Budaya Pop

Teater Jelaga: Kebenaran Minoritas Adalah Kesalahan Yang Harus Dihukum Mati

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Di awal pertunjukkan, penonton disuguhkan tarian oleh sekelompok gadis-gadis dengan baju seperti kuntilanak, hawa horor makin terasa dengan latar musik yang membuat bulu kuduk sedikit merinding. Para gadis yang menari itu berputar sambil tertawa seperti orang keserupan, kemudian tiba-tiba berhenti, layar menutupi panggung, dan latar tempat berganti menjadi sebuah rumah.

Rumah itu diisi oleh seorang pemuka agama terkemuka bernama Samuel Parris. Ia marah pada ponakannya, Abigail Williams yang terpergok tengah menari di tengah hutan seperti pemuja iblis. Kemarahan Parris memuncak karena anaknya, Betty Parris jatuh pingsan dan tak kunjung sadarkan diri setelah melihat Abigail yang meminum darah.

Sementara itu, di desa mereka sedang merebak isu penyihir. Pejabat bernama Tuan Felix Putnam dan istrinya Nyonya Anie Putnam ketakutan karena tujuh bayi mereka yang lahir dengan kondisi sehat harus mati tanpa sebab. Tuan Felix meminta Parris untuk segera menangani kasus ilmu hitam yang menurutnya adalah penyebab kematian tujuh bayinya.

Parris kembali bingung, ia bertanya pada ponakannya Abigail yang menari di tengah itu, tapi Abigail mengaku dia hanya sekedar menari, dan dirinya bukanlah penyembah iblis. Tentu Parris percaya dengan ponakannya itu, ia juga tak mau nama baik keluarganya tercemar. Kekacauan terjadi ketika Abigail justru menuduh perempuan-perempuan tak bersalah sebagai pemuja iblis. Semua nama-nama itu langsung dijadikan sebagai tersangka dan siap mendapatkan hukuman.

Yang paling parah adalah ketika ternyata yang dilakukan Abigail ini merupakan bentuk balas dendam. Ia mencintai John Proktor, seorang pria yang sudah mempunyai istri dan anak. Tentu, Abigail ingin membuat perangkap agar istri John Proktor yang bernama Elizabeth itu dikenai hukuman dengan tuduhan pemuja iblis. Namun, John Proktor yang sangat mencintai istrinya itu tak tinggal diam, ia membela istrinya yang tak bersalah.

Namun sial, John Proktor justru juga mendapatkan hukuman, ia harus mendekam di dalam penjara. John juga diminta mengaku bahwa dirinya adalah pemuja iblis. Tak ingin namanya dituduh seumur hidup sebagai pemuja iblis, John lebih memilih untuk mendapatkan hukuman yang paling parah, hukuman gantung. Akhirnya John Proktor mati karena tuduhan penista agama.

Teater berjudul Jelaga tersebut mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kebenaran mudah dibiaskan dengan membawa nama agama. Bahwa tiap pemuka agama adalah suci yang tak akan pernah melakukan kesalahan, dan barang siapa yang menentang hal itu akan dianggap orang yang sesat. Dengan teori yang demikian, semua yang mempunyai kuasa atas nama agama berhak menghukum siapa saja yang tak sejalan dengan pemikiran yang telah ditetapkan.

Cerita yang diadaptasi dari naskah The Crucible karya penulis Amerika Arhur Miller itu juga mencoba menujukkan betapa tidak adilnya sebuah hukuman mati. Tak akan pernah ada fakta yang benar-benar terungkap ketika sang terpidana harus dihukum untuk mengakhiri hidupnya. Jika hukuman mati bertujuan untuk memberikan efek jera kepada masyarakat, PBB dalam surveynya pada 1998 dan 2002 menunjukkan bahwa praktik hukuman mati justru tidak berpengaruh terhadap angka jumlah kejahatan yang terjadi.

Hidup seperti sampah atau mati adalah salah satu hal yang tentu akan menjadi keputusan yang sulit untuk diambil. Seperti dalam kisah Jelaga, ketika John Proktor harus menentukan, antara mengakui fakta palsu atau bersedia dihukum mati. Di film Jelaga, John Proktor lebih memilih mati, daripada harus mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan. Dan John Proktor lebih memilih mati, daripada harus menambah kepalsuan yang dibuat oleh sang penguasa.

Share: Teater Jelaga: Kebenaran Minoritas Adalah Kesalahan Yang Harus Dihukum Mati