Isu Terkini

Setelah Jokowi, Giliran Ma’ruf dan Puan yang Dapat Gelar dari Mahasiswa

Irfan — Asumsi.co

featured image
https://instagram.com/kyai_marufamin

Pemanggilan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia
oleh rektorat UI karena meme “King of Lips Service” menimbulkan efek
domino. Mahasiswa lain di penjuru Indonesia ikut bersolidaritas mendukung BEM
UI. Dari memberi pernyataan dukungan hingga memberikan gelar-gelar serupa untuk
pemerintah.

​Baru-baru ini, gelar satir disematkan untuk Wakil Presiden Indonesia KH Ma’ruf
Amin dan Ketua DPR RI Puan Maharani. Diberikan oleh BEM Universitas Negeri
Semarang (UNNES), Ma’ruf digelari sebagai King of Silent. Sementara, Puan
digelari sebagai Queen of Ghosting.

​Mengutip pernyataan BEM Unnes, Rabu (7/7/2021) yang diunggah di akun
instagram @bemkmunnes,
gelar “King of Silent” untuk Ma’ruf dikarenakan mantan ketua MUI ini
sangat jarang muncul di publik. Padahal, sebagai Wakil Presiden, mestinya
Ma’ruf punya eksistensi dan mampu memberi jawaban lugas serta gamblang dalam
merespons problem multidimensional di masa pandemi.

​”Ia justru hanya terkesan sebagai legitimator kebijakan pemerintah dengan
argumentasi dan klaim yang amat bias agama dan identitas, yakni agama Islam.
Hal ini tampak pada statement politiknya tentang halalnya BPJS dan hukum
Fardlu Kifayyah melaksanakan vaksinasi Covid-19,” kata BEM Unnes.

​Sementara untuk Puan, Bem Unnes menyematkan gelar “Queen of
Ghosting” karena sosok putri Megawati Soekarnoputri ini didasarkan pada
pandangan bahwa ia merupakan simbol dari DPR RI. Menurut mereka, sebagai sosok
ketua yang punya peran vital, belum ada kinerja Puan yang bisa diacungi jempol.

Baca juga: Ramai-ramai BEM Kampus Sindir Jokowi, Bagian dari Demokrasi? | Asumsi

​”Khususnya di masa pandemi yang (produk legislasinya) tidak berparadigma
kerakyatan dan tidak berpihak pada kalangan rentan,” ucap dia.

​BEM Unnes juga sepakat dengan BEM UI terkait gelar “King of Lip
Service” untuk Jokowi. Sebab, Jokowi dianggap kurang becus dalam
melaksanakan pemerintahan. Belum lagi kontradiksi dan paradoksal antara yang ia
kerjakan dengan yang ia katakan.

​”Misalnya perihal utang negara, komitmen terhadap demokrasi dan
penanganan pandemi. Meskipun tampak pemerintah melaksanakan tugas dengan
semaksimal mungkin, akan tetapi fakta menunjukan hal-hal yang seringkali
kontradiktif dan paradoksal,” ujar mereka.

Kritik Genre Baru

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menyebut
kalau apa yang dilakukan oleh mahasiswa adalah kritik genre baru. Di tengah
keterbatasan akibat pandemi, ruang-ruang kritik yang biasanya disuarakan
melalui orasi di jalan kini beralih ke sosial media. Selain BEM UI dan BEM
Unnes, BEM UGM juga pernah melakukan hal serupa. ​Uniknya sindiran-sindiran ini, meski disampaikan lewat media sosial, caranya
tetap kreatif. Di antaranya melalui poster-poster.

Baca juga: Panggil BEM Karena Meme, Tindakan UI Dinilai Bentuk Pembungkaman | Asumsi

​”Ini sangat efekti dan bisa membuat publik paham apa yang dikritik oleh
kalangan mahasiswa,” kata Ujang.

Di lain hal, penyampaian kritik yang mungkin dianggap sepele oleh sebagian
kalangan ternyata punya cukup gaung. Buktinya saja, kata dia, pemerintah sampai
kebakaran jenggot. Dalam kasus BEM UI, bahkan mereka diserang secara personal
oleh buzzer dan diretas media sosial hingga akun WhatsApp-nya.

​”Jadi gerakan ini malah sangat punya gaung. Buktinya presiden menanggapi
dan rakyat Indonesia pun menyorot masalah tersebut,” ucap dia.

Dengan gaungnya yang besar ini, bukan tidak mungkin akan berpotensi menjadi
gerakan moral yang akan menarik simpati massa. Kritik-kritik yang dimulai
melalui media sosial bahkan sudah membuktikan munculnya gerakan moral di
berbagai belahan dunia. “Apalagi yang dikritik oleh BEM tersebut merupakan
kondisi objektif di lapangan,” ucap dia.

Share: Setelah Jokowi, Giliran Ma’ruf dan Puan yang Dapat Gelar dari Mahasiswa