Hiburan

Nicholas Saputra dan Budaya Antre Kita

Irfan — Asumsi.co

featured image
Facebook/nicholassaputra2

Nicholas Saputra serupa magnet. Kehadirannya kerap menjadi daya tarik. Pribadinya yang pendiam dan cenderung misterius malah membuat orang makin penasaran dengan sosoknya. Seperti hari ini, Selasa (20/4/2021),  ketika namanya ramai diperbincangkan di jagat Twitter.

Namun, kali ini, perbincangan soal Nicholas Saputra bukan seputar filmnya. Bukan pula seputar unggahan selfie di akun Instagram pribadinya – yang hampir sama sekali tak pernah terjadi, kecuali saat dia meminta orang untuk ambil bagian dalam Pemilihan Umum 2019 lalu. Kali ini, Nicholas Saputra diperbincangkan karena sikap budaya antrenya.

Cerita ini pertama viral lewat unggahan akun atas nama @Teh_L. Akun berfoto perempuan dengan pekerjaan event organizer sebagaimana tertulis di bio Twitter-nya ini mengunggah dua tangkapan layar dari caption Instagram seseorang yang kebetulan satu antrian dengan pemeran “Ada Apa Dengan Cinta?” itu saat hendak menjalani vaksinasi di Istana Negara, Senin (19/4/2021).

Menurut orang yang namanya disensor oleh akun @Teh_L itu, vaksinasi berjalan relatif lancar. Namun, sempat ada sedikit drama saat dirinya mengantre dari meja satu yang merupakan sesi pendataan ke meja dua yang merupakan sesi screening kesehatan.

Baca juga: Twitter Kocak Veronica Koman Adalah Semangat Hidupku


Drama ini disebabkan oleh sebagian selebritas peserta vaksi yang datang belakangan, namun langsung dipersilakan oleh petugas untuk duduk di meja dua. Menurutnya, penyelaan antrean ini bukan sekali dua terjadi.

Namun, di antrean yang sama, Nicholas Saputra justru tetap setia menunggu gilirannya di antrean. Setiap ada yang mempersilakan dia untuk maju lebih dulu, Nicholas Saputra tetap memilih antre. Bahkan dia sempat menegur panitia yang menahan si pemilik cerita untuk maju ke meja dua karena sudah disela oleh dua seleb lainnya.

“Kata-katanya bikin saya semangat, dan saat yang ketiga kalinya mau ditahan lagi, saya pun langsung ke meja dua,” kata si pemilik cerita.

Unggahan ini lantas mendapat respons dari warganet. Hingga Selasa (20/4/2021) pukul 13.30 WIB, unggahan ini sudah di-retweet sebanyak 4.902 kali dengan 1.717 quote tweetLikes-nya pun mencapai 21.200-an.

Respons Beragam

Sebagaimana biasanya warganet, pasti akan banyak komentar lucu yang menghinggapi unggahan ini. Fiersa Besari, penyanyi dan penulis misalnya mencuit: “Waktu saya vaksin juga antre kok. Cuma bedanya saya bukan Nicholas Saputra. Jadi enggak ada yang ngeh kalau saya ikut antrean,” kata dia sambil dibubuhi emoticon tertawa.

Namun selain diisi oleh komentar seputar Nicholas Saputra, netizen juga ramai mengomentari atau berbagi pengalaman soal diserobot antrean. Seorang warganet lain juga mengomentari kalau Nicholas Saputra sebetulnya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang. Namun, sikap seperti ini disebut sudah mulai jarang dilakukan.

Budaya Antre Kita

Dalam riset “Sikap Budaya Antri Masyarakat Kota Yogyakarta” yang dirilis oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan pada 1996 dinyatakan bahwa antre adalah suatu perwujudan sikap kedisiplinan sosial untuk mencapai pelaksanaan suatu kegiatan secara tertib dan lancar. Unsur-unsurya sendiri terdiri dari adanya sejumlah orang yang secara fisik berada dalam satu lokasi yang sama, pada suatu tenggang waktu tertentu, memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan yang sama dalam jumlah yang terbatas.

Baca juga: Unggah Cerita Layanan Klinik Kecantikan, Stella Malah Dijerat UU ITE

Namun, yang belum menyadari pentingnya antre dan memiliki sikap kedisiplinan sosial ini ada pada semua lapisan sosial baik di kalangan masyarakat
kelas sosial-ekonomi menengah ke atas maupun di kalangan masyarakat kelas sosial-ekonomi lapisan bawah. Faktor kemampuan ekonomi terkadang tidak dapat dijadikan standar bahwa orang yang lebih kaya akan memiliki disiplin sosial yang tinggi, sebaliknya
orang yang miskin tidak berarti tidak memiliki disiplin sosial.

Mengutip Tirto.id, Profesor University of Houston, Dave Fagundas, pernah menulis sebuah artikel ilmiah untuk Jurnal Law and Social Inquiry pada Februari 2015 silam tentang budaya antre yang memiliki ciri khasnya di tiap negara. Ia memandang bahwa untuk masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat memiliki budaya mengantre yang cukup baik dan meresap di kalangan warganya. Namun bukan berarti juga bahwa mengantre adalah budaya “barat” yang orisinil dan bisa disombongkan.

Fagundas mencontohkan sebuah kisah di Nigeria pada 1970-an. Saat itu persediaan minyak negara menipis dan orang-orang di seluruh penjuru negara mengalami krisis, padahal kebutuhan untuk dipenuhi dengan syarat minyak olahan sudah menumpuk. Nyatanya, orang-orang tetap mau mengantre di penjualan minyak terdekat maupun pom bensin, terlepas dari kondisi bahwa sumber daya utama warga kala itu sedang tipis-tipisnya. Hal ini menunjukkan bahwa antrean yang teratur bukan monopoli dari masyarakat Anglo-American saja.

Luke Treglown dari University College London berkata pada BBC Internasional bahwa ia sepakat dengan betapa sensitifnya orang-orang pada penegakan prinsip keadilan dalam mengantre. Dikutip dari Tirto, sikap individualistik di Eropa atau Amerika justru menjadi pendorong utama kesadaran individu untuk untuk diperlakukan setara bahkan di depan kasir sekalipun. India memiliki masalah yang masih akut soal antrean sebab masih tingginya budaya memamerkan kasta—meski generasi kekinian telah sedikit demi sedikit memperbaikinya. Kondisi lebih parah lagi terjadi di Cina dimana orang-orangnya terkenal beringas untuk mendapatkan makanan di bufet hotel atau tempat lain.

Sebagai pembanding, di Jakarta misalnya, mengacu pada penelitian Maria Astrid Susanti dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang bertajuk “Urban Civility: Train Commuters’ Queueing Behaviour in Jakarta” (2017), perilaku tidak sopan yang banyak dilihat dalam antrean adalah berdiri di antrean tetapi tidak mulai dari antrean asli. Selain itu, ditemukan juga perilaku memotong antrean. Dalam angka, dari penelitian yang dilakukan selama satu jam pada satu antrian loket di Stasiun Manggarai Jakarta, menunjukkan 11 dari 104 peserta antrean atau 11.6% dari antrian menunjukkan perilaku tidak sopan.

Penelitian ini mungkin masih mengungkap bagian kecil dari budaya antre kita. Tapi yang jelas, bukan hal mudah untuk membiasakan diri mengantre. Apalagi banyak orang bilang kalau mengantre adalah tolok ukur keraturan masyarakat.

Oleh karena ini, jadilah seperti Nicholas Saputra!

Share: Nicholas Saputra dan Budaya Antre Kita