Keuangan

Rencana Tarif PPN Naik Jadi 12%, Daya Beli Dikhawatirkan Melemah

Ilham — Asumsi.co

featured image
Pixabay/Stevepb

Pemerintah
berencana menaikkan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menjadi 12 persen dari
tarif yang berlaku saat ini 10 persen. Rencana ini dituangkan dalam draf
Rancangan Undang-Undang perubahan kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU Perpajakan). 

Melansir CNBC, perubahan tentang tarif pajak itu
termaktub di Pasal 7 ayat 1 dalam draf RUU. Di Pasal tersebut dituliskan bahwa
tarif pajak pertambahan nilai sebesar 12 persen.

Rencana
menaikkan PPN tersebut sebenarnya sudah ingin dilakukan oleh Kementerian
Keuangan, yang dipimpin oleh Sri Mulyani Indrawati, sebagai langkah reformasi
perpajakan dalam hal penerimaan negara. Dengan target pencapaian penerimaan
negara Rp 1.626 triliun hingga Rp 1.720 triliun di tahun 2023, reformasi
perpajakan dianggap diperlukan. Salah satunya adalah dengan merevisi UU
Perpajakan. 

Baca juga: Korsel Bakal Pajaki Transaksi Uang Kripto 20 Persen,
Indonesia Masih Mengkaji | Asumsi

Melansir Kata Data, ada empat hal yang dibahas dalam
reformasi perpajakan, yaitu perluasan basis pajak, keadilan dan kesetaraan,
peningkatan kepatuhan wajib pajak, dan penguatan administrasi perpajakan.

Perluasan
basis pajak mencakup pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) multi tarif,
penunjukkan pihak lain untuk memungut pajak penghasilan (PPh), PPN, dan pajak
transaksi elektronik (PTE), hingga pengenaan pajak karbon atau
lingkungan. 

Adapun
yang sedang diperbarui, menurut Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF
Kemenkeu Hidayat Amir, terkait revisi rancangan undang-undang hingga
tax amnesty.

“Kita
perbarui revisi rancangan undang-undang. KUP, PPN, PPh sejak 2015, terus ada
gagasan tax amnesty dijalankan, tax amnesty-nya mau dijalankan
lagi ketemu Covid-19. Reformasi pajak kontinuitas dari reform-reform sebelumnya,”
katanya dilansir 
CNBC.

Ganggu
Pemulihan Ekonomi

Namun
demikian, rencana kenaikan PPN men
jadi 12 persen yang akan dilakukan
pemerintah, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima
Yudistira, justru bisa mengganggu proses pemulihan ekonomi yang dilakukan
selama pandemi Covid-19. Salah satu efek dari kenaikan tarif adalah terpukulnya
daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.

Ia
mengkhawatirkan terjadi inflasi tinggi akibat menurunnya daya beli masyarakat,
dan di sisi lain, tidak adanya kenaikan pendapatan.

“Karena
PPN ini berlaku untuk semua masyarakat. Artinya juga, (perekonomian) akan
mengalami inflasi yang tinggi. Inflasi karena (kenaikan tarif) PPN, tapi tidak
diimbangi kenaikan pendapatan masyarakat. Itu yang dikhawatirkan,” katanya
saat dihubungi Asumsi.co,
Selasa (8/6/2021).

Baca juga: Pajak Untuk Konglomerat Naik 5%, Pengamat: Masih
Terlalu Kecil | Asumsi

Ditambah
lagi, katanya, pendapatan negara dari pajak bisa menurun. Hal ini karena
masyarakat akan mengurangi konsumsi barang akibat dari harga yang tinggi. 

“Konsumsi
juga berkaitan dengan pajak-pajak lainnya. Begitu juga dengan industri, akan
menyesuaikan output produksinya.
Barang-barang yang dijual akan turun menyesuaikan dengan penurunan di sisi
permintaan,” katanya.

Penerimaan
Pajak Menurun

Selain
ganggu pemulihan ekonomi, kenaikan PPN juga dinilai bisa berdampak kepada
menurunnya penerimaan pajak. Ini dikarenakan menurunnya konsumsi dan hasil
produksi industri akibat penyesuaian kenaikan tarif PPN.

“Efeknya penerimaan pajak bukannya akan naik, tapi menurun. Seperti kontribusi
penerimaan pajak dari konsumsi dan industri justru mengalami penurunan. Jangan
sampai seakan masuk kantong kiri, keluar kantong kanan. Dikhawatirkan ketika
ada pengenaan PPN lebih tinggi, kepatuhan pajak menurun. Ditambah lagi, ada
celah barang-barang ilegal tanpa PPN justru meningkat, karena masyarakat
mencari alternatif yang lebih murah,” katanya.

Menurut
Bhima, negara-negara, seperti Jerman, Inggris, dan Irlandia menurunkan
kebijakan PPN di tengah pandemi. Indonesia dinilainya justru berbeda
dibandingkan negara-negara tersebut.

Ia
menilai, penurunan tarif PPN selama pandemi dianggap efektif mempercepat
pemulihan daya beli dan konsumsi rumah tangga. 

Baca juga: Polisi yang Buka Blokiran Rekening Gayus Jadi
Komisaris Jasa Marga | Asumsi

“Pemerintah
seharusnya mengkaji secara dalam. Ketimbang insentif penurunan PP
h badan dan PPnBM mobil, lebih
efektif menurunkan tarif PPN, bukan malah menaikkannya,” ujar dia.

Diskon
PPN

Bhima
menyarankan cara lain untuk mendapatkan penerimaan pajak. Misalnya pajak emisi
karbon, pajak warisan yang lebih tinggi, pajak aset orang kaya, dan peningkatan
penyidikan pemeriksaan pajak. 

“Jadi
banyak alternatif lain. Jangan masuk ke PPN karena akan blunder ke pemulihan
ekonomi. Mungkin ekonomi kita akan tumbuh 7 persen di kuartal kedua. Namun,
pada tahun 2022 malah di bawah,” katanya.

Ia
mengambil contoh negara-negara yang sudah melakukan diskon PPN, seperti
Inggris, Irlandia, dan Jerman. Menurutnya, penurunan PPN
yang
dilakukan oleh negara-negara itu adalah
untuk mendongkrak konsumsi selama pandemi. 

“Setidaknya
kalau pemerintah ingin melakukan pemulihan lebih cepat, maka harus dilakukan
diskon PPN,” kata lulusan Master in Finance dari Universitas Bradford,
Inggris, ini.

Dihubungi
terpisah, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus
Prastowo mengatakan bahwa kenaikan kenaikan tarif PPN tidak akan dilakukan
dalam waktu dekat. 

“Ini
dikarenakan penarikan pajak secara agresif dinilai kurang tepat dilakukan di
tengah proses pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19. Serta stimulus
insentif usaha perpajakan pun masih terus berlanjut,” katanya.

Share: Rencana Tarif PPN Naik Jadi 12%, Daya Beli Dikhawatirkan Melemah