Isu Terkini

Sehari Bersama FPI: Melihat Wajah Lain Ormas Islam

Abdul Qowi Bastian — Asumsi.co

featured image

Seorang bapak paruh baya terlihat sedang menyapu halaman rumah di balik pagar hitam yang ditempeli tulisan, “Mohon maaf, Anda masuk daerah Islam: Wajib tutup aurat, dilarang merokok, dan bicara baik.”

Bapak itu berpakaian sederhana, hanya sarung bermotif kotak-kotak putih yang dilengkapi kaos oblong dan bersendal jepit saja ketika kami tiba di Pondok Pesantren Al-Umm, Ciputat, Jakarta Selatan, pada suatu pagi di awal bulan Ramadan tahun ini.

Ia menyapa kami dengan senyum dan mempersilakan kami masuk ke dalam ruang tamu yang khas Arab; tidak ada bangku di sana, hanya karpet saja. Sembari bercanda ia bertanya, “Mau minum apa?”

Sebelum kami sempat menjawab, ia langsung tertawa dan menjawab, “Nanti aja ya, abis Maghrib.”

Ia adalah Ustad Misbahul Anam, pendiri ponpes yang sekaligus bertempatkan di kediaman pribadinya bersama keluarganya. Syeikh Misbah, begitu ia disapa para santrinya, adalah Ketua Dewan Majelis Syuro Front Pembela Islam (FPI).

Kegarangan anggota ormas Islam yang dikenal radikal dan intoleran itu tak tampak dalam sosok Misbah. Jika belum pernah melihat wajahnya sebelumnya, entah di televisi atau di artikel berita di internet, orang yang menyapu halaman tadi tak akan disangka merupakan salah seorang pendiri FPI bersama Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab itu.

Pagar pintu Ponpes Al Umm di Ciputat. Foto: Idris Maulana/Asumsi

Di bulan Ramadan ini, kami melihat lebih dekat FPI dari tempat kelahirannya di Ponpes Al Umm ini. Di sinilah Rizieq dan Misbah beserta segenap anggota lainnya, mendeklarasikan ormas yang identik dengan pakaian serba putih itu pada 17 Agustus 1998.

“Di sinilah kebetulan saat itu Habib Rizieq mengajar di Al Umm,” kata Misbahul. “Dalam setiap pertemuan, ada kesamaan ide tentang nilai-nilai, moral akidah, keimanan terhadap bangsa Indonesia.”

Ia bercerita bagaimana pada masa Orde Baru banyak terjadi kriminalisasi terhadap ulama dan ketidakadilan, seperti kegiatan dakwah yang harus meminta izin dari aparat keamanan atau ormas Islam harus mengganti azas organisasinya dengan azas tunggal Pancasila.

Baca Juga: Wawancara dengan Ketua Majelis Syuro FPI: Kriminalisasi Ulama pada Era Reformasi Lebih Gila Dari Orde Baru

Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsudin pernah menyebut bahwa agenda politik Orde Baru salah satunya mencakup depolitisasi Islam. Menurutnya, Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Selain itu, dengan mendepolitisasi Islam, kekuasaan Orde Baru dapat dipertahankan.

Oleh karena itu, lanjut Misbahul, Rizieq mengajaknya untuk membentuk ormas yang diharapkan dapat memperjuangkan Islam di Indonesia.

“Latar belakang FPI berdiri itu adanya ketidakadilan, kemaksiatan yang merajalela. Kemudian indikasi kuat bahwa ada kolaborasi antara penjahat dan pejabat terhadap kemaksiatan ini,” kata Misbahul yang pada awal pendirian FPI didapuk sebagai sekretaris jenderal.

‘NU Orang Tua Kami, Muhammadiyah Saudara Kami’

Ia mengaku, FPI hanya mengisi kekosongan di skena umat Muslim Indonesia. Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), menurutnya mengurus bidang dakwah melalui pesantren. Sedangkan ormas Islam terbesar kedua, Muhammadiyah, berperang dalam masalah pendidikan dan rumah sakit.

“Tapi pada posisi amar maruf nahi munkar [menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran], ini kekosongan. Di sini FPI mengisi,” ujarnya.

Misbahul Anam saat memimpin pengajian ibu-ibu di Ponpes Al Umm. Foto: Idris Maulana/Asumsi

Namun semenjak kelahiran FPI pada awal masa Reformasi, tidak sedikit yang menurut Misbahul menaruh cemburu. Ia menuturkan, bahwa mantan Ketua Umum NU KH. Hasyim Muzadi pernah bertanya kepada Rizieq, kenapa dalam pertemuan-pertemuan internasional yang lebih banyak ditanya adalah FPI, bukan Muhammadiyah atau NU.

“Kami dari FPI enggak pernah merasa bermusuhan dengan NU atau Muhammadiyah,” kata Misbahul. “NU itu orang tua kami. Muhammadiyah itu saudara kami.”

Kecemburuan tersebut, menurut Misbahul, salah satunya disebabkan dengan vokalnya FPI tampil menyuarakan perjuangan umat Islam di dunia, seperti pembelaan Palestina hingga mendukung pendirian rumah sakit Indonesia di Gaza. Sehingga FPI mendapat sorotan dari media internasional.

Islam Agama yang Damai, Tapi Kenapa Mengedepankan Kekerasan?

Namun, pemberitaan di media tak selalu positif bagi FPI, terutama di media massa nasional. Misbahul menyatakan, FPI selalu siap sedia membantu korban bencana alam di berbagai daerah di Indonesia, terlepas dari korbannya Muslim atau non-Muslim. Tapi liputan itu selalu luput dari layar kaca.

“Di media TV-TV itu kan mereka alergi memberitakan yang begitu [kegiatan FPI] karena harga jualnya rendah,” ucapnya.

“Tapi misalkan kalau FPI lagi sweeping tempat perjudian, banting botol minuman keras, itu diberitakan bisa tujuh kali sehari, karena rating mereka naik, harga jualnya tinggi.”

Ia mengaku tak terlalu memusingkan pemberitaan media karena menurutnya prinsipnya dalam berjuang adalah tidak menjari sanjungan, melainkan mengharapkan ridha Allah.

Baca Juga: Santri Pesantren: Saya Ingin Mewakafkan Diri Menjadi Anggota FPI

Ketika ditanya, bukankah Islam agama yang damai, kenapa harus bertindak dengan kekerasan untuk mencegah kemaksiatan, Misbahul menjawab, “Islam itu agama rahmatan lil alamin [agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta”.

“Kata rahmatan lil alamin jangan disalahartikan dan dipersempit maknanya. Jadi kalau ada kemaksiatan ditolerir, dibiarkan, itu bukan rahmatan lil alamin. Jadi kita tegas terhadap kemaksiatan, kita tidak rela dengan adanya ketidakadilan, itu rahmatan lil alamin.”

Ia mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad SAW adalah seorang pribadi yang sangat lemah lembut. Tapi jika sudah ada orang yang menghina agamanya, Rasulullah akan marah.

“Justru memberhentikan, kita menutup tempat-tempat maksiat, itu bagian dari rahmatan lil alamin. Sebab, kalau maksiat dibiarkan di mana-mana, Allah murka, yang kena imbasnya kan bukan yang maksiat aja. Kalau Allah kirimkan banjir, emang yang kena yang maksiat aja?” katanya.

Pendiri Ponpes Al Umm Misbahul Anam saat memimpin salat Tarawih pada 25 Mei 2018. Foto: Idris Maulana/Asumsi

Menjadi Benteng Agama

Sejak berdiri pada 1997 lalu, Ponpes Al Umm bersemboyan untuk mempertahankan akidah ahlus sunnah wal jamaah (kelompok atau golongan yang berkomitmen mengikuti sunnah Nabi Muhammad).

Menurut Misbahul, pendidikan di pesantren ini bertugas sebagai pembentengan dan pembekalan santri ke depannya, dengan adanya berbagai munculnya berbagai aliran-aliran di Indonesia.

“Bahkan yang jelas-jelas melanggar dalam persoalan keagamaan masih dilindungi, contohnya Ahmadiyah, dalam hal ini sampai hari ini masih mendapat perlindungan,” katanya.

Baca Juga: Jemaat Ahmadiyah: Bangsa Indonesia Sebenarnya Bukan Bangsa yang Gampang Menyerang

“Pada persoalan-persoalan yang mencuat, misal masalah Syiah, Wahabi, nah santri dikasih tahu bahwa ini letak kesesatannya di mana, Ini pembentengan yang diharapkan begitu keluar dari Al Umm bisa menularkan, membentengi umat agar tidak terkontaminasi dengan akidah-akidah lain,” ujarnya.

Misbahul kemudian melanjutkan aktivitasnya pada hari itu. Di pagi hari ia memimpin tadarus ibu-ibu pengajian di aula pesantren, namun ia pesimistis akan khatam Alquran dalam satu bulan Ramadan ini dikarenakan sedikitnya jumlah peserta.

Menjelang waktu dzuhur, kami berangkat ke sebuah masjid di daerah Ciputat untuk melaksanakan salat Jumat berjamaah, sebelum kegiatan dilanjutkan bada’ Ashar untuk dzikir dan wirid bersama para santri pesantren dan warga sekitar.

Baca Juga: Syiah: Kami Bukan Alien

Dzikir berlanjut hingga waktu berbuka puasa. Santri-santri perempuan dan ibu-ibu di sekitar pesantren menyiapkan tajil dan makanan untuk berbuka. Sederhana tapi ramai dan ceria.

Pada malam harinya, Misbahul memimpin salat Tarawih sebanyak 4 rakaat sebelum digantikan oleh imam lain. Ia kembali memberikan ceramah atau tausiyah Ramadan hingga waktu menunjukkal pukul 22:00 WIB. Berakhirlah kegiatan di Ponpes Al Umm untuk hari itu. Misbahul beserta keluarga dan para santri beristirahat sebelum sahur untuk berpuasa keesokan harinya.

Share: Sehari Bersama FPI: Melihat Wajah Lain Ormas Islam