Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), angkat bicara soal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 terkait Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik yang menjadi perhatian publik belakangan ini.
PP yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Maret lalu ini, diketahui memuat tentang kewajiban pembayaran royalti, bagi setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial dan ataupun pada layanan publik.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) Freddy Harris menegaskan, royalti yang ditarik dari pengguna komersial ini akan dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan/atau musik melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Peraturan ini, kata dia, merupakan penguatan dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dalam melindungi hak ekonomi dari pencipta atau pemegang hak cipta. “Serta melindungi pemilik produk hak terkait,” kata Freddy melalui konferensi pers virtual, Jumat (9/4/21).
PP 56/2021 Amanah UU Hak Cipta
Freddy menerangkan, sebenarnya urusan pengaturan serta pengelolaan mengenai royalti hak cipta lagu dan musik, sudah dinyatakan dalam Undang-Undang Tentang Hak Cipta di pasal 87, 89 dan 90.
“Namun memang di PP (No. 56/2021) ini lebih spesifik, sehingga pengaturannya ada yang membahas tentang besaran yang biasanya diatur dalam peraturan menteri. Ini mungkin yang jadi topik menarik karena aturannya spesifik, padahal kalau dilihat dari Undang-Undang Hak Cipta sudah ada,” jelasnya.
Adapun Pasal 87 Undang-Undang Hak Cipta berbunyi:
(1) Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.
(2) Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
(3) Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan.
(4) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang ini, pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif.
Selanjutnya, Pasal 89 Undang-Undang Hak Cipta menyatakan:
(1) Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajemen Kolektif nasional yang masing- masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut:
a. kepentingan Pencipta; dan
b.kepentingan pemilik Hak Terkait.
(2) Kedua Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.
(3) Untuk melakukan penghimpunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kedua Lembaga Manajemen Kolektif wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran Royalti yang menjadi hak masing-masing Lembaga Manajemen Kolektif dimaksud sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan.
(4) Ketentuan mengenai pedoman penetapan besaran Royalti ditetapkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan disahkan oleh Menteri.
Kemudian pada Pasal 90, berbunyi:
Dalam melaksanakan pengelolaan hak Pencipta dan pemilik Hak Terkait Lembaga Manajemen Kolektif wajib melaksanakan audit keuangan dan audit kinerja yang dilaksanakan oleh akuntan publik paling sedikit 1 (satu) tahun sekali dan diumumkan hasilnya kepada masyarakat melalui 1 (satu) media cetak nasional dan 1 (satu) media elektronik.
Dengan demikian, ia menegaskan pungutan royalti sebenarnya sudah lama dilakukan. Keberadaan PP 56/2021, lanjutnya agar pungutan royalti ini menjadi lebih transparan dan akuntabel.
“PP ini hanya menegaskan percepatan amanah pasal 87, 88 dan 90 Undang-undang Hak Cipta. Sebenarnya sudah ada dan sudah ditarik LMKN. Pemerintah maka membuat tata kelolanya dengan baik,” imbuhnya.
Alasan Pemerintah Terlibat di LMKN
Freddy mengatakan pada dasarnya tidak terlalu urgen untuk menjadikan aturan royalti hak cipta ini sebagai program prioritas.
“Pada dasarnya, tidak terlalu penting kalau dilihat dari priotitas program DJKI dari tahun 2017-2021, 2022, prioritas secara indikasi geografis. Tahun ini sebetulnya urusan paten (prioritas pemerintah),” katanya.
Ia menambahkan, permasalahan royalti dan urusan hak cipta sebetulnya bakal ditangani pihaknya terkait aturan mainnya pada tahun depan.
“Beberapa kali, saya sampaikan ke teman-teman musisi kalau urusan ini 2022 saja lah biar lebih fokus kita bangun data center-nya dulu,” jelasnya.
Freddy mengatakan, pemerintah sudah merencanakan pada tahun 2020 fokus membangun data center yang berisi arsip karya-karya musik para kreator.
“Kita siapkan dulu fisiknya yang betul, kemudian tahun 2021 kita buat aplikasinya dan mempersiapkan seluruh Peralatannya. 2022 baru kita launching dengan baik,” terangnya.
Akan tetapi, persoalan di lapangan ternyata pelik. Ia mengatakan banyak musisi yang datang kepadanya dan mengeluhkan lagunya dibajak hingga dimonetisasi.
“Nah inilah yang membuat jadi dilakukan percepatan-percepatan. LMKN ini kan, sebetulnya ini terbentuk atas banyak LMK lalu terbentuk menjadi LMKN,” ucapnya.
Freddy menjelaskan alasan dibentuknya LMKN, disebabkan adanya keributan internal di dalam sistemnya, membuat pemerintah akhirnya turun tangan.
“Ribut-ribut ini, ternyata ada uangnya. Di Indonesia, biasa lah kalau ada uangnya ribut terus. Kalau gitu, kita atur yang benar. Sebetulnya pemerintah ga masuk dalam struktur LMKN tapi ribut-ribut terus,” jelasnya.
Akhirnya, ia meminta izin dan arahan Menkum HAM Yasonna Laoly untuk mengambil kebijakan pemerintah masuk ke dalam struktur LMKN.
“Akhirnya dua orang di LMKN, ada unsur pemerintah yaitu direktur hak cipta dan direktur penyidikan, selebihnya silakan. Kenapa? Ini uang yang tidak sedikit,” ucapnya.
Pandemi Seharusnya Bikin Musisi Panen Royalti
Freddy mengatakan, seharusnya di masa pandemi COVID-19 bisa membuat musisi panen menerima royalti atas karya musik mereka. “Kalau kita fair, di tahun 2020 ketika pandemi ini, para pencipta dan para pemegang hak terkait, bisa mendapatkan hak royalti lebih banyak karena kita semua ada di rumah. Kita banyak menonton televisi, dengar musik, dan baca buku. Enggak mungkin tidur selama 24 jam,” terangnya.
Dengan demikian, ia menyatakan waktu senggang di masa pandemi yang membuat banyak orang menikmati berbagai konten hiburan secara streaming, tentu memiliki nilai komersial bagi para kreator.
“Di situ ada nilai komersialnya. Namun, catatan yang paling penting, PP 56/2021 ini mengatur penggunaan komersial. Kalau enggak komersial ya enggak apa-apa (tidak dikenakan kewajiban membayar royalti),” tuturnya.
Ia pun mengaku prihatin masih banyak musisi yang tidak mendapatkan hak royaltinya, terlebih mereka yang menggantungkan hidupnya dari uang hasil penjualan karya-karyanya yang selama ini terkenal di masyarakat.
“Paling mengenaskan itu, kasusnya Benny Panjaitan Panbers. Benny itu, mungkin setiap hari diputar di karaoke lagunya yang “Gereja Tua”, tapi ketika dia wafat rumahnya saja kontrakan. Menurut saya ini ada mekanisme yang belum clear. Makanya atas dasar itu harus clear dan transparan, serta akuntabel. Caranya harus ada sistem informasi lagu dan musik (SILM),” jelas Freddy.
Hal ini, diyakininya menjadi salah satu upaya untuk mengoptimalkan penarikan dan pendistribusian royalti. Di dalam PP 56/2021 juga memuat tentang adanya pembangunan pusat data lagu dan/atau musik.
Informasi Pusat Data Lagu Dan/Atau Musik berasal dari e-Hak Cipta yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Pusat data tersebut dapat diakses oleh LMKN, Pencipta, Pemegang Hak Cipta, Pemilik Hak Terkait, dan Pengguna Secara Komersial.
“Kemudian LMKN akan mengelola royalti berdasarkan data yang telah terintegrasi antara Pusat data musik dan/lagu milik DJKI dengan SILM yang dikelola oleh LMKN. Data center yang akan dipegang oleh pemerintah. Kenapa pemerijtah mengambil itu dulu? Supaya nanti enggak ribut lagi, ini punya siapa lalu lagu ini punya siapa,” katanya.
Ia menegaskan, hingga hari ini pemerintah tidak pernah menggunakan sepeser pun uang dari LMKN. Justru, ia mengatakan pemerintah memberikan LMKN ruang untuk bekerja. Posisi pemerintah, kata Freddy, hanya sebagai fasilitator. “Dari LMKN itu ada pajak yang disetorkan kepada negara. Kita mendapatkan manfaat yang cukup dari pajaknya,” ucapnya.
Musisi Boleh Bebaskan Royalti untuk Karyanya
Pada kesempatan ini, Freddy juga menyoroti pernyataan penyanyi Julian Jacob yang secara terbuka dirinya tak mematok biaya jika ada pihak yang mau memutar musiknya, alias membebaskan royalti atas karyanya.
Lewat unggahan di akun Twitter yang kini sudah dihapusnya, ia menuliskan, “Untuk supermarket, hotel, toko kecil, warung, kuli bangunan yang lagi kerja, atau siapa pun yang ingin puter lagu saya di tempat publik, dipersilahkan memutar sepuas hati tanpa perlu kasih royalti ke saya.”
Menyikapi hal ini, Freddy mengatakan sah-sah saja seorang penyanyi membebaskan royalti atas karyanya. Namun, ia menegur Julian semestinya menaruh empati terhadap jutaan pencipta lagu dan musisi lainnya yang berhak atas royalti dari karya musiknya.
“Saya cari lagunya Julian Jacob di Apple Music. Oke, “Kembali Kurasa” lagunya, boleh-boleh saja (membebaskan royalti), tapi Julian Jacob juga jangan mengatur pencipta hak terkait lainnya. Semua orang punya hak. Mereka yang datang ke saya, rata-rata pencipta dan pemegang hak terkait. Kalau Julian mengatakan itu, silakan putar lagunya, saya juga mau tahu jadinya, berapa kali lagunya diputar? Kok dia mengatakan itu, tapi menafikan pencipta dan hak terkait lainnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, bila ada musisi lain yang sepemahaman dan sejalan dengan Julian maka silakan menyampaikan ke LMKN bahwa karyanya tidak perlu dipungut royalti kepada orang-orang yang menyetelnya untuk tujuan komersial.
“Ya, kalau ada yang mau begini juga silakan saja. Mana statementfree-nya? Nanti disampaikan ke LMKN kalau lagu-lagu ini, jangan ditarik royaltinya. Buat yang free silakan saja, tapi kan enggak begitu semua. Ada 15 juta lebih musisi yang harus diperhatikan. Jangan seenaknya karena Undang-undang Hak Cipta telah menjamin hak moral dan hak ekonominya,” jelasnya.