Jepang akan membuang sekitar 1,23 satu juta ton air terkontaminasi, dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima yang tidak berfungsi lagi ke laut. Rencana ini, memicu kekhawatiran dari negara-negara lain.
Dari Mana Asal Air Terkontaminasi Itu?
Dilansir dari BBC, air terkontaminasi ini bermula saat reaktor-reaktor di pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima hancur akibat ledakan hidrogen menyusul gempa bumi dan tsunami pada 2011.
Tsunami lalu merusak sistem pendingin reaktor. Tiga di antaranya bahkan meleleh. “Untuk mendinginkan reaktor-reaktor yang meleleh, digunakan lebih dari satu juta ton air,” demikian bunyi laporan BBC.
Saat ini, air radioaktif diolah dalam proses penyaringan yang kompleks yang menghilangkan unsur-unsur kandungan kimia tersebut.
Meski demikian, tetap saja terdapat radioaktif yang terkandung dalam air. Unsur-unsur yang tertinggal di antaranya adalah tritium yang dianggap berbahaya bagi manusia jika dalam dosis besar.
“Air itu lantas disimpan di tangki besar, tetapi operator PLTN Fukushima, yakni Tokyo Electric Power Co. (TepCo) kekurangan tempat penyimpanan, dan tangki-tangki diperkirakan akan penuh sebelum tahun 2022.”
Walaupun termasuk radioaktif, secara ilmiah tritium memiliki waktu paruh radioaktif sekitar 12 tahun. Pada ilmuan meyakini, kandungan ini akan lenyap dari lingkungan dalam tempo puluhan tahun, bukan dalam hitungan abad.
Berdasarkan pernyataan para ilmuwan, lanjut BBC, pembuangan radioaktif dalam jumlah besar ke laut juga terjadi dalam uji coba senjata nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Inggris dan Prancis pada tahun 1940 hingga sekitar tahun 1960-an.
Disetujui Badan Tenaga Atom Internasional
Adapun rencana ini telah disetujui oleh Badan Tenaga Atom Internasional/International Atomic Energy Agency (IAEA). Menurut mereka, ini mirip dengan pembuangan air limbah di berbagai pembangkit lain di dunia.
“Pembuangan ke laut juga dilakukan di tempat lain. Ini bukan sesuatu yang baru. Tak ada skandal di sini,” kata Dirjen IAEA, Rafael Mariano Grossi, dikutip dari BBC.
Sementara itu, para peneliti mengungkapkan, unsur-unsur yang tersisa di air tersebut dapat dikatakan berbahaya, jika dikonsumsi dalam jumlah besar.
“Dikatakan, dengan diencerkan maka air yang diolah itu secara ilmiah tidak berbahaya,” demikian disampaikan sumber berita yang sama.
Ditentang Tiongkok dan Korsel
Dua negara tetangga Jepang, yakni Tiongkok dan Korea Selatan menentang rencana ini karena merasa khawatir air tersebut berbahaya untuk lingkungan, terutama mencemari kawasan perairan Samudera Pasifik.
Korea Selatan bahkan mengklaim telah menyatakan keberatan, sebelum rencana membuang air yang terkontaminasi kandungan nuklir ini, disetujui oleh IAEA.
“Sebelum rencana ini disetujui, kami sudah menyatakan penyesalan serius,” kata Menteri Luar Negeri Korea Selatan Kang Kyung-wha baru-baru ini, dilansir dari BBC
Sementara itu, Tiongkok melalui Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Zhao Lijian menyerukan kepada Jepang untuk bertindak dengan cara yang bertanggung jawab menyangkut hal ini.
“Untuk menjaga kepentingan umum internasional dan keselamatan serta kesehatan rakyat China, China menyampaikan kekhawatiran kepada pihak Jepang melalui saluran diplomatik,” kata Zhao.
Pemerintah Jepang lalu memberikan pengertian, sebelum dibuang ke laut, air limbah ini akan diolah dan diencerkan terlebih dahulu. Dengan demikian, tingkat radiasinya mampu ditekan hingga berada di bawah tingkat yang dianggap aman untuk standar air minum.
“Proses pembuangan air yang digunakan untuk mendinginkan bahan bakar nuklir itu, sedianya bakal dimulai dalam waktu dua tahun.”
Pelaku Industri Perikanan Jepang Khawatir Terdampak
Tak hanya Tiongkok dan Korsel, para pelaku industri perikanan ikan setempat juga menentang keras langkah itu tersebut. Meski telah disiasati sedemikian rupa soal langkah pembuangan airnya, menurut mereka radiasi dari tritium dapat tertelan.
Para pelaku industri penangkapan ikan, khawatir terjadinya risiko tritium masuk ke dalam rantai pangan dan dikonsumsi melalui makanan laut. Mereka mengkhawatirkan, para konsumen bakal menolak membeli hasil laut dari Fukushima.
Pasalnya, pada tahun 2011 pasca bencana alam merusak reaktor-reaktor di PLTN hingga mencemari air setempat, penangkapan serta perdagangan hasil laut di Jepang terdampak. “Banyak negara melarang impor hasil laut dari wilayah pesisir timur laut,” tulis BBC.
Menyikapi kekhawatiran ini, pakar penilaian risiko radiasi di Universitas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Oita Jepang, Michiaki Kai menyebut, pengenceran air olahan tidak menimbulkan risiko yang dapat dideteksi secara ilmiah.
“Ada konsensus di antara para ilmuwan bahwa dampaknya pada kesehatan sangat kecil,” ujarnya dilansir dari DW.
Berpotensi Picu Konflik Internasional
Organisasi lingkungan Greenpeace pun mengecam rencana Jepang membuang air ke laut. Juru kampanye kelautan Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution mengatakan, Greenpeace mengecam keputusan kabinet Perdana Menteri Suga (Yoshihide Suga) terkait rencana pembuangan air limbah radioaktif ini.
“Menurut kami, ini sepenuhnya mengabaikan hak asasi manusia dan kepentingan orang-orang di Fukushima, wilayah Jepang yang lebih luas dan kawasan Asia-Pasifik tentunya,” kata Arifsyah kepada Asumsi.co melalui pesan singkat.
Ia menambahkan, keputusan pemerintah Jepang mengenai hal ini, terkesan mengabaikan hak asasi manusia dan hukum maritim internasional. Maka, dirinya pun tak heran dengan Korsel dan Tiongkok yang bereaksi keras terhadap hal ini.
“Keputusan tersebut berarti TepCo dapat memulai pembuangan limbah radioaktif dari pembangkit nuklirnya ke Samudra Pasifik. Setiap bentuk pencemaran lingkungan apalagi yang berdampak lintas batas berpotensi merugikan hak masyarakat serta memicu konflik, termasuk konflik antarnegara,” tuturnya.
Greenpeace Jepang melalui juru kampanye iklim dan energi Kazue Suzuki, telah menyampaikan pernyataan resminya yang mengutuk langkah pemerintahnya.
“Mereka saja bilang, keputusan membuang limbah air yang mengandung radioaktif ke laut lepas ini tidak dapat dibenarkan. Ini kan, terkesan pemerintah Jepang sengaja mencemari Samudra Pasifik dengan limbah radioaktif,” terangnya.
Kasus Pencemaran Laut yang Pernah Terjadi
Arifsyah menyebut insiden tumpahan minyak Montara bisa menjadi rujukan betapa kasus pencemaran laut bisa berbuntut konflik antarnegara. Ia menerangkan, kasus ini bermula saat terjadi ledakan di sumur minyak Montara milik perusahaan Thailand, PTTEP Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEP-AA) pada tanggal 21 Agustus 2009.
Kebocoran telah menimbulkan pencemaran yang melintasi wilayah perairan negara Republik Indonesia, tepatnya di sekitar wilayah perairan Laut Timor. Masalah kebocoran sumur minyak baru dapat teratasi pada tanggal November 2009.
“Sekitar 38,15 Persen Laut Timor Tercemar Minyak. Akibatnya, warga negara Indonesia khususnya nelayan yang tinggal di sekitar perairan laut timor menderita kerugian baik moril dan materiil,” ujarnya.
Hingga tahun ini saja, kata dia, kasus tersebut masih berkutat di pengadilan. Kabar terakhir, pada 20 Maret 2021, kelompok petani Indonesia memenangkan kasus tumpahan minyak di lapangan Montara.
Hakim Pengadilan Federasi Australia menyatakan PTTEP harus bertanggung jawab atas kejadian yang menyebabkan para petani rumput laut. “Mereka kehilangan penghasilan selama enam tahun senilai Rp739 juta,” imbuhnya.
Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Dwi Sawung memberikan contoh lainnya, yakni kasus kebocoran minyak Deepwater Horizon. Kasus yang juga dikenal sebagai insiden bocoran minyak BP ini, terjadi di Teluk Meksiko pada 20 April 2010.
“Ini bisa disebut, kasus tumpahan minyak terbesar yang terjadi di lepas pantai dalam sejarah AS. Bahkan, mencemari habitat binatang lautnya,” jelasnya saat dihubungi lewat sambungan telepon.
Pemerintah Amerika Serikat yang kala itu dipimpin Presiden Barrack Obama, menyebut British Petroleum (BP) sebagai pihak yang bertanggung jawab.
“Kelalaian ini berakibat sangat luas terhadap 5 negara bagian AS secara langsung dan secara tidak langsung terhadap negaranya,” kata Sawung.
Insiden ini memicu konflik antara AS dan Inggris selaku negara yang menaungi perusahaan BP. Hingga akhirnya, Obama melakukan pembicaraan dan lobi-lobi terhadap perdana mentri Inggris kala itu, David Cameron.
Presiden Obama melakukan beberapa kali pembicaraan baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui telepon “Obama waktu itu mendesak, pemerintah Inggris segera melakukan penutupan kebocoran minyak BP, pembersihan dan pembayaran klaim kerugian oleh masyarakat dan perusahaan,” terangnya.
Apa yang Harus Jepang Lakukan?
Sawung menilai, posisi Jepang saat ini memang pelik dalam menangani pembuangan air limbah nuklir ini. Namun, tak ada solusi yang lebih baik selain menyiapkan tempat untuk menampungnya serta mendaur ulang sebisa mungkin.
“Sekarang Jepang memang dalam posisi yang kebingungan karena (air limbah) diolah susah juga. Seharusnya ditampung terus saja airnya sama mereka atau recycle,” katanya.
Sementara itu, Arifsyah justru mengharapkan sebagai negara yang terkenal inovatif, Jepang semestinya menciptakan teknologi terbaiknya untuk menyimpan dan memproses air limbah tersebut dalam jangka panjang.
“Tentu disayangkan, mereka telah memilih opsi termurah, yaitu membuang air limbah itu ke Samudra Pasifik,” pungkas dia.