Internasional

Sempat Diblokir AS, Seberapa Efektif DK PBB Hadapi Isu Palestina?

Irfan — Asumsi.co

featured image
Foto: Wikipedia

Setelah sempat diblok oleh Amerika Serikat (AS), Dewan Keamanan PBB akan menggelar pertemuan virtual terkait permasalahan Palestina pada Minggu (16/5/21). Ini adalah tindak lanjut dari rapat yang semula akan digelar pada Jumat (14/5/21).

Mengutip Channel News Asia, AS sebelumnya menolak jadwal pertama karena ingin memberikan waktu untuk diplomasi terlebih dahulu. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken enggan menyebut tawaran AS sebagai pemblokiran.

“Kami hanya ingin mengadakannya di lain hari. Kami terbuka dan mendukung diskusi terbuka di PBB. Saya pikir kita akan melihat awal minggu depan. Ini, saya harap akan memberikan waktu bagi diplomasi,” kata Blinken.

Baca juga: Lebih dari 30 Warga Palestina Tewas dalam Serangan Roket Israel, AS Diminta Tegas

AS kemudian setuju untuk memindahkan jadwal rapat darurat ke Minggu (16/5/21), seperti yang diajukan Tunisia, Norwegia, dan China. Untuk mengadakan rapat, lima belas anggota DK PBB memang harus sepakat terlebih dahulu. Jika ada satu anggota tak setuju, maka DK PBB tidak dapat menggelar rapat.

Sebelumnya, AS yang selama ini menjadi sekutu utama Israel membela serangan yang dilakukan dalam beberapa hari terakhir. AS menilai apa yang dilakukan Israel dengan menyerang Gaza adalah bentuk pertahanan diri dari serangan Hamas, salah satu faksi militer Palestina yang berbasis di Gaza.

Namun, Pemerintahan Presiden Joe Biden juga menyampaikan kekhawatiran mereka atas korban sipil yang terus berjatuhan. Sehingga, mereka mengimbau Israel untuk menunda penggusuran warga Palestina di Yerusalem yang menjadi pemicu langsung gejolak tersebut.

DK PBB sendiri sudah menggelar dua pertemuan tertutup untuk membahas eskalasi tekanan Israel pada Palestina yang terjadi dalam beberapa pekat terakhir. Dalam pertemuan itu, AS sebagai sekutu kuat Israel mencegah upaya DK PBB untuk mengeluarkan pernyataan berisi desakan mengakhiri kekerasan. Alasan AS, pernyataan DK PBB akan kontraproduktif dengan upaya negaranya.

Blinken mengakui AS memang mengirimkan utusannya ke Timur Tengah, salah satu agendanya untuk mendesak Israel untuk menghindari korban warga sipil.

Di Gaza, sedikitnya 103 orang termasuk 27 anak-anak telah meninggal dunia sejak serangan memanas pada Senin (10/5/21). Khusus pada Kamis (13/5/21), 49 warga Palestina tewas di sana dan angka tersebut menjadi kematian tertinggi sejak awal pekan ini.

Tak hanya korban jiwa, konflik juga menimbulkan kerusakan pemukiman dan fasilitas umum. UNRWA, organisasi PBB untuk pengungsi Palestina menyebut dua dari sekolah-sekolah yang mereka miliki rusak dalam serangan udara Israel. Setidaknya ada 29 kelas hancur.

Kepala Biro Riset Haifa Institute, Gilang Al Ghifari Lukman kepada Asumsi.co menyebut keberadaan AS dengan power veto-nya di Dewan Keamanan PBB memang memberikan skeptisisme dan menimbulkan hampanya harapan publik pada penyelesaian masalah Palestina. Apalagi, veto tadi kerap digunakan AS untuk mencegah keputusan yang merugikan kepentingan Israel sebagai mitranya.

“Kalau kita hanya berpacu pada hukum internasional PBB sedikit banyak aspirasi Palestina tidak akan tersampaikan secara penuh ya,” kata Gilang.

Namun, tidak dapat dipungkiri setidaknya PBB punya resolusi yang bisa digunakan untuk menjadi acuan menyelesaikan konflik yang cukup mewakili posisi kedua belah pihak. Salah satunya Resolusi 242 yang disepakati pada 1967.

Baca juga: Eskalasi Tekanan Israel Terhadap Palestina, Ini yang Perlu Kamu Tahu

Resolusi ini menuntut Israel untuk segera menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah yang didudukinya dalam Perang Enam Hari dan tidak boleh mengambil wilayah secara paksa.

“Walaupun pemerintahnya (Israel) cenderung right wing dan tidak mau mundur dari Tepi Barat tapi ada juga kelompok progresif yang minta agar pendudukan di Tepi Barat dihentikan. Itu bukan wilayah Israel, kalau melalui formula two state solution pun (Tepi Barat) akan menjadi bagian dari kedaulatan Palestina,” ucap dia.

Selain itu, resolusi PBB yang terus menerus juga bisa membentuk diskursus publik internasional. Dulu misalnya, gerakan resistensi militer pada Israel seperti Palestine Liberation Organization dicap sebagai organisasi teroris terutama oleh publik barat. Namun, seiring waktu dengan resolusi di Majelis Umum terutama yang disponsori negara anggota Asia, Afrika, dan Amerika Latin, muncul resolusi voting yang mendukung hak-hak Palestina.

“Mungkin tekanan kecil ini secara sporadis enggak berasa ya, tapi kalau terus menerus dibuat sebagai resolusi Majelis Umum secara akumulatif tentu akan berdampak pada pergerseran opini publik,” ucap dia.

Resolusi-resolusi ini juga menghadirkan di antaranya 112 daftar perusahaan yang memiliki kaitan dengan pendudukan ilegal Israel atas Palestina. Daftar ini penting sebagai acuan dalam membuat gerakan boikot dan menjawab skeptisisme serta keraguan orang pada gerakan boikot.

Share: Sempat Diblokir AS, Seberapa Efektif DK PBB Hadapi Isu Palestina?