebelumya, [definisi] ketahanan pangan itu sendiri kurang lebih menitikberatkan pada akses, atau cara kita—masyarakat—mendapatkan pangan. Ini belum ideal, ya, sebab yang ideal adalah kedaulatan pangan. Ketika petani bisa menentukan [jenis] pangan yang dia tanam. Ketika petani bisa bebas menjual ke mana tanaman yang dia hasilkan. Ada semacam kemerdekaan. Tapi, memang pada dasarnya sebelum menuju ke sana [kedaulatan pangan], kita bicara soal ketahanan pangan terlebih dahulu.

Ben Laksana: Benar apa yang Rara bilang. Ketika kita bicara soal ketahanan pangan, kita lihat dulu bagaimana perspektifnya. Kalau [pakai] liberalisme, berarti, ya, bicara soal impor. Memang ketahanan pangan itu penting. Paling tidak kita bisa memiliki itu. Tapi, penginnya, [kita] bisa melampaui itu.

Ketahanan pangan relatif mudah dicapai. Kalau kurang, misalnya, tinggal impor. Ini solusi untuk jangka waktu yang pendek. Belum kita bicara mengenai dampak yang ditimbulkan. Selama ini, ketahanan pangan memaksa petani untuk fokus ke satu pangan saja, entah padi atau, katakanlah, singkong. Intinya, kalau ingin [punya] ketahanan pangan, relatif mudah ditempuh jika mengambil cara-cara tertentu.

Namun, berbeda kalau kita bicara soal kedaulatan pangan. Kita punya kuasa atas apa yang kita tanam, atas apa yang kita makan. Jujur, ini yang sulit [direalisasikan].

Cita-cita itu, saya kira, cukup sulit diwujudkan mengingat beberapa tahun belakangan geliat pembangunan infrastruktur cukup masif terjadi di banyak daerah. Dampaknya ke petani pun tidak kecil: lahan mereka jadi tumbal. Musuh yang dihadapi, pada akhirnya, begitu besar: negara dan korporasi. Apakah ada jalan keluar?

Ben: Ini menarik. Pada akhirnya kita akan melihat pemerintah melakukan kontradiksi: gencar kampanye ketahanan pangan, meminta anak-anak muda untuk bertani, tapi kebijakannya justru berlawanan dengan itu. Secara retorika: jangan malu jadi petani. Masalahnya, bukan malu atau tidak; memang bisa hidup dari bertani? Banyak lahan pertanian hilang, digantikan pembangunan yang fokusnya ke kebutuhan kelas menengah, seperti bandara sampai jalan tol, alih-alih petani.

Tidak hanya untuk pembangunan, lahan pertanian juga hilang karena banyak yang telah diberikan ke korporasi. Jadinya, petani bukan lagi petani, melainkan buruh tani; bekerja kepada orang lain. Ketika mereka tidak punya akses ke lahan, kondisi mereka akan makin terhimpit. Hidup pas-pasan. Ini jadinya kalau negara dikelola dengan kacamata BUMN, atau state capitalism.

Jalan keluarnya adalah selain mengembalikan kepemilikan lahan—yang mungkin sebelumnya sudah direbut negara—ke petani, yaitu juga melindungi posisi petani itu sendiri. Caranya? Dengan, contohnya, menjaga harga [pangan] tetap stabil dan tidak terjebak dalam arus pasar bebas.

Jangan sekadar bilang, “Kita, kan, udah kasih lahan. Terserah [kalian] mau nanem apa,” tapi ketika jualan sawi per ikat harganya cuma laku 100 perak. What the fuck banget, kan?

Negara, atau dalam hal ini pemerintah, harus punya kebijakan yang terukur lewat berbagai insentif, pengendalian harga pasar, sampai pemberian teknologi untuk meningkatkan kualitas pertanian kita. Intinya, harus ada intervensi negara yang [bisa] melawan pasar bebas. Tanpa kebijakan yang sustainable, para petani bakal terjun bebas dengan harga [pangan] yang bebas pula.

Di Brasil, Hutan Amazon terancam rusak akibat pembukaan lahan besar-besaran. Ini tak lepas dari kebijakan dari Jair Bolsonaro, pemimpin populisme sayap kanan, yang sangat pro-pengusaha atau korporasi. Apakah gejala serupa, kaitan antara populisme sayap kanan dan kerusakan lingkungan, sudah mulai terlihat di Indonesia?

Ben: Kalau soal itu, sebetulnya, bisa kelihatan banget lewat kebun sawit. Kebijakan pemerintah Jokowi, dan pemerintah yang sebelumnya, sangat populis. Masyarakat banyak yang mendukung pembukaan lahan, yang kemudian dipakai untuk perkebunan sawit, atau food estate di Kalimantan. Dan aku pikir ini hebatnya pemerintahan yang populis, ya. Mereka enggak hanya menindas secara fisik, tapi juga merenggut akal sehat keseharian kita yang berkelindan antara hal baik dan buruk.

Mengapa masyarakat masih mendukung sawit meski tahu itu dampaknya negatif karena, aku pikir, retorika ekonomi yang selalu ditonjolkan, dan hal lain patutnya—atau sedikit—bisa dikorbankan untuk merealisasikan itu. Kebun sawit sampai [penanganan] COVID-19, secara garis besar, punya benang yang sama: ekonomi adalah raja di atas segalanya.

Rara: Menurutku kalau soal populisme sayap kanan di Indonesia, kayaknya, enggak sampai ke situ. Pada dasarnya Indonesia ini enggak kelihatan ideologinya. Ideologinya cuma oportunistik. Menurutku, yang lebih berbahaya selain pemerintah yang sering mengedepankan pembangunan eksploitatif, dilihat dari proyek-proyek infrastruktur selama ini, adalah masyarakat kita [masih] memilih aspek “ekonomi” daripada ekologi.

Persoalan ekologi itu enggak hanya buang sampah ke tempatnya, atau hal-hal yang sifatnya sederhana. Dia bicara juga soal hal yang lebih mendalam: bagaimana kita menjalin relasi dengan alam, bagaimana kita menggunakan empati untuk hidup berdampingan dengan alam.

Kita belum sampai pada titik itu, dan jadinya kayak sekarang ini. Contoh mudahnya COVID-19. Banyak yang masih memikirkan [kepentingan] dirinya sendiri daripada kesejahteraan atau keselamatan kolektif.

Ketika pemerintah mendorong kebijakan yang eksploitatif, kita nggak terlalu peduli karena masih menggangap semua akan baik-baik saja. Kita masih bisa makan dan sebagainya. Kita belum bisa berpikir jernih bahwa saat alam rusak, kita bisa terancam nggak punya makanan. Hal seperti ini belum ada di kita sebab kita merasa belum pernah mengalami [kesusahan] itu. Kita hanya berpikir tentang hari esok, esok, dan esok.

Di titik inilah, kami sadar bahwa berkebun membuat kami sedikit-banyak mengalami itu. Dengan berkebun, kami tahu bahwa perubahan iklim itu betulan berpengaruh ke tanaman yang kami pelihara. Bisa bayangin, kan, gimana keadaannya bagi mereka yang benar-benar tergantung sama alam?

Ben: Dan yang harus digarisbawahi adalah tidak ada segregasi antara ekologi dan ekonomi. Keduanya selama ini terkesan saling dibenturkan dan seperti tidak ada jalan tengahnya.

Rara: Seakan-akan dikotomis.

Ben: Iya, seakan dikotomis, padahal enggak. Intinya, kalau enggak ada ekologi, enggak akan ada ekonomi juga. Keduanya saling membutuhkan, dan sekarang tinggal bagaimana kita mendefinisikan konsep ekonomi itu sendiri. Kalau fokusnya ke kapitalisme, dan ini jadi kritik terbesar untuk kapitalisme, maka ujung-ujungnya akan eksploitatif karena tujuannya adalah kapital. Padahal, kita bisa bicara soal ekonomi yang saling menghidupi.

Petani jadi garda terdepan dalam sektor pangan. Tapi, kerap kali mereka justru jadi pihak yang paling rentan. Adakah kemungkinan untuk para petani sekarang membikin kekuatan politiknya sendiri supaya mereka bisa punya posisi dalam perumusan kebijakan?

Ben: Dulu bisa kalau kita ngomongin BTI [Barisan Tani Indonesia]. Patungnya bahkan masih ada di Jakarta (tertawa).

Keburu diberangus Orde Baru, ya.

Ben: (Tertawa) sebetulnya kelihatan kalau yang pernah terjadi, kemungkinan bisa terjadi lagi. Sekarang, pertanyaannya, apa yang jadi hambatan untuk para petani agar kewibawaan, kebanggaan, pengetahuan, dan potensi jadi kekuatan politik bisa tetap terjaga?

Aku pikir hambatannya ada di solidaritas. Kesadaran, kepedulian, dan perhatian untuk menganggap bahwa masalah di sektor pertanian itu adalah masalah kolektif—alih-alih individu—belum sepenuhnya terbentuk. Dan ini, aku rasa, terjadi di hampir semua profesi, bahkan yang digeluti, tanda kutip, anak muda kelas menengah atas.

Titik terangnya agar petani punya gerakan politik adalah mulai menumbuhkan kesadaran dan berbagi pengetahuan terhadap masalah yang dihadapi, bahwa yang dihadapi adalah persoalan yang lebih struktural, yang menyangkut kepentingan hidup banyak orang. Masalah itu akan bisa dihadapi ketika yang menghadapinya adalah kolektif. Ini bisa jadi langkah awal bagi petani untuk mendefinisikan kembali makna petani, bahwa petani sebagai makhluk politik.

Rara: Bagiku, perlu adanya liberasi petani muda yang lebih kritis. Aku follow beberapa dari mereka di media sosial. Beberapa kolektif cukup radikal. Ada yang pulang ke kampung, mengelola lahan, dan berjualan beras. Ada yang jadi sarjana lalu ke Sukabumi untuk bertani.

Masalahnya, kolektif-kolektif ini punya tantangan yang nggak sepele, dan kebanyakan berkutat soal material. Dari akses ke lahan sampai modal. Misalnya, untuk menanam [sayur] organik itu butuh waktu sekitar lima tahun karena tanah yang dipakai adalah bekas tanah konvensional yang sudah sangat rusak akibat penggunaan pupuk atau bahan kimia yang banyak.

Kebayang enggak, sih, kamu nanem lima sampai tujuh tahun tapi potensi keuntungannya cuma 30 atau 40 persen? Kerugiannya sangat besar, dan mereka nggak punya akses ke modal karena sifatnya yang independen. Aku sempet ngobrol sama beberapa petani, dan mereka bilang bahwa transisi menuju pertanian yang lebih sehat itu juga perlu butuh modal yang kuat. Ini belum bicara soal pembangunan infrastruktur yang kontradiktif, yang hasilnya makin menjauhkan mereka dari tanah.

Jujur, memang ada harapan, tapi tantangannya juga besar. Aku juga enggak tahu apakah mereka yang bertahan ini bakal berhasil atau enggak. Kalau pada akhirnya banyak yang mundur [jadi petani], aku nggak terlalu kaget karena buat apa [bertahan]? Toh, enggak menghidupi juga, kan?

Dari sini, kadang mikir: ada enggak, ya, angel investor, orang baik yang bersedia membantu [petani], di tengah hidup yang serba kapitalistik ini?

Ben: Ini juga sekaligus memperlihatkan bahwa kita, sebagai seorang pekerja, sebetulnya, enggak ada bedanya dengan petani yang berada di bawah payung kerentanan. Masalahnya, kerentanan yang dialami petani itu menyedihkan karena bisa berdampak fatal sebab masyarakat butuh pangan.

Menyambung omongan rara soal investor, sebetulnya juga di sinilah kita butuh kehadiran pemerintah. Kita butuh pemerintah buat hadir di tengah gelombang free market ini. Mereka bisa kasih bantuan macam-macam, dari akses, kapital, modal politik, sampai pengetahuan.

Soal kehadiran negara, masalahnya, kita sering menjumpai bahwa hal itu sebatas formalitas, baik lewat acara seremonial atau yang lain.

Ben: Kita sadar banget hal itu, dan ini jadi masalah pemerintah. Mereka fokus pada seremonial, tapi secara praktis masih jauh dari harapan. Kenapa kita sedikit menitikberatkan pada kehadiran pemerintah walaupun kita tahu realitanya kadang bicara lain? Sebetulnya, banyak banget inisiatif yang bermunculan untuk warga bantu warga. Itu bagus banget. Tapi, ada keterbatasan dari inisiatif semacam itu. Sejauh mana modal mereka? Kemampuan modalnya, baik secara ekonomi maupun sosial, begitu terbatas.

Contohnya inisiatif Bagi Rata kemarin, di mana aku sama Rara juga bantu. Selama setahun, sejak awal pandemi, cuma terkumpul [donasi] sebesar Rp560 juta. Itu kecil banget.

Rara: Habis buat workshop [pejabat pemerintahan] tiga hari di Bali (tertawa).

Ben: Inisiatif bantu warga banyak yang lahir, dari Yogyakarta sampai Bali. Masalahnya, akan sejauh apa [bertahan]? Kekurangannya itu. Pemerintah bisa kasih modal yang besar. Tapi, sebelum ke situ, mereka harus reformasi birokrasi dulu. Ini dibutuhkan supaya kultur birokrasi kita nggak hanya sekadar seremonial, tapi juga substansial, lebih-lebih lagi bisa sustainable. Jadi, enggak hadir satu-dua hari aja habis itu ngilang.

Kayak di-ghosting, ya.

Ben: (Tertawa) iya, kayak di-ghosting. Kenal orang, seneng, tapi habis itu ilang. Kita bukannya pesimis, tapi realistis aja.

Banyak anak muda yang mulai turun untuk bertani, atau minimal berkebun saat ini, terutama pada masa pandemi. Bagaimana kiat agar partisipasi tersebut tak hanya berujung sebagai gimmick belaka?

Rara: Susah, sih, ya.

Ben: Ini juga jadi pertanyaan kita kemarin.

Rara: Pandemi memang bikin banyak orang jadi mulai aktif berkebun. Seperti kemarin kami sering dapat spotlight. Banyak yang tanya, “Loh, kalian berkebun?” Lah, selama ini cuma dilihat apa, ya? Pialang? (tertawa)

Memang untuk mengisi waktu luang enggak masalah. Cuma, masih sangat sedikit yang berupaya menghubungkan kegiatan mereka dengan isu agraria, ekologi, iklim, atau politik. Jadinya, kegiatan berkebun atau bertani itu sekadar sampingan. Padahal, itu jadi jantung kegiatan bertani dan nggak bisa dilepaskan.

Aku merasa kolektif atau inisiatif [berkebun dan bertani], terutama di kota-kota besar, masih sangat permukaan, atau bahkan cenderung bisnis. Mereka jualan skill berkebun, dan aspek sosial belum jadi prioritas utama. Bagiku, perlu dibikin gerakan yang lebih politis karena kalau hanya iseng-iseng aja terus, jatuhnya malah bosan dan capek.

Ben: Berkebun itu susah. Kami mengalaminya. Apalagi kami tinggal di Bogor, yang cuacanya nggak tentu, dan sering hujan intens. Susah banget. Kalau nggak tahan, akan gampang menyerah. Tapi, hasilnya akan beda kalau lihat berkebun atau bertani jadi pintu masuk untuk melihat aspek sosiokultural yang lebih besar. Bukan sekadar demi posting di Instagram.

Rara: Kita udah males kayaknya, ya, posting di IG (tertawa).

Ben: Selesai tanem, [hasilnya] langsung makan (tertawa).

COVID-19 mengubah banyak aspek dalam kehidupan, menuju kenormalan baru. Apa yang kira-kira bisa diperbaiki dari sektor pertanian dan pangan kita?

Ben: Ada peluang, tapi kecil, selayaknya sebuah harapan. Pandemi ini, kan, membuat orang-orang punya kesadaran lebih untuk hidup sehat. Antara beli sepeda seharga Rp40 juta, atau madu Rp2 juta. Yang jelas, intinya, [ingin] hidup sehat. Ini termasuk konsumsi sayur-mayur dan buah-buahan. Orang pada mencari yang organik, dan ini bisa jadi peluang bagus untuk petani dan mereka yang bergiat di bidang pertanian. Semacam jadi momentum untuk menghidupkan kembali.

Meski begitu, tantangannya cukup berat. Di Bali, Jakarta, atau Surabaya, tren makanan organik harganya bisa tiga kali lipat dari makanan biasa. Harus diakui pula bahwa bisnis makanan organik bukan hal mudah. Kemampuan ini tidak banyak dimiliki petani konvensional. Tapi, aku rasa, hal itu bisa diwujudkan selama dibarengi modal dan pengetahuan. Kalau nggak ada yang bantu [petani], maka peluang tersebut nggak akan bisa termanifestasi.

Rara: Selain kehausan untuk yang sehat-sehat, ada juga peluang bagi pertanian skala kecil, atau community supported agriculture. Contohnya ada di kawasan Merbabu, ketika petani muda kerja sama dengan petani lokal. Mereka menghubungkannya dengan pasar Jakarta, jualan bahan-bahan organik. Model bisnis seperti ini laku karena COVID-19, dan produknya selalu habis. Selain organik, mereka jualan juga sayuran eksotis seperti tomat hitam.

Ini bagus banget menurutku. Pastinya, model kerja sama kayak gitu bisa motong biaya tengkulak dan nggak terjebak dengan harga pasar global. Di lain sisi, juga memberikan kedaulatan bagi petani. Model seperti ini sangat menarik.

Ben: Dan memperlihatkan bahwa ada keterbukaan soal bagi hasil, kan, ya. Mau beli berapa, dijual berapa, dan keuntungannya gimana. Semua pihak jadi sama-sama tahu, dan nggak sekadar dikelola secara individualis.

Rara: Aku jadi mikir kalau misal ada dana abadi LPDP, kenapa enggak ada dana abadi untuk petani? Ya nggak, sih?

Ben: Iya (tertawa).

Rara: Dalam situasi krisis seperti sekarang, petani jadi pihak yang dibutuhkan. Uang dari dana abadi itu, nantinya, bisa dipakai buat modal atau update pengetahuan—lewat studi, atau apa pun itu. Harusnya mereka bisa [dapat dana abadi]. Aneh banget kalau nggak ada hal kayak gini. Ah, entah. Pusing (tertawa).

Mungkin karena ada hubungannya dengan stigma? Petani masih dianggap kalah kelas dengan anak-anak muda yang kuliah di luar negeri dan dibiayai oleh negara.

Rara: Betul….

Ben: Kita berharap banget saat krisis seperti sekarang pemahaman terhadap hal-hal fundamental, seperti pangan, bisa digali lebih dalam, dan akhirnya kita bisa melihat bahwa petani itu pekerjaan yang sangat mulia.

Rara: Dan esensial.

Bagaimana kalian melihat perkembangan kebijakan reforma agraria, yang sempat digembar-gemborkan pemerintah beberapa tahun ke belakang? Apakah sudah maksimal?

Ben: Sejauh ini kami belum lihat basis datanya seperti apa. Berapa banyak lahan yang dikembalikan dan apakah efektif untuk kesejahteraan petani atau tidak. Yang kita cuma lihat [pembagian] sertifikat, dan belum lihat peran mendalam Kementerian Pertanian. Apakah reformasi agraria itu dibarengi dengan produksi teknologi baru sampai perlindungan petani atau justru enggak. Kita nggak tahu, dan nggak tahu [kebijakan ini] ada fungsinya enggak. OK, memang udah dibagiin. Tapi, what’s next?

Rara: Dan kita juga bukan petani. Tapi, dari yang kita baca lewat laporan [media], juga pengalaman petani muda yang kita kenal, kayaknya [reforma agraria] belum berdampak. Menurutku masih kontradiktif aja. Semacam penghapusan dosa ketimbang mengubah sistem pangan jadi lebih berdaulat. Kayak ini dinego dilakukan, agar yang ini bisa dilanjutkan. Kontradiksinya: masih ada penggusuran, pengambilan lahan secara tidak adil, tapi ada juga pemberian sertifikat.

Ben: Ada food estate, tapi dimiliki oleh siapa (tertawa).

Rara: Karena nggak ada pegangan ideologis tadi, ya (tertawa). Intinya, kami kurang tahu. Tapi, yang kami tahu adalah bahwa petani hari ini untuk bener-bener hidup dan sukses itu kemungkinannya sangat rendah. Kebanyakan anak muda nggak mau bertani, selain nggak prestise, juga karena nggak menghasilkan karena itu jadi nggak prestise. Kalau petani penghasilan Rp50 juta sebulan [anak-anak muda] nggak usah jadi YouTuber. Atau malah sekalian jadi petani YouTuber aja. Bagiku, realitas itu udah jelas: kebijakan [pemerintah] kurang berpihak kepada petani.

Share: Ben Laksana & Rara Sekar: Pemerintah Ingin Anak Muda Bertani, tapi Kebijakannya Kontradiktif