Keuangan

Utang Indonesia Capai Rp6.418 Triliun, Apa Konsekuensinya Bila Gagal Bayar?

Ilham — Asumsi.co

featured image
Unsplash.com

Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah hingga akhir Mei senilai Rp 6.418,15 triliun. Realisasi ini naik Rp 1.159,58 triliun dibandingkan posisi Mei 2020 yang mencapai Rp 5.258,57 triliun.

“Posisi utang pemerintah per akhir Mei 2021 berada di angka Rp 6.418,15 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 40,49%,” tulis Kemenkeu dalam buku APBN KiTa edisi Juni yang dikutip Asumsi.co, Sabtu (26/6/2021)

Utang pemerintah tersebut masih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,94% dan pinjaman sebesar 13,06%. Utang dari SBN tercatat Rp 5.580,02 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp 4.353,56 triliun dan valas Rp 1.226,45 triliun.

Sementara, utang melalui pinjaman tercatat Rp 838,13 triliun. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 12,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 825,81 triliun. Utang dari pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman bilateral Rp 316,83 triliun, pinjaman multilateral Rp 465,52 triliun dan pinjaman dari commercial banks Rp 43,46 triliun.

Pengelolaan Utang Pemerintah Melampaui Batas

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 menyebutkan bahwa pengelolaan utang pemerintah telah melampaui batas. Hal tersebut terlihat dari beberapa indikator.

Pertama, indikator keuangan terhadap risiko pasar dan risiko kredit. Dalam temuan BPK, risiko suku bunga atau variable rate debt proportion mengalami fluktuasi pada 2020 hingga 14,17%. Tertinggi sejak tahun 2015 lalu.

Baca juga: Jangan Takut Negara Berutang, Asalkan Tepat Sasaran | Asumsi

BPK menyebut semakin tinggi risiko suku bunga, semakin tinggi pula kerentanan utang pemerintah terhadap fluktuasi suku bunga mengambang. Pencapaian tersebut seiring dengan besarnya penerbitan surat berharga negara (SBN) di 2020 yang bertujuan untuk menanggulangi dampak pandemi virus corona.

Indikator kedua, tingginya risiko utang dan beban bunga utang pemerintah. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 19,06 persen.

Angka tersebut melampaui rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 7-10 persen dan standar International Debt Relief (IDR) sebesar 4,6-6,8 persen.

Adapun rasio utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 369 persen, jauh di atas rekomendasi IMF yang sebesar 90-150 persen dan standar IDR sebesar 92-167 persen.

Strategi Pemerintah

Dengan angka utang yang tinggi tersebut, sebetulnya pemerintah sudah menyiapkan strategi agar resiko hutang tetap terjaga.

“Pemerintah juga mengelola risiko agar utang tetap terjaga dalam batas aman,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita.

Sri Mulyani menyebut realisasi pembayaran utang sudah terbayar Rp330.090 triliun. Di samping itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk menjaga pengelolaan utang pemerintah dan pembiayaan APBN agar selalu dalam kondisi aman.

Baca juga: Selain COVID-19, Negara-Negara Berkembang Juga Sengsara Karena Utang | Asumsi

“Beberapa strateginya antara lain lewat pembagian beban dengan Bank Indonesia, konversi pinjaman luar negeri dengan suku bunga mendekati nol persen, hingga penurunan imbal hasil surat berharga negara (SBN) menjadi 5,85 persen,” katanya dilansir Kompas.

Dengan berbagai strategi dan respons kebijakan tersebut, Yustinus mengatakan, stabilitas fiskal dan ekonomi relatif baik.

Konsekuensi Gagal Bayar Utang

Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira akan ada beberapa konsekuensi bila pemerintah tidak bisa membayar utang Rp 6.418,15.

Pertama, menurunnya kepercayaan kreditur. Akibatnya, kreditur akan membuat negara tersebut mengalami kebangkrutan.

 “Salah satu contohnya Argentina yang sampai sembilan kali melakukan negosiasi utang,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Sabtu (26/6/2021).

Konsekuensi kedua, kata dia, adalah kesulitan mendapatkan kreditur baru dan menurunnya kredit rating.

“Kredit rating tidak hanya pengaruh ke risiko APBN tapi BUMN juga, karena harus menanggung risiko membayar bunga yang lebih mahal untuk mendapatkan pinjaman baru,” kata Bhima.

Baca juga: Sri Mulyani Kejar Utang Bambang Trihatmodjo Sampai Rp50 Miliar | Asumsi

Konsekuensi ketiga, larinya modal asing. Ia khawatir, karena selama ini porsi investor asing di surat utang pemerintah cukup tinggi, lebih dari 26 persen.

“Sehingga bila investor asing tidak percaya dan keluar akan mengakibatkan pelemahan nilai tukar rupiah hingga menguras cadangan devisa,” katanya.

Konsekuensi keempat adalah proyek pembangunan di Indonesia bisa macet secara total karena sebagian dana berasal dari utang.

“Akibatnya pemerintah akan mencari sumber dana baru mengejar pajak yang lebih tinggi, risikonya daya beli masyarakat di dalam negeri,” katanya.

Pemerintah Harus Hemat Anggaran

Menurut Bhima, pemerintah sebaiknya menghemat anggaran belanja. Proyek membuat ibukota baru hingga perjalanan dinas sepanjang pandemi sebaiknya ditunda atau dibatalkan.

“Infrastruktur yang tidak urgent, masih tahap perencanaan sebaiknya tidak dilakukan dulu. Belanja boros seperti belanja pegawai, maka reformasi birokrarasi harus dilakukan serius sehingga beban belanja pegawai semakin kecil, kemudian belanja barang juga harus diminimalisasi,” ujarnya.

Ia juga menekankan untuk beban bunga utang yang menyita 25 persen dari penerimaan pajak. Dengan demikian, seperempat pajak yang masuk ke negara sudah habis untuk membayar utang. Konsekuensinya, beban bunga utang berat akan menambah defisit anggaran.

“Dalam kondisi yang sangat kritis ini, pemerintah jangan malu untuk melakukan negosiasi penangguhan pembayaran utang, khususnya bunga utang. Misalnya, bunga utang baru dibayar 2022 sampai 2023 karena pemerintah harus fokus dalam penanganan pandemi. Itu harus terbuka ruang itu. Ada forum namanya Paris Club. Jadi dalam Paris Club itu bisa melakukan restrukrisasi pinjaman” katanya.

Selain cara di atas, pemerintah juga bisa melakukan Debt Swap. Debt Swap yaitu menukar utang dengan program.

“Jadi utang pemerintah yang bebannya berat ditukar dengan program. Dulu pasca-tsunami Aceh, Italia meringankan utang Indonesia dengan menukar program rekontruksi bencana tsunami. Pendidikan juga sama Jerman, beban utang kita berkurang. Jerman meminta alokasi anggaran lebih ke pendidikan. Jadi pemerintah harus kreatif, sayang sekarang tidak kreatif sama sekali,” katanya.

Share: Utang Indonesia Capai Rp6.418 Triliun, Apa Konsekuensinya Bila Gagal Bayar?