Isu Terkini

RUU Ketahanan Keluarga Melupakan Nasib Orang Tua Tunggal. Kami Tidak.

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Tempo hari, kami sudah mengupas beberapa poin absurd yang terkandung dalam RUU Ketahanan Keluarga. Pasal 85-87 dalam RUU tersebut, misalnya, mewajibkan pelaku “penyimpangan seksual” melaporkan diri dan ditangani oleh lembaga rehabilitasi yang berwenang. Homoseksualitas dan inses masuk kategori penyimpangan seksual. Yang jadi kejutan adalah pelaku BDSM juga bakal dikirim ke panti rehabilitasi.

Singkirkan sejenak imaji menggelikan tersebut — seorang pelaku BDSM digrebek polisi, lantas diboyong ke panti rehabilitasi dengan borgol miliknya sendiri. RUU Ketahanan Keluarga punya permasalahan yang fatal: ia tidak mempertimbangkan pengalaman keluarga yang bekerja. Lebih lagi, keluarga dengan orang tua tunggal.

Muasal keresahan saya adalah ketentuan yang ditulis dalam Pasal 77. Menurut pasal tersebut, pemerintah pusat dan daerah wajib memfasilitasi keluarga yang mengalami “krisis keluarga” karena tuntutan pekerjaan. Menurut Ayat 2 dalam Pasal 77, “tuntutan pekerjaan” dimaknai sebagai kondisi di mana orang tua bekerja di luar negeri, kedua orang tua atau salah satu orang tua bekerja di luar kota, salah satu atau kedua orang tua bekerja dengan sebagian besar waktunya berada di luar rumah, atau kedua orang tua bekerja.

Mungkin keempat kondisi tersebut terdengar familiar bagimu. Sebab kecuali kamu tidak mampu mengupas salak dan mengira tiket KRL harganya Rp 100 ribu, besar kemungkinan salah satu atau kedua orang tuamu bekerja “dengan sebagian besar waktunya berada di luar rumah.” Alias ngantor.

Penggunaan istilah “krisis keluarga” amat penting sebab menurut Pasal 1, istilah tersebut mengacu pada keluarga yang “dalam keadaan tidak stabil, tidak terarah, dan dianggap membahayakan karena dapat membawa perubahan negatif pada struktur dan fungsi keluarga.”

Tentu hal ini membuat terperangah. Apakah keluarga yang bekerja otomatis tidak stabil, tidak terarah, dan membahayakan? Sebentar, kalau mereka tidak bekerja, siapa yang bakal bikin keuangan keluarganya stabil dan terarah? Oke, lupakan.

Semisal kami ingin berprasangka baik, sebetulnya tak sedikit pasal dalam RUU tersebut yang masuk akal. Minimal, bila ditetapkan, ia dapat meringankan beban keluarga yang katanya sedang krisis itu. Pasal 29, misalnya, menjamin hak cuti melahirkan dan menyusui bagi pekerja perempuan. Pasal 99 Ayat 3 butir g dan h tentang Hak Orang Tua juga menjamin orang tua mendapatkan hak cuti melahirkan, cuti pada awal mengangkat anak, serta cuti ketika anggota keluarga atau anak sakit atau meninggal dunia.

Namun, putusan ini bertentangan dengan perubahan yang termaktub dalam Omnibus Law. Dalam RUU raksasa tersebut, cuti untuk keperluan istri melahirkan/keguguran serta cuti bila anggota keluarga meninggal dunia rencananya akan dihapus. Sehingga bahkan pasal yang dapat meringankan beban keluarga pekerja dalam RUU Ketahanan Keluarga berkontradiksi dengan ketentuan RUU lainnya. Hal ini memunculkan pertanyaan menggelikan: mana yang bakal didahulukan pemerintah, keluarga atau investor?

Masalah bias kelas dalam RUU Ketahanan Keluarga amat penting bagi saya sebab saya dibesarkan oleh orang tua tunggal. Orang tua saya bercerai saat saya dan adik saya masih kecil. Meski Bapak tetap hadir dalam hidup kami, pengasuhan ada pada tangan Ibu dan keluarga kami hampir seratus persen mandiri secara finansial. Kenangan melihat Ibu pulang larut dan tetap lanjut bekerja di ruang tamu terpatri betul dalam sanubari saya.

Beliau tidak sendirian. Data dari BPS menunjukkan bahwa terdapat sedikitnya 345 ribu kasus talak dan cerai di Indonesia pada 2015. Temuan dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak juga mendapati bahwa di Indonesia, setidaknya 7 juta perempuan berperan sebagai orang tua tunggal dan kepala keluarga. Peraturan apapun yang mengaku hendak mempertahankan dan melindungi keluarga semestinya mempertimbangkan mereka pula.

Maka dari itu, saya berinisiatif membuka obrolan dengan beberapa orang Ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal, serta beberapa kawan yang dibesarkan oleh orang tua tunggal. Jika RUU ini tidak mendengar suara mereka, paling tidak kami bisa.

Sudah tentu, saya juga mewawancarai Ibu saya sendiri.

****

Duhita Nirmala, ibu tunggal untuk anak berkebutuhan khusus.

Sebagai ibu tunggal, tantangan apa yang Anda hadapi dan tak banyak dipahami orang lain?

Sebagai Ibu dari anak berkebutuhan khusus, sangat berat bagi saya untuk melakukan semuanya sendiri. Seperti mengantar anak terapi, kontrol ke psikiater, dan membantu dia di sekolahnya. Belum lagi jika dia ada masalah di sekolah. Semua itu saya tanggung sendiri.

Sejauh ini, tantangan terbesar bagi saya adalah penerimaan untuk ikhlas menerima kondisi anak, dan juga kesabaran ketika anak saya bermasalah di sekolah ataupun tempat terapi.

Apa bentuk dukungan yang sudah Anda terima sejauh ini? Dan dukungan seperti apakah yang bakal sungguh-sungguh membantu Anda?

Status orang tua tunggal masih membuat kami mendapat perlakuan berbeda dan seperti butuh dikasihani. Akan lebih baik bila negara dapat menyediakan konsultansi bagi kami, karena sampai saat ini saya masih belum tahu apakah layanan tersebut tersedia. Saya merasa butuh pendampingan dari segi mental karena saya pribadi jadi mengalami krisis, yaitu depresi karena saya merasa sendirian.

Selain konsultansi secara berkala, pemerintah juga bisa memberikan bantuan finansial untuk mereka yang penghasilannya di bawah rata-rata.

Selain soal bekerja, ada juga pasal 75 di RUU Ketahanan Keluarga yang bilang sebuah keluarga dianggap krisis ketika terjadi “kekurangan ekonomi”. Yakni saat orang tua kena PHK, bangkrut usahanya, atau terpaksa mundur akibat disabilitas atau sakit kronis. Apa pendapat Anda soal ini?

Bagi saya masih nggak masuk akal. Bagaimana dengan para ibu tunggal yang terpaksa tidak bekerja karena kondisi anak yang membutuhkan perhatian khusus, atau jika tidak mendapatkan pengasuh?

****

Puji Utami, ibu tunggal. Tinggal terpisah dengan anak karena pekerjaan.

Boleh ceritakan latar belakang keluarga Anda?

Tiga tahun lalu, saya bercerai dari suami saya karena kasus perselingkuhan. Selama empat tahun, saya menganggur dan tidak diperkenankan bekerja. Karena itu, setelah bercerai, dalam mencari kerja perlu usaha lebih dan saya harus magang dan belajar lagi terlebih dahulu. Akhirnya, saya terpaksa bekerja di kota lain dan terpisah dengan anak-anak saya.

Sebenarnya saya ingin membawa anak-anak saya dan mendidik mereka selayaknya orang tua lain. Namun karena keterbatasan tenaga dan saya harus bekerja, saya hanya dapat mengunjungi anak saya sebulan sekali. Sampai sekarang, saya masih berjuang untuk stabil secara finansial. Target saya adalah segera mencari tempat tinggal dan pekerjaan yang bisa mendukung saya untuk mendidik anak-anak saya.

Menurut Pasal 77, orang tua seperti Anda mungkin dianggap krisis. Apakah pendapat Anda soal wacana intervensi pemerintah?

Sejauh ini bantuan dari pemerintah nihil. Saya sempat konsultasi dengan lembaga perlindungan perempuan dan anak, tapi saya selalu dituntut untuk hadir bersama anak saya. Sedangkan saya harus bekerja di luar kota. Akhirnya, saya menyerah untuk cari bantuan. Saya jadi skeptis dengan apapun yang dikeluarkan pemerintah. Toh, lembaga yang sudah ada juga malah mempersulit dengan persyaratannya.

Kalaupun negara mesti turut campur dengan keluarga, di ranah apakah menurut Anda itu perlu dilakukan?

Negara seharusnya memberikan pendampingan untuk single mother yang tidak punya keluarga sama sekali dan tidak tinggal bersama orang tua.  Dia harus bekerja sendiri, menyisihkan waktu untuk keluarga, tapi untuk seimbang harus ada pendamping. Semoga ke depannya ada semacam pendampingan di mana konsultan tersebut bisa tinggal bersama ibu tunggal dan bisa bekerjasama.

****

Febri Ariyadi. Dibesarkan ibu tunggal selama 26 tahun.

Bung, seperti apa cerita keluargamu?

Bokap gue meninggal saat abang gue umur 3 tahun dan gue umur 8 bulan. Waktu itu nyokap kerja sebagai akuntan, tapi kami masih tinggal di rumah kakek gue. Secara finansial, kami gali lubang tutup lubang. Paling berat waktu itu buat bayar uang pangkal sekolah kami. Entah kenapa, nyokap gue saat itu bersikeras pengen cari pendidikan yang sebagus-bagusnya buat anak-anaknya. Gue beruntung nggak dilempar untuk langsung kerja pas masih muda, padahal bisa saja setelah lulus SMA disuruh kerja.

Melihat perjalanan Ibumu, apa yang menurutmu jarang disadari orang?

Nggak semua orang tahu cari duit dan keluarin duit itu sama susahnya. Keluarin duit secara bijak itu lebih susah daripada cari duit. Nyokap harus cari duit dan atur duit, yang seharusnya itu pekerjaan dua orang. Yang kedua adalah ngedidik anak. Dengan kondisi finansial kayak gitu, nyokap nggak ada waktu buat mendidik anak secara personal. Tapi, dia selalu kasih gambaran besar dan meminta gue bertanggung jawab dan selalu menyadari bahwa dia sudah berjuang sendirian. Gue disuruh empati sama dia. Gue dikasih tahu kalau dia sendirian, dan gue harus bisa bantu dia dengan cara gue sendiri.

Sebagai janda, hidupnya susah. Orang-orang nggak seterbuka sekarang. Dia di-cat calling di jalanan, dituduh tukang rebut suami orang. Nyokap nggak pernah cerita, tapi gue tahu.

Kamu melihat dia berkorban banyak?

Bukan berkorban banyak lagi. Dunia dia itu cuma buat gue dan kakak gue. Dunia dia bukan milik dia sendiri. Bahkan dia nggak punya dunia sendiri. Ada kalanya dia sedih. Hidup cuma ngantor, pulang, ngurus anak, ngantor lagi. Jarang banget dia ada hiburan dan libur weekend kayak anak jaman sekarang. Kalau anak-anaknya nggak bisa pergi, dia nggak akan pergi.

Menurut pasal 77, kondisi semacam itu bisa dibilang keluarga krisis. Apa pendapatmu?

Taik sih. Gue pernah ngobrol sama nyokap. Tahu nggak quotes, “Kenapa lo nggak pernah titipin emas perhiasan ke pembantu lo, tapi anak lo dititipin?” Terus nyokap gue cuma bilang: kami itu butuh hidup. Kita punya peran masing-masing, dan Ibu harus menjalankan peran ganda. Harus cari uang, harus urusin anak-anak. Dan hanya karena nyokap nitipin kami ke rumah kakek bukan berarti nggak sayang. Bukan berarti keluarga gue krisis.

Gue bonding dekat banget sama nyokap. Nangis bareng sering, nurut banget iya. Waktu yang kami habiskan bareng lebih penting kualitasnya daripada kuantitasnya.

Menurut gue, RUU ini jadi pukul rata banget. Dari mana lo tahu orang ini butuh bantuan atau enggak? Daripada lo repot mendefinisikan orang ini keluarganya krisis atau enggak, sekalian aja kasih santunan. Selesai, kan?

****

Nisrina Nadhifah. Dibesarkan ibu tunggal sejak usia 2 tahun.

Seperti apa cerita keluargamu?

Setelah cerai, ibu gue kesulitan cukup lama karena dia sebelumnya juga sudah pernah berumah tangga dan juga berakhir cerai. Baik mantan suaminya maupun ayah gue adalah pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sejak cerai, gue dan kakak tinggal sama ibu, sementara bokap entah di mana. Beberapa tahun kemudian, gue dapat kabar bahwa bokap meninggal.

Sejak menikah dengan bokap, nyokap nggak bekerja. Jadi, waktu itu kami hidup dari uang pensiun nenek gue. Itulah kenapa sejak umur 4-5 tahun, gue mulai ikut lenong, teater, dan lomba-lomba yang hadiahnya mulai dari pampers sampai buku. Semua buat bisa nyambung kehidupan.

Apa hal terberat yang dialami saat tumbuh dengan ibu tunggal?

Stigma soal janda, ledekan dari tetangga dan keluarga besar, dan tekanan sosial yang mengkonstruksikan bahwa orang tua itu harus terdiri dari ibu dan ayah. Tapi yang terberat adalah gue dan ibu sama-sama berusaha pulih dari trauma yang disebabkan oleh ayah gue sendiri. Bahkan sampai sekarang kami masih mencari strategi untuk memulihkan diri.

Apa pendapatmu soal RUU Ketahanan Keluarga?

RUU ini sangat bias. Nggak hanya bias agama dan norma, tapi juga bias kelas dan nggak sensitif terhadap konteks yang dihadapi oleh aneka keluarga dan kondisi sosialnya.

Ketika keluarga tidak “lengkap” atau orang tua banyak menghabiskan waktu di luar, gue rasa itu bukan hal yang diinginkan. Kalau keluarga menengah ke bawah nggak menghabiskan waktu banyak di luar untuk kerja, ya nggak hidup. Apakah iya disebut sebagai krisis keluarga?

Realita yang dihadapi orang tua tunggal sangat beragam. Ada faktor kelas sosial di sana, faktor pendidikan, geografi, bahkan keberagaman seksual. Teman gue anak seorang transgender–pasti realita kehidupannya beda dengan yang lain. Jadi memukul rata bahwa ada sekian karakteristik keluarga yang pasti krisis menurut gue judgmental banget. RUU ini sejak awal nggak menempatkan keluarga dan orang-orang di dalamnya sebagai manusia yang memiliki martabat.

Selain pasal 77, ada juga pasal 75 yang ribut soal keluarga yang mengalami krisis akibat kekurangan ekonomi.

Pasal ini masih belum cukup mewakili realita keluarga Indonesia. Keluarga nggak cuma mengalami krisis ekonomi ketika kena PHK atau bangkrut. Bagaimana dengan kondisi mental breakdown, atau kebutuhan khusus setelah terjadi trauma? Bagaimana dengan kebutuhan khusus lain?

Spesifik soal ibu tunggal, hambatan terbesar adalah melawan stigma yang beredar luas akibat budaya patriarki. Dan orang-orang yang melanggengkan stigma tersebut juga bekerja di pemerintahan dan sektor pelayanan publik.

Buat gue, RUU ini sama sekali tidak dibutuhkan. Kalau negara memang mau serius peduli soal kehidupan warga negaranya, tidak perlu melalui RUU yang bias dan tidak sensitif terhadap gender dan keberagaman. Peran negara jelas: menghormati dan melindungi hak kami. Fokus saja ke sana.

****

Mila (bukan nama sebenarnya), dibesarkan ibu tunggal dan adiknya juga seorang ibu tunggal.

Seperti apa cerita keluargamu?

Waktu SD, bokap nikah lagi terus mulai KDRT di rumah, sampai akhirnya dia suka ambilin barang-barang dari rumah buat istri mudanya, mulai banyak hutang ke bank, dan dikejar-kejar rentenir. Maka diusir lah dia dari rumah dan nyokap ngurusin gue dan adik gue sendiri. Dia jadi ibu tunggal sejak gue SMP.

Apa hal paling berat yang dihadapi keluarga dengan orang tua tunggal?

Kalau ngelihat nyokap, gue rasa dia terbebani banget karena harus menanggung semuanya sendirian. Gue yakin dia capek banget kerja kayak orang gila begitu dan nggak punya teman buat cerita. Dia susah ketemu sama anaknya, dan jam kerja panjang bikin dia nggak akrab sama anak-anaknya. Selain itu, keluarga dan tetangga nggak bisa jadi support system. Mereka malah sibuk nanyain bokap ke mana dan nyalahin nyokap karena nggak bisa menjaga keluarga.

Mungkin stigma itu terkait dengan trauma. Selama bertahun-tahun, gue mikir kalau gue biasa saja menyaksikan KDRT di rumah atau kena stigma. Ada trauma juga karena pas gue kecil, gue sering kebangun tengah malam dan mendapati nyokap nangis sendirian. Tapi karena gue masih bocah, gue nggak ngerti mesti ngapain. Ternyata, itu ngaruh ke kondisi mental gue dan adik gue sampai dewasa.

Relasi dengan orang tua juga sering berantakan karena gue punya masalah kepercayaan dan komitmen. Sekarang sih sudah rutin terapi dan minum obat, dan lumayan ngebantu gue bangun hubungan sama nyokap. Termasuk gue bisa mendukung adik gue yang juga jadi ibu tunggal supaya nggak bikin trauma baru ke anaknya. Saat ngomongin orang tua tunggal, orang suka lupa ngomongin ongkos trauma yang kebawa sampai dewasa.

Apa pendapatmu soal RUU Ketahanan Keluarga yang demen sekali bicarain krisis keluarga?

Ini mah masalah krisis ekonomi, bukan krisis keluarga. Alangkah baiknya kalau pemerintah terlebih dahulu membereskan persoalan krisis ekonomi yang merugikan kelas pekerja sampai mereka harus kerja dengan jam sangat panjang dan mendorong perlindungan buat perempuan. Banyak perempuan korban KDRT–kayak nyokap–memutuskan buat jadi orang tua tunggal saja ketimbang bertahan di rumah tangga yang penuh kekerasan.

Mungkin contoh paling keliatannya adalah adik gue yang ibu tunggal juga. Anaknya umur 2 tahun dan harus dititipkan ke daycare tiap dia kerja karena nyokap gue sudah terlalu tua buat ngurus cucu. Dulu adek gue sempat freelance biar bisa sambil ngurusin anak, tapi ternyata duitnya nggak cukup. Jadi dia sekarang balik kerja di agensi dengan jam kerja super panjang biar bisa biayain keponakan gue yang udah mau sekolah.

Bagaimana negara semestinya membantu orang kayak Ibumu dan adikmu?

Day care gratis dan berkualitas buat ibu tunggal pekerja! Subsidi sekolah murah buat si anak dan akses kerja yang tidak diskriminatif. Penting juga dorong berbagai kebijakan lain yang mendukung perempuan.

Adek gue masih punya privilege buat bisa akses daycare dengan gaji dia. Gimana coba dengan buruh-buruh perempuan korban KDRT dengan gaji UMR, jam lembur panjang, dan anak-anak yang juga butuh pendidikan domestik, pendidikan baik, dan lain-lainnya?

****

Anastasia Rima, ibu tunggal untuk dua anak. Alias ibu saya sendiri.

Ma, apa sih hal paling berat yang dihadapi ibu tunggal?

Secara struktural, segala macam penghidupan di Indonesia belum ramah untuk orang tua tunggal. Urusan sekolah, misalnya. Salah satu orang tua harus hadir secara fisik. Jadi Mama harus muter-muter dan hadir secara langsung. Artinya Mama nggak bekerja dan pendapatan berkurang.

Hal yang sama juga terjadi waktu Mama cari rumah, kontrakan, dan segala yang kecil untuk sehari-hari. Semua struktur dirancang untuk keluarga dengan dua orang tua, keluarga yang “lengkap”. Keluarga tunggal dianggap cacat, dan kamu lihat sendiri gimana cara masyarakat kita memperlakukan penyandang disabilitas. Ada masalah dengan Mama, jadi Mama harus diperbaiki. Anaknya harus diamankan, atau orang tuanya harus segera dicarikan pasangannya.

Padahal, ada kalanya orang memilih menjadi orang tua tunggal. Dan itu pilihan yang sama terhormatnya dengan memilih untuk berada di dalam pernikahan.

Apa pendapat Mama soal Pasal 77?

Setahu Mama sudah ada Perda yang mewajibkan ada daycare setiap gedung perkantoran. Tapi ya belum terjadi. Daycare yang beneran ya, bukan yang anaknya asal ditaruh terus nggak diapa-apain. Karena misalnya perjalanan Mama dari rumah ke kantor dua jam, agak susah merespon kalau terjadi apa-apa di rumah. Dan Mama nggak bisa konsentrasi di pekerjaan, kan.

Sebenarnya ada bagusnya juga bila salah satu orang tua memilih untuk tinggal di rumah dan fokus mengurus rumah tangga. Tapi konsekuensinya, negara wajib menggaji orang tua itu atas perannya mengasuh anak. Memangnya kalau cuma salah satu pihak yang bekerja, apakah pemasukannya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak?

Negara nggak usah mengambil alih urusan pribadi. Kalian cukup mengurusi apa yang sudah jadi kewajiban sejak awal. Kalian harus membiayai. Kau boleh ngatur-atur kita, tapi kau harus ambil konsekuensinya. Esensi dari ketahanan keluarga kan perlindungan anak. Saat kau melindungi hak anak, hak orang tua harus terpelihara dulu. Orang tua yang tak terurusi haknya nggak mungkin berpikir tentang hak anak.

Daycare juga seharusnya gratis, negara yang membiayai. Kenapa? Karena jika kedua orang tuanya harus bekerja, artinya negara belum mampu memastikan masyarakatnya hidup layak. Misalkan kesehatan dan pendidikan gratis, dan perumahan disediakan murah, memangnya kedua orang tua mau kerja? Enggak lah. Mending ngurus anak.

Terus terakhir, Mama enggak setuju kalau orang tua yang harus tinggal di rumah itu harus Ibu. Kalau seorang Bapak memilih jadi bapak rumah tangga, boleh dong?

Eh, itu ada di Pasal 25, Ma. Peranan suami-istri terpisah jelas. Suami bertugas menafkahi keluarga “sesuai dengan kemampuannya”.

Hah, pelajaran tahun berapa itu? Ketinggalan zaman banget.

Kalau cuma “sesuai kemampuan”, itu sama saja dengan aturan yang sudah ada buat pasangan yang bercerai. Salah satu pihak harus menafkahi sesuai kemampuannya. Itu perlindungan buat laki-laki, bukan buat anak. Kalau lakinya cuma mampu bayar Rp 5 juta, sementara kebutuhan hidup Rp 10 juta, terus istrinya nggak boleh kerja, yang terlantar siapa? Anaknya.

Jadi, menurut Mama RUU ini kebablasan?

Menurut Mama, seharusnya RUU ini hadir buat bantu keluarga tunggal lebih dahulu karena mereka yang punya kebutuhan paling genting. Kalau kami saja terpenuhi, apalagi keluarga yang “komplit”?

Kalau bicara ketahanan keluarga, harusnya dimulai sebelum mereka jadi keluarga. Ini kursus pra-nikah baru diusulkan saja sudah pada ribut semua, padahal memang itu perlu banget. Kamu harus bersiap untuk jadi orang tua. Bukannya pas sudah jadi keluarga malah diatur-atur, sudah telat itu. Setelah jadi keluarga, yang harusnya dipikirkan adalah support system-nya. Kalau dia harus bekerja, gimana? Kalau dia tidak bekerja, gimana?

Share: RUU Ketahanan Keluarga Melupakan Nasib Orang Tua Tunggal. Kami Tidak.