Pandemi Covid-19 semakin buruk. Hal tersebut terjadi bukan
hanya di Indonesia, tetapi juga banyak negara di belahan dunia lainnya. Taiwan,
yang selama ini dipuji karena berhasil menangani pandemi saja sampai
meningkatkan kewaspadaan dengan pembatasan ketat pada kegiatan luar ruang dan
kerumunan.
Sementara di Indonesia, peningkatan kasus cukup signifikan.
Keterisian rumah sakit pasien Covid-19 di sejumlah wilayah nyaris penuh.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia
Gardenia Partakusuma mengatakan keterisian rumah sakit Covid-19 di Jakarta dan
Jawa Barat bahkan sudah masuk kategori merah dengan keterisian 80 persen lebih.
Baca juga: Benarkah Vaksin di Indonesia Tidak Efektif Lawan Mutasi Covid-19 N439K? | Asumsi
Satgas Penanganan COVID-19 mencatat Provinsi DKI Jakarta
mengalami kenaikan angka positif virus corona yang sangat signifikan. Pasien
yang terpapar positif covid-19 pada Minggu (20/6/2021) mencapai 5.582 kasus,
meningkat dari sehari sebelumnya sebanyak 4.895 kasus. Capaian ini merupakan
rekor tertinggi selama pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 lalu.
Selain DKI Jakarta, ada pula provinsi lain yang angka penambahan kasusnya
tinggi. Di antaranya Provinsi Jawa Tengah bertambah 2.195 kasus, Jawa Barat 2.009
kasus, Jawa Timur 739 kasus, Yogyakarta 665 kasus dan beberapa kawasan lain.
Di tengah situasi ini, laporan-laporan di media sosial terkait situasi
pandangan mata dari para penggunanya juga semakin banyak. Selain kabar duka
dari mereka yang kehilangan keluarganya, permintaan donor plasma konvalesen
juga meningkat.
Di akun media sosial Instagram penulis, misalnya, setiap hari hampir ada saja
unggahan soal permintaan donor plasma yang diunggah oleh kawan yang berbeda.
Tetapi meski kondisi bisa dibilang genting, toh ada saja orang yang masih
menyangkal keberadaan Covid-19. Kenapa begitu?
Dari sisi psikologi, mengutip CNN,
psikolog Eve dan Mark Whitmore menilai kalau penyangkalan pada Covid-19 yang
masih dilakukan oleh sebagian orang adalah mekanisme pertahanan atau cara untuk
membela diri dari kecemasan.
Kepada CNN, Mark menyebut, ketika orang berada dalam banyak kecemasan dan itu dianggap
sebagai ancaman, maka mereka mengembangkan strategi untuk melindungi diri
mereka sendiri untuk merasa lebih aman. Salah satunya adalah dengan menyangkal
ancaman itu.
Beberapa yang banyak digunakan oleh mereka yang menyangkal adalah anggapan bahwa
Covid-19 tidak seberbahaya yang diberitakan. Sebagian lain beranggapan lebih
jauh bahwa Covid-19 adalah teori konspirasi.
“Bagi sebagian orang, ini menciptakan mitos tentang pandemi atau sekadar
mencari informasi yang akan memperkuat sudut pandang mereka bahwa itu tidak
separah yang dikatakan orang,” jelas Mark yang juga merupakan associate
professor di College of Business Administration di Kent State University,
Amerika Serikat.
Padahal, penyangkalan terhadap kebenaran informasi bisa berbahaya karena
tergolong sebagai maladaptif atau kesalahan dalam beradaptasi. Ini jelas tidak
membantu secara nyata dalam menghadapi ancaman yang muncul.
“Dalam kasus pandemi, Anda bisa jatuh sakit karena jika Anda menyangkal,
Anda merasionalisasi parahnya situasi. Maka Anda mungkin tidak akan mengambil
tindakan pencegahan yang diperlukan untuk melindungi diri Anda sendiri,”
kata Mark.
Dari sisi sosial, sosiolog Rissalwan Habdy Lubis menilai kebijakan pemerintah
yang tidak jelas dalam penanganan pandemi hingga membuat masyarakat bingung dan
muak juga menjadi sebab menurunnya kepercayaan masyarakat pada Covid-19.
Direktur Eksekutif Lembaga Kemitraan Pembangunan Sosial (LKPS) ini menyebut,
hal itu diperparah oleh pemerintah yang tidak konsisten tetapi cenderung hanya
menyalahkan masyarakat saja atas ledakan pandemi yang terjadi.
“Menyalahkan ini tanpa melakukan evaluasi kebijakan untuk perbaikan
penanganan wabah Covid,” kata Rissalwan kepada Asumsi.co.
Menurut dia, masyarakat akhirnya mulai lelah dan mengalami apa yang dinamakan
pandemic fatigue. Ini memicu masyarakat untuk curiga pada angka
yang dipaparkan pemerintah, apalagi pemerintah kerap tidak punya solusi
mengatasinya.
“Saya kira pemerintah bukan lalai, tapi dengan sengaja membiarkan kondisi
tidak jelas seperti ini sebagai modus memupuk kembali praktik otoritarianisme
baru berbasiskan kepentingan bisnis,” ucap dia.
Dengan begitu, kewaspadaan akan suilit diupayakan kembali. Salah satu cara yang
bisa dilakukan adalah ketegasan pemerintah dalam menegakkan amanat UU Karantina
Kesehatan dengan menerapkan lockdown atau karantina wilayah terbatas di
daerah-daerah zona merah setingkat kelurahan atau kecamatan.
“Karena sejak awal UU Karantina ini yang justru dihindari pemerintah.
Padahal, dengan cara tersebut pasti lebih efektif mencegah penyebaran virus
covid. Tidak perlu lockdown satu negara seperti di negara lain. Cukup
wilayah kelurahan atau kecamatan dan pemerintah bisa menyiapkan dapur umum
sebagai supply logistik selama lockdown. Persis seperti
pengungsian bencana yang sering terjadi di wilayah Indonesia,” ucap dia.