Budaya Pop

Usia 30-an dan Pencarian Musik yang Berhenti

Irfan — Asumsi.co

featured image
Unsplash

Kemajuan teknologi membuat musik kini menjadi barang yang lebih mudah ditemui. Jika menengok tiga puluh tahun lalu, kamu mungkin mesti membawa satu dua kaset dan perangkat walkman untuk bisa mendengar musik kesukaan di mana saja. Kini, di ponsel pun kamu bisa melakukan lebih dari itu.

​Bayangkan, dari dua kaset yang tiga puluh tahun lalu kamu bawa dan putar di walkman, maksimal kamu bisa dengar 24 lagu dengan estimasi satu album berisi 12 trek. Itu pun mungkin hanya dari dua band saja. Kalau mau lebih, ya, otomatis bawaan kaset kamu juga lebih. Tapi kan repot.

​Sementara sekarang, dengan banyaknya ragam platform pemutar musik, kamu bisa mendengarkan ribuan bahkan jutaan lagu. Bahkan tidak hanya audio, kamu juga bisa merasakan pengalaman visual dengan melihat video klip band kesukaan.

​Tetapi, dari mudahnya sumber dan banyaknya lagu yang diunggah di platform pemutar musik digital, berapa banyak sih lagu yang kamu dengar? Atau malah itu-itu saja?

​Saya, misalnya, saat ini berusia 30 tahun. Di masa remaja, indiepop adalah musik saya. Dulu, sepuluh tahuh ke belakang, untuk mendengarkan musik kesukaan di luar ruang, saya memilih lagu dalam format mp3 yang dipindahkan ke memori ponsel pintar. Lagunya masih terbatas berapa pun besar memori yang saya punya.

​Ketika beralih ke platform musik digital, pilihannya memang jadi tidak terbatas. Kamu bisa mendengarkan musik yang detik itu baru rilis bahkan hingga ke musik yang dirilis tahun 50-an. Tapi tetap saja, pilihan lagu saya itu lagi itu lagi. Tidak jauh berbeda dengan tracklists yang ada di format mp3 di memori ponsel pintar saya.

​Bosan iya, tapi mau cari musik baru agak kewalahan juga. Apalagi single baru dengan penyanyi baru muncul tiap hari. Meski kemudian platform musik digital membantu saya untuk mencoba dan mengulik musik lain dari antah berantah sih.

​Lalu apa penyebab mentoknya selera musik ini?

​Kondisi ini lazim disebut sebagai musical paralysis. Saat usia seseorang mulai bertambah, semakin dewasa, tetapi semakin sulit menemukan musik baru yang bisa jadi favorit.

​Mengutip Billboard, berdasarkan penelitian yang dilakukan platform pemutar musik digital Deezer 2018, kondisi ini sering terjadi saat orang menginjak usia 30 tahun. Dalam survei yang melibatkan 1000 orang Amerika, sebanyak 60 persen mengatakan mereka merasa terjebak dengan hanya mendengarkan musik yang sudah mereka ketahui.

​Banyak faktor yang membuat ini terjadi. Penelitian mengamati bahwa banyak orang di atas usia ini merasa kewalahan oleh banyaknya musik yang sekarang tersedia untuk mereka. Sebanyak 24 persen responden menyatakan bahwa mereka terlalu sibuk dengan tanggung jawab profesional dan tak ada waktu untuk mencurahkan ruang senggang bagi musik baru. Sementara, 15 persen menyebutkan pengasuhan anak sebagai alasan utama di balik berhentinya mereka mencari musik baru.

Dalam studi ini, rata-rata responden merasa mulai kewalahan dengan musik baru pada usia 29 tahun 10 bulan. Kurang dua bulan sebelum mereka menginjak fase tiga dekade dalam hidupnya. Sementara, kebanyakan mencapai puncak upaya penemuan musik baru di usia 26 tahun.

Baca juga: Setel Lagu di Tempat Usaha Kena Royalti, Apa Kata Musisi dan Empunya Ritel?​ | Asumsi

Tidak Tahu Bukan Berarti Benci

​Namun, dalam studi tersebut menunjukkan bahwa fenomena ini tidak berarti orang dengan usia 30 tahun cenderung tidak menyukai musik baru. Mereka ingin mengaksesnya dan memperluas repertoar musik mereka, tapi alasan-alasan tadi membuatnya menjadi amat sulit.

​Dengan hanya 1.000 responden yang berpartisipasi, cakupan penelitian ini memang relatif kecil. Bahkan kemungkinan terlalu kecil untuk membuat pernyataan luas berdasarkan hasilnya. Namun, penelitian ini menjelaskan beberapa ide menarik dan sentimen umum yang terjadi pada musik yang didengarkan oleh orang berusia 30 tahun ke atas. Pada usia 30 tahun, konsumen musik lebih cenderung menggurui platform yang dengan mudah mengkurasi musik yang sudah mereka kenal dan sukai.

Baca juga: DJKI: Masa Pandemi Seharusnya Bikin Musisi Panen Royalti | Asumsi

Superiority Complex Dalam Musik

​Tapi meski penelitian Deezer tidak menyebut kebencian orang dengan usia 30-an pada musik baru, kita sering nemu aja enggak sih, orang yang membandingkan musik hari ini dengan musik lama?

​Mereka menilai musik dari zamannya lebih baik dari pada musik yang didengarkan oleh generasi saat ini. Itu terjadi berulang, saat Justin Bieber besar misalnya, ada saja tuh becandaan di media sosial yang minta Bieber ditukar saja dengan musisi lama yang telah meninggal seperti Kurt Cobain atau Jimi Hendrix.

​Generasi MTV dulu juga dianggap kacangan oleh para pendengar musik hair metal. Sebaliknya, kini penikmat K-Pop juga sering dipandang sebelah mata oleh generasi sebelumnya.

​Belum lama ini, lagu “Creep” milik Radiohead misalnya jadi perdebatan. Musababnya, video salah seorang personel boyband Korea Selatan, EXO membawakan ulang trek “Creep” viral dan membuat fans-nya mulai mendengarkan lagu tersebut. Padahal, memangnya kenapa kalau tahu lagu “Creep” dari personel EXO?

​Perilaku seperti ini sering disebut superiorty complex dalam musik. Pada beberapa orang, karena repertoar yang sudah semakin terbatas tadi dan hanya mendengarkan musik yang sudah mereka kenal dan sukai saja, maka muncul anggapan sendiri kalau musik saat ini buruk dan musik zaman mereka adalah yang terbaik.

​Ya, fenomena musik memang berulang. Indie pop misalnya, muncul di 1986 lewat pengaruh punk dan band pop Inggris yang kemudian dieksplorasi lagi di era myspace, pertengahan dekade 2000. Kini indie pop ramai lagi dengan dengan bentuk dan pengaruh yang lebih beragam pula.

​Tetapi tak jarang ada romantisasi berlebihan pada satu era yang membuat beberapa orang merasa punya selera lebih baik dari generasi sesudahnya. Kamu bisa deh lihat fenomena ini di kolom komen YouTube saat menonton lagu 90-an.

​Padahal semua punya kelebihannya masing-masing. Kita patut berterima kasih pada pengaruh yang diberikan oleh musik lama sekaligus mengapresiasi eksplorasi musik baru saat ini.

​Lagi pula, bagaimana mau mengkritik dan menggeneralisasi musik baru kalau orang yang mengkritik tidak mendengarkannya?​

Baca juga: Royalti Lagu Ditarik LMKN, Bagaimana dengan Musik Bebas Hak Cipta? | Asumsi

Share: Usia 30-an dan Pencarian Musik yang Berhenti