Isu Terkini

Dicari: Swasembada Bahan Baku Tempe!

MM Ridho — Asumsi.co

featured image

Ilustrasi: Ibam/Asumsi.co

Memori itu buram, tetapi saya masih mampu melihatnya. Sekitar dua puluh tahun lalu, dalam perjalanan pulang dari kampung halaman bapak di Ciparay, Kabupaten Bandung, kami berhenti untuk mampir sejenak di rumah yang terus menguarkan uap dan aroma langu yang sangat kuat.

Kata Bapak, tempat itu adalah pabrik pembuatan bahan baku makanan favorit saya: tempe orek.

Setelah bapak bertemu dengan rekannya di pabrik, saya mencuri-curi kesempatan untuk berkeliling. Orang-orang bercelana pendek dan berkutang sibuk bekerja di pos masing-masing. Ada yang menampi kedelai dengan tampah, ada yang meremas-remas kedelai di dalam air, ada yang memasukkan kedelai ke dalam panci dan mengangkatnya dengan kain seperti jaring, ada pula yang menaburkan ragi ke hamparan kedelai di atas kajang bambu yang dilapisi karung putih.

Di ruangan lain,  beberapa orang membungkus tempe yang masih terlihat lembab dengan plastik dan menumpuknya pada sebuah rak bambu bertingkat dengan sangat rapi.

Ingatan itu kerap membayang ketika saya melihat ibu memasak tempe di dapur, terutama pada hari-hari ketika hanya ada tempe di meja makan kami.

Saya menulis di Twitter pada Hari Ayah Nasional tahun lalu: Ayah berulang kali menyulut maut tapi ibu menangkalnya/dengan ikan teri atau berbagai olahan kedelai.

Tak hanya keluarga kami, tempe telah menyelamatkan jutaan rakyat Nusantara selama berabad-abad. Keberadaannya tercatat dalam berbagai catatan sejarah sebagai sumber nutrisi andalan rakyat. Ia bisa ditemui dalam Serat Centhini yang ditulis pada 1814-1823. Bahan bakunya, kedelai, bahkan bisa ditemukan dalam Serat Sri Tanjung yang ditulis pada abad ke-12.

Belakangan, saya sering melihat tempe diramu menjadi makanan siap santap yang canggih. Ia dapat diolah menjadi burger, bacon, hingga pengganti daging di poke bowl dan ramen yang ramah bagi penganut gaya hidup vegan dan vegetarian.

Dari sekian banyak sajian tempe kekinian yang pernah saya cicipi –iya, saya pernah mencoba itu semua demi mengambil hati perempuan vegan yang saya sukai– tetap belum ada yang berhasil menggantikan supremasi tempe orek dalam khazanah kuliner saya. Dan seperti yang kita semua ketahui, tempat terbaik untuk memperolehnya adalah warteg.

Awal tahun ini, para pengrajin tempe dan tahu se-Indonesia mogok akibat mahalnya harga kedelai selama 3 hari, dari Jumat (1/1) hingga Minggu (3/1).

Kendati hanya berlangsung selama tiga hari, aksi mogok itu mampu menghasilkan efek yang disruptif. Tempe mendadak langka di pasaran, dan kalaupun ada, harganya bisa mencapai 30 persen lebih mahal daripada harga jual normalnya. Harganya naik dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram.

Efek dominonya bahkan bisa dijumpai hingga ke warteg di sekitar kediaman saya yang senantiasa menyediakan kudapan siap santap. Di sana tempe diramu menjadi beragam pilihan menu, mulai dari sayur lodeh hingga mendoan. Dan tentu, tempe orek yang sulit sekali diabaikan keberadaannya ketika memilih lauk pauk.

Namun, sewaktu saya mengamati etalase warung itu pada Selasa (5/1), tidak ada tempe orek yang tersedia. Hanya tersisa dua potong tempe goreng tepung di antara tumpukan bakwan di nampan gorengan, yang terlihat dihangatkan kembali sejak dua hari lalu.

Rupanya, pemogokan ini tidak hanya berdampak terhadap warteg di dekat rumah saya. Ketua Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni mengatakan beberapa warteg di bawah koordinasinya sampai tidak menjual menu berbahan tempe dan tahu untuk sementara. Beberapa di antaranya ada yang harus menyiasatinya dengan memperkecil ukurannya, karena khawatir para pelanggan pergi melihat harga yang mahal.

Padahal, menurut Mukroni, sekitar 25 hingga 35 persen pemasukan 40 ribu warteg se-Jadebotabek yang tergabung dalam Kowantara setiap harinya berasal dari makanan berbahan baku tempe dan tahu.

Tidak adanya tempe dan tahu sangat mempengaruhi operasional warteg karena bahan baku tersebut secara inheren sudah menjadi trademark warteg yang bersahabat dengan kantong, terkhusus di masa-masa sulit.

“Tempe tahu makanan favorit para pelanggan warteg. Di masa pandemi banyak pengangguran. Daya beli turun, omset juga turun. Warteg tambah bangkrut jika harganya juga mahal,” ujar Mukroni kepada Asumsi.co.

Dari Hulu ke Hilir

Kesulitan yang dirasakan para pengusaha warteg dan pelanggannya adalah hiilir dari masalah ketersediaan pangan yang tak kunjung usai.

Dalam 10 tahun belakangan, ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor semakin meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik, impor kedelai berjumlah 1.740.504 ton pada 2010, dan terus naik hingga 2.670.086 ton pada 2019. Tahun lalu, tercatat 2,11 ton kedelai yang diimpor sampai bulan Oktober saja. Total transaksinya sebesar 842 juta dolar AS (sekitar Rp11,7 triliun).

Sementara itu, produksi kedelai dalam negeri naik-turun dan jumlahnya tidak sampai setengah dari kedelai impor. Produksi kedelai lokal hanya 907.031 ton pada 2010, kemudian 851.286 ton pada 2011, 843.153 ton pada 2012, lalu 779.992 ton pada 2013.

Pada 2014, produksi kedelai  sempat naik menjadi 954.997 ton dan 963.183 ton pada 2015. Setelahnya, tak ada lagi hasil panen kedelai yang tercatat.

Mirisnya, kedelai umumnya diimpor dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Argentina, dan Prancis.

Kenaikan harga kedelai yang terjadi di peralihan tahun kemarin disebabkan oleh meningkatnya konsumsi di tingkat global, terutama Cina, sementara penawaran relatif tetap. Permintaan kedelai di negara itu naik dua kali lipat, dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton pada Desember lalu.

Harga pun terkatrol, dari 11,92 dolar AS per bushels pada November menjadi 12,95 dolar AS per bushels pada Desember. Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat harga rata-rata kedelai pada Desember menjadi 461 dolar AS/ton, naik 6 persen dibanding November.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi mengatakan faktor lain yang menyebabkan kenaikan harga kedelai impor adalah lamanya waktu transportasi.

“Yang semula [kirim kedelai impor] ditempuh selama tiga minggu menjadi enam hingga sembilan minggu,” kata Suwandi.

Pentingnya Bahan Baku Murah

Tempe dan tahu sudah terpantau kembali di pasaran sejak beberapa hari lalu, meski harganya masih belum normal. Mukroni dan para pengusaha warteg setidaknya bisa kembali bernapas walau tersendat. Pasalnya, kelangkaan tahu tempe kerap berulang. “Kayak ritual aja, wajib terjadi kayak beginian,” pisuh Mukroni.

Meski bisa disiasati, hal ini tidak dapat diantisipasi karena tahu dan tempe tidak bisa disimpan dalam waktu lama. Sebab, menurut Mukroni ‘ritual’ ini terjadi dalam waktu yang tidak bisa diperkirakan setiap tahunnya.

Peristiwa ini mengingatkan Mukroni pada tujuh tahun lalu ketika tempe dan tahu mengalami kelangkaan karena kenaikan harga kedelai dalam waktu yang cukup lama. Hampir sewindu berlalu, wacana swasembada untuk menjamin ketersediaan bahan pangan yang murah hanya menjadi janji kampanye.

“Sampai tahun ini, ritual kenaikan dan kelangkaan tempe tahu masih terjadi,” sesal Mukroni.

Ia sangat berharap pemerintah menjaga keberlangsungan stok kedelai agar produk tempe dan tahu tersedia dengan harga terjangkau. Mewakili Kowantara, ia berharap swasembada kedelai benar-benar direalisasikan pemerintah agar tidak bergantung pada impor, sehingga tidak perlu lagi ada kenaikan harga secara mendadak yang berbuntut kelangkaan.

“Dengan bahan baku yang murah, di masa daya beli masyarakat rendah ini, [tahu-tempe] sangat membantu pelanggan yang keuangannya terbatas,” ujar Mukroni.

Share: Dicari: Swasembada Bahan Baku Tempe!