Isu Terkini

Twitter Kocak Veronica Koman Adalah Semangat Hidupku

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Kehidupan terus menggilas, tetapi kita harus menyintas. Kemanusiaan mesti direbut, kebahagiaan patut diperjuangkan, dan cinta kasih menjadi harga mati. Belakangan, hati saya diliputi kegembiraan sebab saya berhasil menemukan oase yang menyemarakkan kembali kemanusiaan saya. Tentu saya sedang berbicara tentang akun Twitter Veronica Koman.

Veronica adalah aktivis dan pengacara hak asasi manusia yang ramai diperbincangkan karena kritiknya terhadap kekerasan negara di Papua. Oleh aparat, ia dituduh sebagai biang kerok kerusuhan yang melanda Papua beberapa bulan silam. Namanya ditaruh dalam red notice Interpol, dan ia terdampar di negeri orang. Singkat kata, Veronica adalah sosok yang kontroversial. Ajak bicara sepuluh orang tentang dia, mungkin Anda akan mendapat sepuluh pendapat berbeda.

Namun, kita mesti setuju bahwa selera humornya yang brilian begitu digdaya di akun Twitter-nya akhir-akhir ini. Misalnya: ia pernah mengaku bahwa satu-satunya hal yang dapat meluluhkan perlawanannya terhadap ketidakadilan negara adalah bujukan aktor ganteng Nicholas Saputra. Walhasil, netizen yang budiman berbondong-bondong mengunggah editan jomplang yang mempertemukan Veronica dengan Nicholas. Suatu hari, ia mengutip tweet tentang lirik Agnes Monica favorit dan menyadurnya jadi ratapan seorang aktivis yang dikriminalisasi.

Bahkan statusnya sebagai DPO tak luput dari guyonan. Ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memangkas atap sebuah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) agar JPO tersebut jadi spot foto, Veronica mencuit bahwa ia kaget karena mengira Anies memangkas DPO. Terakhir, ia mengeluh soal kebiasaan tidurnya yang buruk: berbaring sambil melotot sebab ngeri pintunya diketuk Interpol.

Tetapi bukan itu lawakan ter-epik Veronica. Sekali waktu, ia meng-quote tweet seorang illustrator yang ingin menggambar foto wajah followers-nya. Dengan jenial, Veronica mencantumkan foto-nya yang dipegang seorang polisi saat ia diumumkan sebagai DPO. Seorang followers kemudian mengusulkan Veronica digambar bersebelahan dengan Munir dan Marsinah guna menahbiskan posisinya sebagai pahlawan HAM. Balasannya? “Mati dong gw bgst.”

Melihat Veronica mengeluarkan tweet kocak dan menertawakan posisinya yang rentan mungkin terasa off-brand dan ganjil. Aktivisme memang identik dengan wajah serius, sebab musuh yang dihadapi adalah musuh yang serius pula. Namun, telisik lebih dalam dan kamu akan mendapati bahwa Veronica bukan anomali. Musisi Ananda Badudu belum lama ini mencemari linimasa saya dengan tebak-tebakan lagu yang mahaburuk, dan aktivis Lini Zurlia tidak sekali-dua kali mengamini risakan netizen yang menyamakan penampilannya dengan karakter kartun Edna Mode.

Sekian tahun lalu, kecenderungan ini juga terasa ketika saya berkesempatan bekerja di LSM dan bersinggungan dengan kawan-kawan aktivis lintas isu. Lelucon paling kasar, brutal, dan dijamin bikin muka merah padam selalu datang dari aktivis atau kawan yang berada dalam posisi paling rentan. Khazanah lawakan seksis, homofobik, dan transfobik justru saya dapatkan dari kawan-kawan Transperson yang rutin melakukan penyuluhan terhadap pekerja seks Transperson.

Seorang anggota Paduan Suara Dialita, korban penangkapan paksa 1965, juga pernah memberikan lelucon kelam yang menggelitik bukan main. Setelah latihan bubar, ibu yang satu ini berkelakar pada saya bahwa ia hendak pamit “pulang ke kuburan”. Melihat reaksi syok saya, ia menyeletuk, “Lho, beneran! Rumah saya kan di depan pemakaman!” Patut diingat bahwa ibu yang memberikan lelucon itu dipenjara 14 tahun sebagai tahanan politik. Baru sejam sebelumnya, ia bercerita tentang teman satu selnya yang disiksa dan dilecehkan penjaga, dan menjadi gila di balik jeruji. Lawakannya tak hanya lucu, tapi memiliki dampak emosional yang luar biasa.

Fenomena ini punya dasar ilmiah yang kuat. Humor, termasuk humor kelam dan satire, terbukti efektif dalam menangani trauma dan mendorong kesembuhan batin korban. Garrick (2006) memaparkan penelitiannya terhadap veteran Perang Vietnam yang menjadi peserta terapi kelompok. Dialog yang ringan dan penuh tawa renyah, tulisnya, membuat korban merasa tak menanggung beban batinnya sendirian. Lelucon mencairkan suasana,  mempererat solidaritas, dan membantu korban merasa lebih nyaman berbagi traumanya. Setali tiga uang, Curtis (2001) pun berpendapat bahwa humor “memanusiakan proses kesembuhan”.

Bagi Garrick, pendapat sebagian pihak bahwa isu yang sensitif dan traumatis hanya boleh dibicarakan secara serius justru kontraproduktif. Bila humor–suatu respon yang amat manusiawi–dikesampingkan dari percakapan, korban dan penyintas “semakin merasa bersalah, malu, dan tak berharga.” Dalam konteks yang tepat, humor membantu korban mengekspresikan kecemasan, amarah, dan depresinya secara sehat. Singkat kata, ia menjadi mekanisme pertahanan diri yang baik.

Penyebab efektivitas humor ini amat menarik. Bagi Tobin (1999), humor mempreteli elemen-elemen yang terkandung dalam rasa takut. Ia mengundang korban untuk menjabarkan trauma dan rasa takutnya, kemudian memasukkan satu elemen yang “salah tempat” dalam narasi tersebut: tawa. Masuknya elemen tersebut mengguncang persepsi korban tentang traumanya, dan membuatnya mampu memulai proses memaknai kembali pengalamannya. Dalam konteks ini, humor menjadi disrupsi yang diperlukan.

Pengalaman saya pribadi membuktikan tesis Garrick. Ketika saya menerima “surat sakti” dari aparat dan mesti bilas muka, gosok gigi, evakuasi dari tempat tinggal saya, humor menjadi mekanisme bertahan diri paling efektif. Tentu, ia tak dapat berdiri sendiri. Dukungan dari orang-orang terdekat, keluarga, dan upaya legal yang cekatan tetap menjadi faktor kunci untuk menangani krisis tersebut.

Namun, berkumpul bersama beberapa kawan dan bercanda soal digrebek aparat tak hanya membantu saya menertawakan betapa absurdnya peristiwa tersebut. Pertukaran lelucon dan kelakar tersebut memanusiakan saya di tengah situasi yang sebetulnya amat genting. Rumusnya sederhana: kalau kamu tidak sempat ketawa, hidupmu hampa.

Kemampuan humor untuk memantik percakapan, membikin hangat suasana, dan mendekonstruksi narasi juga telah digunakan untuk keperluan aktivisme. Dalam satu dekade terakhir, sebuah istilah anyar mulai berkembang di narasi gerakan sosial: laughtivism. Otpor, sebuah kolektif radikal asal Serbia, mempopulerkan istilah tersebut untuk menggambarkan upaya-upaya sengaja dari berbagai elemen sipil dalam menggunakan humor sebagai bentuk aktivisme.

Srdja Popovic, salah satu pendiri Otpor, menjabarkan banyak contoh laughtivism dari berbagai penjuru dunia. Pada 2012, warga di kota Barnaul, Rusia, gerah ingin memprotes hasil Pemilu yang dianggap tidak adil. Karena aparat merepresi unjuk rasa dan melarang segala bentuk protes, mereka bersiasat. Warga Barnaul memboyong mainan anak-anaknya ke alun-alun kota, memasang stiker dan slogan berisi kritik terhadap pemerintah pada mainan tersebut, dan mempublikasikannya secara luas. “Demo mainan” itu buyar keesokan harinya ketika pemerintah mengeluarkan aturan absurd: mainan tak boleh ikut demo, sebab mainan bukanlah warga negara Rusia.

Contoh lain muncul dari Mesir, saat demo Arab Spring melengserkan diktator Hosni Mubarak. Aktivis Mesir menyebarluaskan gambar screenshot komputer Windows abal-abal yang sedang meng-install aplikasi baru bernama Freedom. Aplikasi tersebut disalin dari folder /Tunisia, mengacu pada demonstrasi Arab Spring di Tunisia. Tiba-tiba, muncul tulisan: “Error Installing Freedom: Please remove “Mubarak” and try again”.

Otpor sendiri bereksperimen dengan laughtivism pada awal 2000-an, saat rezim Slobodan Milosevic berkuasa atas Serbia. Suatu hari, mereka menggambar wajah Milosevic di sebuah tong minyak yang mereka curi dari toko barang bekas. Para bocah Otpor membuat lubang kecil di permukaan tong dan menulis “1 Dinar untuk Menggebuk Milosevic” di tong tersebut. Kemudian, tong itu mereka tinggalkan di pusat kota Belgrade lengkap dengan sebuah tongkat bisbol. Warga silih berganti menyelipkan 1 Dinar ke dalam tong, mengambil tongkat bisbol, dan memukuli wajah Milosevic di tong tersebut.

Polisi datang tak lama kemudian, dan harus menyudahi huru-hara tersebut. Sudah tentu mereka tak dapat menahan warga yang mengantre di hadapan tong. Para bocah iseng yang menaruh tong tersebut juga sudah berpencar entah ke mana. Akhirnya, polisi mengambil solusi yang absurd sekaligus kocak: mereka menangkap tong tersebut, dan memboyongnya ke kantor polisi.

Bagi Popovic, humor memiliki tiga kegunaan kunci dalam aktivisme. Pertama, ia memporak-porandakan rasa takut. Kesan ngeri yang meliputi diktator dan aparatnya menjadi buyar ketika dihadapkan pada tawa berjamaah. Kedua, humor membuat gerakan terlihat asyik, dan mendorong lebih banyak orang untuk bergabung. Terakhir, lawakan membuat musuhmu dihadapkan pada dilema. Jika mereka membalas, mereka akan terlihat tolol dan berlebihan. Jika mereka diam saja, semua orang akan ikut tertawa karena merasa tidak akan diapa-apakan.

Dampak humor dalam gerakan pun ditelisik lebih jauh oleh aktivis mancanegara yang turut serta dalam diskusi daring dalam situs New Tactics. Humor dianggap efektif untuk “mengekspos pelbagai kontradiksi dan standar ganda di masyarakat”, serta menggoyahkan dominasi narasi institusi negara dan elit. Lebih penting lagi, humor dapat “membumikan persoalan hak asasi manusia” menjadikan problem kompleks tersebut lebih dekat dengan konteks emosi dan kemanusiaan.

Meskipun begitu, Popovic maupun New Tactics mewanti-wanti bahwa humor bukanlah senjata yang dapat dipergunakan secara serampangan. Laughtivism tidak berarti kita dapat serta merta menertawakan nasib penyandang disabilitas, atau mengeluarkan amunisi lelucon soal korban pelanggaran HAM berat. Satire yang tepat guna adalah satire yang dilakukan kelompok rentan serta kawan yang terlibat dalam gerakan terhadap institusi serta otoritas yang punya kuasa.

Di luar Veronica, kita sudah mulai melihat humor bersinggungan dengan budaya internet serta kesadaran politik yang membuncah pasca rangkaian demonstrasi #ReformasiDikorupsi. Hujan meme tentang Menkumham Yasonna Laoly, spanduk-spanduk lucu para demonstran yang membanjiri linimasa, lawakan tentang serangan Naruto terhadap salah satu petinggi negara, hingga viral-nya pernyataan-pernyataan tangguh anak-anak STM saat bentrok adalah pertanda bahwa humor harus mulai dianggap serius sebagai wacana dalam aktivisme. Sebagaimana senjata manapun, ia patut dipegang oleh pihak yang tepat dan dipergunakan secara tepat pula.

Veronica Koman dapat menjadi kakak pembina bagi siapa saja yang hendak memadu-padankan lelucon dengan kesadaran kritis. Kini, saya berharap segala hal yang baik datang menghampiri beliau. Saya ingin melihatnya bergembira di sebuah resor, menyeruput piña colada bersama Nicholas Saputra. Saya ingin melihatnya bertransformasi menjadi pemasok meme paling andal abad ini. Saya ingin menyaksikannya pulang ke Indonesia, dan menjalani debut yang sensasional sebagai komika. Kenapa tidak? Toh sekarang dia lebih lucu daripada komika yang dulu sering melawak soal politik tapi sekarang lebih sibuk marah-marah soal JPO itu.

Lagipula, seperti kata pepatah: if I can’t laugh, it’s not my revolution!

Share: Twitter Kocak Veronica Koman Adalah Semangat Hidupku