Isu Terkini

Wawancara Ketua Majelis Syuro FPI: Kriminalisasi Ulama Era Reformasi Lebih Gila Dari Orde Baru

Abdul Qowi Bastian — Asumsi.co

featured image

Ketua Majelis Syuro Front Pembela Islam (FPI) Misbahul Anam meyakini, meski Indonesia sudah 20 tahun memasuki era reformasi, namun kehidupan bagi para ulama tidak membaik. Malah menurutnya, bisa dibilang semakin memburuk jika dibandingkan dengan masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Ia merujuk kepada kasus dugaan chat yang melibatkan Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab dengan seorang perempuan. Sejak kasus itu mencuat pada medio 2017 silam, Rizieq pergi ke Mekah, Arab Saudi, dan belum kembali hingga kini.

Sebagai mantan sekretaris jenderal FPI pada tahun-tahun pertama ormas tersebut dibentuk, Misbahul mengatakan, dengan kepergian Rizieq ke Mekah, bukan berarti ia memanggul tanggung jawab sebagai pemimpin FPI saat ini.

“Komando satu arah tetap datang dari Habib Rizieq. Walaupun beliau enggak ada di sini, tapi beliau tetap memberikan perintah melalui grup WhatsApp setiap hari,” katanya seraya menambahkan ia tergabung ke dalam 5 grup WhatsApp bersama Rizieq.

Baca juga: Sehari Bersama FPI di Pondok Pesantren

Berikut cuplikan wawancara Asumsi dengan Misbahul Anam seputar tuduhan kriminalisasi ulama dan kedekatan FPI dengan tokoh politik Tanah Air.

Foto: Idris Maulana/Asumsi

Dua puluh tahun reformasi, apa yang berbeda di Indonesia saat ini dengan dulu pada masa Orde Baru?

Kriminalisasi saat ini di era reformasi lebih gila. Karena pada saat Orde Baru, Habib Rizieq itu termasuk pada salah satu target yang harus dihilangkan. Beliau nomor 9. Kita dapat bocoran daftar. Saya nomor 11. Alhamdulillah sampai Orde Baru lengser, kita masih aman-aman aja.

Ada pelarangan, pengajian harus izin. Dulu setiap muballigh ceramah harus ada SIM atau surat izin muballigh. Pemantauannya hanya sampai sebatas itu. Kalau ada yang dianggap ceramahnya terlalu menyerang, turun ditangkap.

Kalau sekarang, kan enggak. Kriminalisasinya lebih gila. Berapa kyai, pengasuh pesantren yang didatengin. Mau dibunuh, pura-pura jadi orang gila. Ini buktinya lebih jahat lagi, kriminalisasi ulama dan aktivis Islam. Artinya, ketidakadilan pada saat ini itu lebih parah dibandingkan Orde Baru.

Ya, pada saat Orde Baru ada korupsi, ada kriminalisasi terhadap ulama. Tapi kita tidak menutup mata, pada masa Orde Baru ada keberpihakan pada umat Islam, seperti berapa banyak masjid yang dibangun. Nah sekarang orde reformasi, khususnya Presiden Jokowi, udah berapa masjid yang dibangun? Yang ada justru dirobohin. Jadi artinya kita objektif dalam melihat.

Kenapa menurut Anda pemerintah ‘mengkriminalisasi’ ulama?

Sebetulnya, terjadinya kriminalisasi terhadap aktivis, ulama, yang pertama karena ketidaktahuan mereka terhadap Islam.

Yang kedua karena ketakutan. Terutama setelah peristiwa Aksi 212. Begitu kekuatan umat Islam ternyata mampu menggoyahkan dunia kekuatan 212 ini bukan menjadi acungan jempol untuk Indonesia, di seluruh dunia, bahwa umat Islam Indonesia, siapa bilang anti-toleransi, siapa bilang jorok, tidak bisa diatur?

Faktanya, 7,5 juta lebih orang, sampah tidak ada. Kemudian jangankan orang, rumput aja enggak diganggu. Siapa bilang anti-toleransi, anti-agama lain? Itu di Katedral, yang kebaktian, yang pernikahan, dibantu.

Ini akhirnya mereka ketakutan sendiri. Jadi rezim ini semakin panik, semakin takut, dengan diperlihatkannya oleh Allah bahwa umat Islam ini baik, bersatu. Islam itu ternyata taat komando ulama. Inilah yang kemudian ketakutan terhadap Islam, akhirnya lebih muncul sehingga dengan berbagai cara akan menutup.

Kenapa takut?

Kalaupun dia Islam, ya karena Islamnya enggak kaffah [menyeluruh, red]. Takut terhadap Islam kan sebetulnya bukan orang Islam. Orang Islam takut sama Islam kan mustahil. Setan enggak takut sama setan. Kalau kita umat Islam, tahu Islam itu baik, enggak mungkin takut. Kalau ada orang Islam, anti Islam, ya bukan Islam. Islamnya enggak Islam kaffah. Kalau bukan Islam, ya jawabannya, fasiq, munafik, kafir.

Bukan karena takut ditunggangi motif politik?

Ana juga bingung. Ini pemerintah takut umat Islam berpolitik, itu yang mana? Dan umat Islam itu memang harus berpolitik.

Kalau ada yang mengatakan umat Islam enggak boleh berpolitik, ini yang ngomong yang mau merebut politik. Sebab kalau semua umat Islam enggak berpolitik, politik dipegang oleh non-Islam. Kalau orang Islam yang baik-baik enggak berpolitik, maka yg berpolitik, ya orang-orang yang jahat.

Kalau itu terjadi, maka di parlemen itu orang2-orangyg jahat, yang non-Muslim, yang kafir. Ini kan yg membentuk tatanan undang-undang. Makanya kita FPI berteriak, umat harus tahu tentang politik. Umat Islam harus berpolitik.

Nah ini ajaran dalam Islam. Kalau yang mengatakan, orang partai itu orang jahat, kita ganti dong. Jadi ayo kita bareng-bareng. Kalau semua partai adanya orang-orang yang baik, maka di parlemen itu orang-orang yang baik. Maka undang-undang yang akan muncul dilahirkan, undang-undang yang baik. Bagaimana undang-undangnya akan baik, pornografi enggak selesai-selesai. Yang bikin undang-undang demen pornografi. Undang-undang minuman keras beralkohol akhirnya mentah lagi, karena apa? Ya, mereka doyan juga kali. Tetap kita akan menangkis yang mengatakan umat Islam enggak boleh berpolitik.

Misbahul Anam saat memimpin zikir di Ponpes Al Umm pada 25 Mei 2018. Foto: Idris Maulana/Asumsi

Ada larangan yang menyebutkan di masjid tidak boleh berkampanye politik …

Kalau ceramah di masjid tidak boleh dimasuki politik, kalau di masjid enggak boleh kampanye PDI, Golkar, NasDem, ana setuju. Tapi kalau yang dimaksud di masjid enggak boleh berbicara bagaimana suatu undang-undang ini dilahirkan, bagaimana menguasai DPR/MPR supaya lahir pemimpin Muslim yang undang-undangnya pro Islam dan lain sebagainya, ana enggak setuju.

Dalam buku Politik Syariat Islam: Dari Indonesia ke Nigeria karangan Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, disebutkan FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekitar Soeharto, seperti Prabowo dan Wiranto, sehingga mereka kebal terhadap hukum atas aksi penggerebekan dan bermain hakim sendiri. Tanggapan Anda?

FPI sejak berdiri itu tidak pernah ada bantuan dana baik dari TNI maupun Polri. FPI dibuat didirikan bukan oleh TNI/Polri. Ini saya mau garisbawahi.

Pada saat pascareformasi, kejatuhan hukum lemah. TNI/Polri udah enggak ada apa-apanya di mata umat. Pada saat itu FPI punya peran, dipercaya sama umat. Sehingga dari TNI/Polri ada kepentingan untuk mendekati kita.

Ketika itulah Kapolri mendekati kita, Pangdam mendekati kita. Kapolda, Panglima TNI mendekati kita. Pada saat itu, Pak Wiranto sebagai petinggi juga mendekati kita, minta bantuan FPI untuk pengamanan secara nasional. Itu kan permintaan baik, kita bantu. Selama ada permintaan kebaikan, kita bantu.

Di sini adanya pada milad pertama FPI, petinggi TNI/Polri ikut hadir. Sekarang masih dekat. Kedekatan sama Pak Wiranto sebatas komunikasi ketika ada persoalan Ahok.

Sama Prabowo, ada kedekatan, batasannya mana? Komunikasi normatif aja. Nah adapun kalau buku itu mengatakan kedekatan ini jadi kebal dari hukum, bukan begitu.

FPI itu setiap akan melakukan aksi ada prosedur standar. Karena FPI itu melakukan aksi sesuai prosedur standar, sehingga enggak bisa dikriminalisasikan.

Contoh di satu wilayah, ada tempat perjudian, ada pelacuran, penjualan minuman keras. Masyarakat di sekitar itu enggak setuju. Mereka enggak bisa berbuat. Kemudian mereka lapor ke FPI.

Baca Juga: Santri Pesantren: Saya Ingin Mewakafkan Diri Menjadi Anggota FPI

Share: Wawancara Ketua Majelis Syuro FPI: Kriminalisasi Ulama Era Reformasi Lebih Gila Dari Orde Baru