Isu Terkini

Syiah: Kami Bukan Alien!

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Perjalanan saya untuk meliput berita hari itu tak seperti biasanya. Kali ini, pikiran saya penuh dengan was-was karena prasangka yang sudah terlanjur tertancap di dalam pikiran. Tulisan dan gambar-gambar yang tersebar di internet, umumnya menunjukkan hal yang mengerikan tentang salah satu mazhab (aliran pemikiran) dalam agama Islam, yaitu Syiah. Hal itulah yang membuat saya agak sedikit kikuk saat sampai di Gedung Islamic Cultural Center (ICC), pusat kegiatan kelompok muslim bermazhab Syiah, pada 6 Juni 2018.

Dengan sangat berhati-hati, saya melangkahkan kaki ke tangga menuju pintu masuk perpustakaan yang berada di lantai dua. Gedung itu dibalut penuh dengan kaligrafi, tempatnya agak sepi, mungkin karena saya datang terlalu sore, sekitar pukul lima. Namun, masih ada beberapa sendal dan sepatu yang berjejer di depan pintu.

Saat sedang melihat-lihat banner yang berada di samping pintu, tiba-tiba, ada seorang bapak-bapak berperawakan Timur Tengah menggunakan kemeja kantoran, keluar dari pintu dan mengambil sepatu. Saya memberanikan diri untuk bertanya.

“Pak, permisi, saya mau tanya, saya mau liputan, kira-kira siapa ya, pak, yang bisa saya wawancara tentang kegiatan di ICC?”

“Ada, namanya Ustad Hafidh, tapi mungkin beliau udah di bawah, lagi tadarus. Mending kamu ikutan bukber [buka bersama] aja dulu, sekalian diliput agenda bukber kami, biar orang-orang tahu, kami bukan alien,” ujar bapak itu yang tak sempat saya tanyakan namanya.

“Wah, boleh Pak saya ikutan bukber di sini?” jawab saya mencoba mencairkan suasana.

Bukannya suasana menjadi cair, wajah bapak yang umurnya sekitar 40-an itu justru agak sedikit merengut.

“Jangankan kamu, orang yang agamanya lain aja boleh bukber di sini,” katanya, bapak itu mungkin agak sedikit tersinggung dengan pertanyaan saya yang bisa dibilang basi.

Dengan melihat kerudung berwarna hijau yang saya kenakan, tentu bapak itu sudah bisa menebak bahwa saya juga beragama Islam. Sayangnya, bapak itu nampaknya sedikit terburu-buru, ia pun pergi setelah memberi tahu seorang petugas untuk mengantarkan saya ke Husainiyah (aula tempat semua kegiatan keagamaan dilakukan).

Penampakan pintu depan perpustakaan ICC, 7 Juni 2018. Foto: Winda/ASUMSI

Rasa canggung itu muncul kembali ketika saya memasuki ruangan yang cukup luas, dengan karpet berwarna merah yang mendominasi. Layaknya mushola, di sana juga ada tirai sebagai pembatas antara laki-laki dan perempuan, namun perasaan asing itu tak kunjung hilang.

Saya memutuskan untuk mengambil wudu, memakai mukena, dan mengambil salah satu  Al Quran yang ada di rak belakang. Semua tampak biasa saja, sampai akhirnya ada seorang ibu-ibu yang mengantarkan air mineral dan semangkuk kurma ke hadapan saya.

“Kamu Sunni, kan? Sunnahnya menyegerakan buka puasa, kalau kami, buka puasanya nanti setelah sholat,” kata ibu itu yang belakangan baru saya ketahui bahwa namanya Bu Rohmah.

Bu Rohmah adalah salah satu pengurus ICC, ia bahkan sudah tinggal di sana selama dua tahun belakangan, dan Bu Rohmah-lah yang menyiapkan makanan untuk para jamaah Syiah yang akan berbuka puasa bersama.

Setelah meneguk air minum dan mengunyah dua biji kurma dengan diam-diam, barulah azan maghrib dikumandangkan di ruangan Husainiyah ICC, ada selisih  waktu sekitar lima belas menit dengan waktu maghrib yang ada di jadwal imsakiyah versi Sunni.

Meskipun agak sedikit ragu, tapi saya memutuskan untuk tetap ikut sholat berjamaah dengan jemaah Syiah lainnya. Saya mengambil shaf (barisan) dengan empat orang perempuan lainnya, di depan kami, ada shaf laki-laki dengan jumlah yang lebih banyak, sekitar 15 orang. Sholat itu ternyata diimami oleh Ustad Hafidh, orang yang saya ingin temui untuk menjawab barisan pertanyaan yang telah saya siapkan.

Takbiratul ihram pun dikumandangkan oleh sang imam, sebagai ucapan pertama yang dilakukan oleh orang shalat. Seperti biasanya, saya melipat tangan (bersedekap) setelah imam mengucapkan ‘Allahu Akbar’, mata saya pun mulai fokus ke bawah, dan baru menyadari bahwa ada batu yang berada di hadapan semua jemaah, kecuali saya sendiri.

Jemaah Syiah yang menggunakan turbah saat melakukan shalat Isya di ICC pada 6 Juni 2018. Foto: Winda/ASUMSI

Batu itu ternyata disebut turbah, sebuah lempengan yang terbuat dari tanah di Karbala. Dalam mazhab Syiah Ja’fariyah, diajarkan bahwa saat melakukan sujud, dahi harus bersentuhan langsung dengan sesuatu yang alami. Dalam fikih Syiah ahlulbait, sujud di atas tanah merupakan perintah Rasulullah dan para imam ahlulbait a.s.

“Tidak boleh sujud kecuali di atas ardh (tanah, bumi) atau yang tumbuh di bumi, kecuali yang dimakan atau dipakai,” demikian diriwayatkan oleh Al-Imâm Ja’far ketika ada sesesorang yang bertanya tentang tempat yang dibolehkan untuk bersujud.

Meskipun saya tidak memiliki batu seperti jemaah lainnya, saya tetap melanjutkan sholat seperti biasa. Mengikuti setiap bacaan imam yang sedang melafalkan suarat Al Fatihah. Ketika ayat terakhir dikumandangkan, seperti biasa, mulut saya sudah bersiap-siap ingin mengucapkan kata ‘Amin’. Tapi baru bersuara ‘A’ pelan, ternyata makmum yang lain tak ada yang mengucap kata Amin, membuat saya terdiam agak sedikit malu.

Setelah mengetahui perbedaan tentang batu turbah dan kata Amin yang tidak dilafalkan, mata saya akhirnya tak tahan untuk melirik sekitar. Masih dalam posisi shalat, tapi pupil mata saya mencoba mencari perbedaan lainnya, dan baru saya sadari, kalau jemaah lain tidak melipat tangannya (bersedekap).

Di rakaat kedua dan ketiga, saya pun mencoba menahan perut agak ke dalam agar tangan saya yang bersedekap itu tidak terlalu kentara. Selebihnya, saya sudah membiasakan diri. Doa shalat serta bacaan surat dalam shalat versi Syiah tak ada yang asing di telinga saya, nyaris semuanya bisa saya kenali dengan baik.

Di akhir shalat, seperti biasa, ada salam dua kali, ‘Assalamualaikum warahmatullah’, tapi masing-masing dari mereka tak ada yang menengok ke pundak kanan dan kiri. Seusai shalat maghrib, imam dan jemaah lainnya langsung berdiri untuk melanjutkan shalat isya.

Jika maghrib ada tiga rakaat, isya punya empat rakaat, hal itu menjadi bukti bahwa Syiah dan Sunni masih punya sederet persamaan. Setelah shalat dilakukan, barulah makanan berat dihidangkan. Masing-masing jemaah dapat satu nasi kotak dari Bu Rohmah. Menunya cukup mengunggah selera, ada sepotong daging kari, tumis sayuran yang dicampur tempe, sambal, dan juga kerupuk.

Saya ikut makan bersama dengan jemaah perempuan lainnya. Mereka memandang saya tanpa rasa heran, kami saling berbasa-basi dan membahas tentang pekerjaan dan tempat tinggal. Semua tampak biasa saja, tak ada lagi perbedaan yang nampak di antara kami.

Mazhab Syiah dan Fitnah-Fitnah yang Menyelimutinya

Setelah berbuka puasa bersama dengan penganut Syiah, saya mencoba untuk menemui Ustad Hafidh, yang belakangan baru saya ketahui bahwa dia adalah humas di ICC. Sayangnya, sang ustadz harus pergi menghadiri agenda lain, dan saya dijanjikan untuk mewawancarainya keesokan harinya.

Sekitar pukul satu siang, 7 Juni 2018, saya menemui Ustadz Hafidh Alkaf di ruang kerjanya yang masih satu tempat dengan perpustakaan ICC. Tak seperti menemui narasumber lainnya, saya tak bisa langsung bertanya-tanya, karena Ustad Hafidh yang justru bertanya kepada saya terlebih dahulu.

Perpustakaan adalah salah satu ruangan yang berada di dalam gedung ICC, 7 Juni 2018. Foto: Winda/ASUMSI

“Berita apa saja yang pernah kamu baca tentang Syiah?” tanya Ustad Hafidh.

Saya tersenyum kikuk, khawatir dengan kata-kata yang ingin saya ucapkan akan menyinggung perasaannya. Namun, tanpa ragu, Ustad Hafidh menjawab pertanyaannya sendiri.

“Isu pertama tentang Syiah, satu, Syiah punya Al Quran yang berbeda. Dua, melaknat para sahabat nabi. Tiga, mencaci maki istri nabi. Apalagi? Sholat di atas berhala,” katanya sambil menunjukkan turbah miliknya.

“Saya miris, yang bikin isu kok enggak cerdas. Contoh [ada isu lagi], Syiah makan kotoran imamnya. Ada lagi, Syiah menikahi mahramnya. Satu lagi, Syiah menghalalkan zina,” ujar Hafidh membeberkan tentang isu-isu yang sering disudutkan pada kelompok bermazhab Syiah.

“Ini siapa orang yang waras yang akan melakukan itu?” katanya dengan raut wajah yang tegas.

Saya pun mulai memberanikan bertanya, “apakah benar, Syiah mengagungkan Husein (cucu nabi Muhammad)?”

“Pernahkah orang Syiah dalam shalatnya mengucapkan nama Husein?” tanya Hafidh.

Saya yang sehari sebulumnya sudah sempat shalat berjamaah, menyaksikan sendiri bahwa mereka tak mengucapkan nama Imam Husein di dalam bacaan shalat.

Ustad Hafidh langsung melanjutkan penjelasannya, “Yang kami ucapkan tetap Allahuma sholi Muhammad, wa Ali Muhammad, itu jelas bahwa kami mengagungkan nabi Muhammad.”

Lalu, bagaimana dengan peringatan 10 Muharam, sebagi hari Asy’ura, hari kematian Husein. Banyak video yang beredar di internet tentang sebuah kelompok yang memukul-mukul badan sendiri, bahkan dengan menggunakan pedang yang menyebabkan darah mengalir di tubuh mereka.

“Itu diharamkan oleh ulama kita, ulama kita mengharamkan itu [memukul-mukul badan sendiri menggunakan pedang],” jawab Hafidh.

Lalu, siapakah mereka yang memukul badannya sendiri menggunakan pedang?

“Orang Syiah yang tidak tunduk pada ulamanya.” Ustad Hafidh juga mebandingkan dengan orang penganut mazhab Sunni, “Betapa banyak umat Sunni yang juga tidak tunduk pada ulamanya.”

Kemudian, ia menerangkan, bahwa gerakan tangan yang memukul-mukul dada itu tidaklah dilakukan dengan menyakitkan tubuh sendiri. Gerakan itu adalah bentuk tradisi yang Syiah ikuti dari adiknya Imam Husein, Siti Zaenab yang meratapi kematian Husein di Karbala.

Sikap Sinis Terhadap Perbedaan

Jika berbicara tentang Syiah, tentu kita akan dihadapkan dengan berita-berita penolakan, penyerangan, bahkan sampai bentuk intimidasi. Seperti yang terjadi di Sampang, Madura dan wilayah lainnya yang masih inteloran terhadap perbedaan.

Di Indonesia, Sunni atau lebih dikenal dengan Ahlus-Sunnah wal Jama’ah adalah kelompok mayoritas. Mazhab terbesar dalam sunni adalah: Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali (urutan berdasarkan jumlah pengikut).

Sebenarnya, kebanyakan umat muslim di Indonesia hanya mengetahui Islam dari ajaran orang tua, dan tidak memahami perbedaan mazhab yang mereka anut. Tapi, dari ajarannya, muslim Indonesia memang mayoritas adalah Sunni bermazhab Syafi’i.

Dari tabel di Wikipedia tentang Islam Syiah di Indonesia, jumlahnya ternyata hanya sebesar 5-6 juta orang saja, atau sekitar 2.7% dari jumlah muslim Indonesia. Sehingga bisa kita katakan bahwa Syiah, adalah kelompok minoritas.

Tak bisa dipungkiri, bahwa kelompok minoritas adalah kelompok yang paling rentan dijadikan korban. Karena tidak terbiasa melihat perbedaan, para kelompok mayoritas tanpa ragu mengusir dan mempersekusi kelompok minoritas.

Padahal, sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja tidak pernah mengeluarkan fatwa bahwa Syiah adalah ajaran yang sesat. MUI sendiri tidak pernah melarang ajaran Syiah di Indonesia kecuali mengimbau agar umat Islam meningkatkan kewaspadaan terhadap kelompok Syiah yang ekstrim.

Hal ini pernah ditegaskan oleh Ketua MUI bidang Hubungan Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi, untuk menanggapi surat edaran Wali Kota Bogor pada 22 Oktober lalu yang melarang perayaan Asyura oleh penganut Syiah di wilayahnya.

“Dikeluarkannya surat MUI pada tahun 2004 bahwa sesungguhnya kita tidak punya posisi untuk mengatakan bahwa Syiah itu sesat,” kata Muhyiddin Junaidi dilansir dari Bbc.com pada Minggu, 25 Oktober 2015.

Lalu, mengapa sampai saat ini masih banyak yang sinis dengan kelompok Syiah? Mungkin masih banyak orang-orang di luar sana yang masih belum terbiasa berdampingan dengan ragam perbedaan yang ada di Indonesia, dan di muka bumi ini.

Share: Syiah: Kami Bukan Alien!