Isu Terkini

Pemerintah akan Melarang Praktik BDSM. Iya, Serius.

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Praktik BDSM bakal dilarang di Indonesia. Bila seseorang terpergok melakukan perbuatan antik tersebut, ia akan diciduk dan dikirim ke panti rehabilitasi. Iya, BDSM, kayak yang kamu lihat di film 50 Shades of Grey.

Mungkin kamu bingung, dan sama, kami juga kok. Ceritanya begini: beberapa hari lalu, draft RUU Ketahanan Keluarga bocor ke media sosial. Fakta bahwa RUU tersebut ada saja sudah mengundang protes (nanti kami ceritakan kenapa), tetapi ada beberapa pasase dalam bocoran RUU tersebut yang bikin pengar kepala banyak orang.

RUU tersebut terang-terangan memberi mandat kepada negara untuk turut campur dalam situasi “krisis keluarga”. Pada pasal 85, misalnya, dinyatakan bahwa sebuah badan atau lembaga rehabilitasi yang diberi kewenangan wajib menangani krisis keluarga akibat tindak “penyimpangan seksual”. Penanganan tersebut dilakukan dalam bentuk rehabilitasi sosial, psikologis, medis, atau bimbingan rohani.

Pasal 86 dan 87 lanjut menjabarkan bahwa setiap individu yang melakukan penyimpangan seksual atau keluarga yang anggotanya melakukan penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada lembaga-lembaga rehabilitasi tersebut. Dan bila seseorang ketahuan melakukan “penyimpangan seksual”, menurut Pasal 138 ia dapat dicabut hak asuh anaknya untuk sementara waktu atau selamanya.

Bukan itu klimaksnya. Baca lebih jauh dan cari penjelasan untuk Pasal 85. Diterangkan bahwa tindakan yang dikategorikan sebagai “penyimpangan seksual” adalah “homosex”, “lesbian”, “incest”, serta–ini bagian paling mantap–sadisme dan “masochisme”. Gagah mempesona.

Mari kita telusuri riwayat gagasan cemerlang ini. Menurut situs resmi DPR, RUU Ketahanan Keluarga termasuk dalam Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020-2024. Kini RUU tersebut masih dalam tahapan Penyusunan. Ia telah melewati tahapan Usulan Komisi, dan tengah mendekam di tahapan Harmonisasi. Rapat Baleg dalam rangka Harmonisasi yang terakhir tercatat dilakukan pada 13 Februari 2020. Bila semua lancar, ia akan lolos ke tahap Pembahasan dan kian mulus jalannya untuk terwujud.

Pada rapat internal untuk membahas Prolegnas 2020-2024, RUU ini diusulkan masuk Prolegnas oleh Sodik Mudjahid (fraksi Gerindra, dapil Jawa Barat I), Ledia Hanifah (fraksi PKS, dapil Jawa Barat I), dan Netty Prasetiyani (fraksi PKS, dapil Jawa Barat VIII). Menurut situs resmi DPR, RUU ini didorong oleh wakil rakyat dari fraksi PAN, Gerindra, dan PKS.

Menurut Ledia Hanifah, RUU ini perlu sebab pembangunan manusia haruslah dimulai dari keluarga. “Kita tahu ada banyak persoalan-persoalan yang harusnya bisa diselesaikan dengan pendekatan keluarga,” kata Ledia. Padahal, pembahasan soal keluarga di UU no. 52 tahun 2009 tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga saja kurang komprehensif.

Wacana tentang RUU ini juga pernah dilobi secara serius oleh perwakilan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pada 2017, misalnya, Wakil Ketua DPD RI Prof. Dr. Darmayanti Lubis menyatakan bahwa RUU ini penting untuk memastikan “peran perempuan dan anak dalam pembangunan di daerah dapat lebih maksimal.” Dalam acara penyusunan naskah akademik RUU ini, perwakilan Kementerian Sosial pun menyatakan bahwa RUU ini perlu “agar tidak ada lagi anak-anak Indonesia menjadi korban dari retaknya hubungan keluarga yang menimbulkan depresi dan memudarnya hubungan pertetanggaan.”

Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) bahkan memiliki saran yang lebih asyik. Wakil Ketua Wantim MUI, KH. Didin Hafidhuddin, mengusulkan agar RUU Ketahanan Keluarga maju untuk menggantikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Pasalnya, RUU Ketahanan Keluarga lebih luas cakupannya ketimbang RUU PKS, dan masyarakat Indonesia “lebih membutuhkan UU Ketahanan Keluarga ketimbang UU PKS”.

Oke, tapi… Kenapa harus bawa-bawa S&M?

Begini, deh. Kami tak punya waktu untuk mengulang-ulang penjelasan mengapa “homosex”, lesbian, dan incest tak sepatutnya diletakkan dalam kategori yang sama. Kami cuma bisa meninggalkan tautan ini, serta fakta bahwa draft RUU tersebut agaknya tidak paham perbedaan definisi homoseksualitas, lesbian, dan gay. Sekarang, mari kita bicara tentang sadisme dan masokisme.

Pada RUU Ketahanan Keluarga, “sadisme” dimaknai sebagai cara seseorang mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya. Adapun “masochisme” sebaliknya, seseorang yang mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya. Terlepas dari asumsi bahwa tindakan semacam itu hanya bisa dilakukan oleh lawan jenis, sebetulnya definisi RUU tersebut tidak ngawur-ngawur amat.

BDSM adalah istilah payung untuk serangkaian aktivitas seksual seperti Bondage, Discipline, Dominance, Submission, Sadism, dan Masochism. Tentu saja, kunci dari perkara ini adalah bahwa semuanya dilakukan secara konsensual dan memberikan rasa gembira kepada pelakunya. Meski erat dengan aktivitas seksual, praktik BDSM tidak mesti terwujud di ranjang (atau rubanah). Ia juga bisa mewujud sebagai permainan mental yang menarik dan seru.

Tapi, buat apa repot buka-buka tautan dan naskah akademik kalau kamu bisa bertanya langsung pada praktisinya? Kami mengobrol dengan empat orang atlet BDSM, dan menanyakan pengalaman mereka dalam dunia perpecutan. Serta, tentu saja, apa rencana mereka bila hobi menggiurkan ini mendadak diurusi secara serius oleh negara.

Peringatan: semua nama disamarkan, dan cerita-cerita mereka NSFW. Ya iyalah.

****

Harto, 29 tahun. Laki-laki. Pekerja kreatif.

Piye kabare, Pak?

He he he.

Boleh tahu apa preferensi bapak dalam bermain BDSM?

Wah. Kalau buat saya sih hidup itu pendek, jadi, apa pun yang nggak membuat hidup saya terasa lebih pendek akan saya eksplorasi. Termasuk dalam BDSM.

Amor fati sekali ya bapak ini. Tapi kenapa Bapak memutuskan untuk menjajal BDSM?

Pertama sih tertarik setelah menyadari bahwa saya lumayan suka rasa sakit, dan ternyata seru juga ketika diaplikasikan dalam konteks seksual. Tapi, kayaknya orang-orang banyak yang salah paham ketika beranggapan bahwa aplikasinya cuma buat hal-hal ekstrem doang dan mesti pakai alat-alat heboh. Padahal kita juga bisa pakai alat-alat yang sudah ada di tubuh kita: jemari, gigi, lengan, apapun bisa dipakai.

Apa pendapat Pak Harto terhadap orang yang merasa BDSM itu sakit, tidak normal, atau menyimpang?

Satu, ketahuan mainnya kurang jauh. Kedua, di bawah kapitalisme, siapa sih yang nggak sakit?

Eh, Pak Harto, sudah lihat draft RUU Ketahanan Keluarga yang bocor itu belum? Menurut Bapak gimana?

Tolol, regresif, dungu, dan kurang kerjaan. Uang pajak saya dipakai buat bikin RUU Orba kayak begini, nih?

Atau mungkin, RUU Ketahanan Keluarga ini bagian dari taktik yang sama kayak yang dipakai pemerintah kemarin-kemarin. Banjiri saja linimasa dengan informasi akan RUU-RUU dungu supaya energi kita terpecah, dan bikin organisir aksi langsung jadi susah banget. Selain ini juga masih ada RUU Cilaka, lho. Jangan sampai lengah, kawan-kawan.

*Menyanyikan lagu Darah Juang*

*Ikut menyanyikan lagu Darah Juang*

Terakhir nih, Pak. Sebagai praktisi BDSM, apa pesan Bapak untuk negara yang ingin mengatur-atur praktik tersebut?

Kalian bubar aja deh.

****

Boni, 24 tahun. Perempuan. Aktivis.

Jadi, apa saja kegiatan BDSM yang kamu sukai?

Wah, tergantung situasi dan siapa yang terlibat. Ada aktivitas seksual yang vanilla/konvensional dan hanya dilakukan dengan pacar, ada juga aktivitas seksual yang non-konvensional dan tidak dilakukan dengan pacar. Yaitu dengan slave/budak, dengan catatan tidak terjadi hubungan seksual dan semuanya sesuai kesepakatan bersama.

Tapi bisa juga kalau saya dan pacar sedang jenuh dengan vanilla sex, kami melakukan varian lain ketika sedang melakukan aktivitas seksual, tentu saja sesuai perjanjian kedua belah pihak: misalnya spanking, breath play dengan limit tertentu, choking, tarik rambut yang kencang ketika doggy, atau sesekali bermain peran dan menggunakan kostum.

Beda cerita ketika dengan slave/budak, konsensus dilakukan setelah adanya hitam di atas putih. Kami menentukan batasan dari setiap scene yang mau dilakukan. Contoh ada slave yang menyukai ball busting (menendang penis), saya sebagai dominan harus tanya dulu batasan ball busting-nya segimana, karena toleransi sakit tiap orang berbeda. Lalu ada golden shower, di mana seorang slave akan terangsan ketika saya-sebagai dominatrix-nya kencing ke mulut dia, tentu saja tanpa menyentuh sama sekali kulit/badannya.

Atau ada juga budak yang aroused ketika foot worship alias pijitin dan jilatin kaki saya. Tergantung kesepakatan. Ada di BDSM namanya Limp Play, slave bisa disuruh pura-pura mati/pingsan dan “diperkosa” oleh Master/Mistress-nya, tapi itu hard limit saya dan saya tidak suka juga. Preferensi tiap orang pasti berbeda, tapi tentu saja semuanya harus dilakukan dengan kesepakatan bersama. Ini penting. Saya sendiri hanya berhubungan seks dengan pacar.

Astaga itu informasi yang banyak sekali. Dari mana awalnya dirimu tertarik mengulik perkara beginian?

Awalnya, bidang studi yang saya tekuni memang isu gender dan seksualitas. Dari situ saya menemukan berbagai varian relasi romantik dan seksual yang menarik. Baru dari situlah saya bertemu dengan istilah “kink” dan “fetish”, dan mulai paham bahwa ada tindakan non-konvensional yang dapat dilakukan asal dengan bertanggungjawab. Toh, seks tujuannya bukan cuma untuk reproduksi.

Saya ingin tahu kenapa banyak orang punya fetish tertentu, tapi tidak berhasil disalurkan secara bertanggungjawab. Apalagi, hal ini erat sekali dengan perilaku manusia secara keseluruhan. Saya pernah bertemu slave yang mengaku bisa jadi budak dan saya suruh-suruh, padahal di lingkungan kampusnya ia jadi figur laki-laki pemimpin yang selalu ambil keputusan. Menarik, kan?

Seru! Tapi, kilas balik dulu, deh. Kamu dan slave kamu bahkan sampai bikin kontrak untuk menyepakati apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak. Semua itu terdengar… aman. Malah cenderung lebih saling menghormati daripada hubungan yang katanya biasa-biasa saja.

Lha iya. Banyak yang tidak bisa membedakan kekerasan seksual dengan BDSM. Padahal keduanya sangat beda. Kalau orang sudah paham konsep kesepakatan bersama, seks konvensional maupun non-konvensional sama-sama aman. Yang bermasalah adalah karena pendidikan seks kita butut, kita tidak dibiasakan untuk berkomunikasi secara jelas dan gamblang soal kebutuhan dan batasan kita. Sebagai perempuan, saya pun merasa perempuan kadang tidak sadar soal hak-haknya sendiri, dan malah jadi asal menurut pada pasangannya.

Seks dalam bentuk apapun, apalagi BDSM, hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa yang paham soal konsensus dan sudah dapat pendidikan seks mendasar–ngerti cara jaga kebersihan, tahu harus ngapain kalau terjadi kehamilan tidak diinginkan, dan lain sebagainya. Itu life skills mendasar yang bahkan belum dipenuhi oleh negara. Eh, sekarang malah ujug-ujug ngatur sadomasokis.

Terus, apa tanggapan kamu pas tahu soal draft RUU tersebut?

Elus-elus dada sambil mengumpat!

Bias banget aturannya. Boro-boro ngomongin pengarusutamaan gender, pendidikan seksualitas yang komprehensif saja nggak jalan sejak dulu. Susah buat optimistis sama negara. Dosen saya dulu pernah dibatalkan kontraknya dari Pemkot yang mau bikin program emansipasi perempuan di desa sama dia. Tahu alasannya?

Kenapa?

Karena dosen saya mau ada banyak materi khusus tentang gender. Pemkot malah keluarin dia dan bikin program emansipasi perempuan sendiri, tapi programnya disuruh belajar masak dan belajar pakai make up! Gini deh, belajar masak dan make-up itu nggak masalah. Tapi kalau nggak diimbangi dengan materi soal kesetaraan gender, kami nggak akan tahu bahwa hal-hal itu adalah pilihan, bukan kodrat.

Menurut kamu RUU tersebut harus dipertahankan, direvisi, atau dihapus?

Kalau mengacu pada draft-nya yang bocor, RUU itu absurd dan harus ditolak. Lagian, gimana caranya bikin panti rehabilitasi? Apa nggak takut orang yang ke sana malah jadi makin stres? Haduh, emosi aku.

—-

Consuela Lopez del Torre Caliente Sotomayor. Perempuan. 21 tahun. Social Media Officer.

Hola, Señora Sotomayor. Boleh tahu gimana Anda pertama mengenal dunia gurem BDSM?

Aku pertama kali mengenal BDSM itu dari film, sih. Semua orang pasti tahu lah ya, 50 Shades of Grey. Kalau nggak salah film itu rilis pas aku SMA. Pas nonton, aku kayak, “Dih, gila kali ya”. Karena menurutku apa enaknya berhubungan intim tapi sambil disakitin? Sampai akhirnya tahun 2018 aku pertama kalinya menjalani hubungan FWB (Friends with Benefits alias lagunya Ratu itu lho). Usiaku 20 tahun dan pasanganku 27 tahun.

Aku ngobrol banyak sama dia tentang pengalamannya BDSM sama partner-partner sebelumnya. Diikat lah, disuruh jinjit dan kalau jatuh disabet (ini ngeri banget, jujur saja, tapi bikin penasaran). Akhirnya semuanya dipraktikkan sama aku. Awalnya nggak langsung ke yang ngeri-ngeri. Mulai dari yang gampang dulu kayak dibentak-bentak, rambutku ditarik-tarik, lanjut pipiku digampar, lalu pentilku dipelintir.

Eh, ternyata seru juga ya. Tidak sesakit dan sengeri yang dibayangkan.

Perkakas apa saja yang biasa Anda pergunakan dalam tindakan-tindakan amoral ini, Señora?

Aduh, aku nggak pernah pakai alat aneh-aneh karena aku takut kenapa-napa. Mendingan pakai tangan kosong saja!

Pernahkah ketemu orang yang merasa BDSM itu abnormal?

Haduh, diemin aja sih. Males juga jelasinnya. Tingkat kepuasan tiap orang itu berbeda-beda, jadi nggak ada yang sakit dan nggak normal. Selagi mereka melakukan hal tersebut dengan kesepakatan bersama dan tidak meresahkan ya harusnya nggak perlu dimacam-macamin. Itu kan hak mereka.

Jadi, Señora tidak sepakat dengan RUU Ketahanan Keluarga?

Haduh, ikut campur amat sih. Di rumah kurang kelon ya kalian? Mending yang direhab koruptor aja tuh biar sembuh dari penyakit suka nilep kembalian beli sayur. Sudahlah, nggak usah ikut campur sama urusan pribadi orang kalau kalian sendiri masih suka pelihara gundik!

Sutinem binti Pariyah binti Boutros-Boutros Ghali, 25 tahun. Perempuan. Pekerja kreatif.

Saudara Sutinem, apa preferensi BDSM sampeyan?

Aku suka jadi submisif. Kami harus mendengarkan perintah dari partner kami yang memainkan peranan dominan, dan perintah itu bisa jadi perintah fisik, psikologis, emosional, atau mental. Kadang aku pernah cobain jadi dom dan ternyata lumayan seru, tapi aku pribadi nggak terlalu suka. Lebih enak begini.

Dari mana sampeyan pertama tahu soal praktik ini?

Kayaknya pas kuliah, deh. Ada beberapa temanku yang demen BDSM dan punya “komunitas” sendiri. Mereka suka ada acara kumpul-kumpul atau event khusus gitu, tapi aku pribadi nggak pernah ikutan. Aku cuma melakukannya secara pribadi bersama orang yang kebetulan jadi pasanganku. Sama kayak subkultur mana pun, BDSM itu macam-macam praktik dan ekspresinya.

Buatku, BDSM itu bukan cuma soal seks. Tapi ini bentuk ekspresi diri. Esensi dari BDSM buatku adalah kepercayaan, kedekatan, eksplorasi diri dan pasanganmu, dan menurutku BDSM bahkan bisa jadi tindakan yang penuh cinta. Gini deh: kalian saling mempercayai dengan sepenuhnya. Itu berat, lho.

Lah, romantis juga ya.

Iya. Banyak yang mikir BDSM itu kelam dan penuh kekerasan. Ya emang sih, sebagian dari BDSM itu kekerasan, tapi kebanyakan itu soal intimacy. Kalian saling mempercayai. Kalian membiarkan satu sama lain melakukan ini itu. Dan ada batasan, kamu nggak boleh seenaknya juga.

Ada beberapa tips mendasar buat yang mau menjajal BDSM…

Tips apa itu, Mbak?

Sebelum memulai sesi BDSM, kamu dan pasanganmu harus duduk dan ngobrol dulu. Kalian mau melakukan apa dengan satu sama lain? Apa yang kalian sukai atau tidak disukai? Apa batasan kalian masing-masing? Terakhir, semua orang perlu safe word atau kata aman.

Misalnya gini: safe words aku itu hijau, kuning, dan merah. Pas lagi main, secara berkala pasanganku pasti akan bertanya apakah aku baik-baik saja. Kalau aku bilang “hijau”, artinya aku menikmati. Kalau aku bilang “kuning”, artinya aku masih senang tapi udah agak takut, jadi dia harus hati-hati. Kalau aku bilang “merah”, berarti apa yang dia lakukan sudah berlebihan. Suka nggak suka, dia harus langsung berhenti.

Orang yang melakukan BDSM secara baik dan benar pasti tahu soal semua ini. Konsep safe word itu hal pertama yang dipelajari oleh kader-kader BDSM. Nah, inilah marwahnya, Bung. BDSM itu pertukaran kepercayaan dan kedekatan. Boleh dibilang, dinamika BDSM itu kayak dinamika orang pacaran. Saya mempercayai kamu untuk melakukan hal ini sembari tetap menghormati saya dan batasan saya.

Terus, apa pendapatmu soal wacana RUU Ketahanan Keluarga?

Aku nggak paham kenapa ini masuk kategori penyimpangan seksual. Soalnya semua yang kami lakukan itu konsensual. Selama konsensual, harusnya itu bukan urusan negara.

Kayaknya yang kita butuhkan itu pendidikan seks yang oke. Semua orang harus diajarin apa itu konsensus. Nah, kalau ada praktik seksual yang nggak konsensual, barulah negara berhak intervensi. Dan itu nggak cuma di konteks seks, kan? Konsensus itu mendasari setiap bagian hidup kita. Kita harus melindungi konsensus, bukan malah mengkriminalisasi orang yang melakukan sesuatu secara konsensual.

Share: Pemerintah akan Melarang Praktik BDSM. Iya, Serius.