Isu Terkini

Rapid Test untuk Perjalanan Harusnya Tak Perlu, Apa Gantinya?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan COVID-19 mengaku sedang mengkaji aktivitas perjalanan masyarakat saat pandemi, terutama soal efektivitas rapid test yang diwajibkan. “Dan tentunya apabila sudah selesai kajiannya, akan kami sampaikan kepada masyarakat luas,” kata Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, Selasa (18/8/20).

Sejauh ini, masyarakat diperbolehkan melakukan perjalanan dengan sejumlah persyaratan. Salah satunya, wajib menunjukkan surat keterangan hasil pemeriksaan rapid test COVID-19 nonreaktif atau hasil swab test negatif sebelum menumpang pesawat terbang atau kereta api. Hasil tes tersebut berlaku selama 14 hari.

Namun penerapan syarat rapid test bagi pelaku perjalanan dianggap tidak efektif karena tidak akurat. Untuk itu, sejumlah pihak pun mulai mendorong pemerintah untuk menghapuskan aturan tentang rapid test tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Wiku juga merespons tudingan bahwa kebijakan rapid test sengaja dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, terutama BUMN dan perusahaan swasta yang mengimpor alat rapid test dalam jumlah banyak. Pemerintah, lanjut Wiku, sudah cukup tegas dengan membatasi tarif atas layanan rapid test sebesar Rp150 ribu.

“Untuk menghindari bussiness fraud, Kemenkes merilis aturan tersebut. Harga tertinggi adalah Rp 150 ribu untuk individu. Kami masih bekerja keras untuk memperluas kapasitas PCR test sampai 30.000 tes per hari. Dan memastikan sesuai dengan standar WHO dengan mengembangkan alat tes sendiri.”

Pemeriksaan Rapid Test Bisa Berdampak Buruk, Banyak Ditentang Pakar

Pemeriksaan dengan tes cepat antibodi atau rapid test memang banyak dikritik hingga ditentang oleh para ahli karena memiliki sensitivitas yang rendah untuk menentukan diagnosis COVID-19. Apalagi, kemungkinan terjadi hasil negatif palsu ataupun positif palsu dari rapid test juga cenderung tinggi, sehingga dampaknya bisa berbahaya dan merugikan.

Pakar Biologi Molekuler Dr. Ahmad Rusdjan Utomo mengatakan terkait dengan orang-orang yang bepergian domestik, apalagi tes PCR-nya agak lama, itu artinya memang harus dipastikan bepergiannya terbatas, harus memiliki alasan yang sangat kuat kenapa harus bepergian. Sebab, menurut Ahmad, dengan rapid test, itu bisa memberikan false sense of security, sehingga justru bisa jadi masalah baru.

“Memang perlu diperhatikan benar-benar. Pertama-tama di masa pandemi ini physical distancing, gunakan masker, mengurangi waktu aktivitas di ruang tertutup yang ventilasinya terbatas adalah upaya praktis yang perlu dijalankan semua pihak,” kata Ahmad kepada Asumsi.co saat dihubungi, Rabu (19/8).

Demikian juga dalam aktivitas perjalanan, artinya densitas penumpang, sirkulasi udara, kewajiban masker, yang menurut Ahmad tentu wajib diperhatikan. Menurutnya, terkait rapid tes antibodi, hal itu tentu saja perlu dikaji lebih dalam lagi bersama para pakar.

“Kita perlu definisikan dulu, siapa yang disebut penumpang yang aman? Apakah yang hasilnya rapid tes negatif atau yang hasilnya positif? Apakah yang hasil rapid tes non-reaktif atau yang hasilnya reaktif,” ujarnya.

Ahmad menegaskan bahwa pada titik ini, perlu dicek juga dari alat rapid tes yang digunakan apakah sudah divalidasi, apakah rapid tes tersebut mengenali antibodi yang akan menetralisir infeksi virus atau tidak? Jadi, lanjutnya, bukan hanya mengenali antibodi terhadap virus Corona saja, jadi antibodi yang bisa memblok infeksi virus Corona.

“Jadi kalau alat rapid tes bisa mengenali antibodi yang spesifik, maka individu yang hasilnya reaktif lebih aman. Maka dalam hal ini isunya bukan penggunaan rapid tes , tapi tes antibodi yang spesifik mengenali antibodi yang mampu memblok infeksi virus.”

Menurut Ahmad, tentu hasil tes antibodi tersebut nantinya juga diikuti dengan tes kesehatan secara umum, seperti tidak pilek, batuk, dan sebagainya. Maka, Ahmad menegaskan bahwa harus ada alasan kuat untuk bepergian dengan menggunakan moda transportasi umum.

“Oh iya, perlu juga disosialisasikan ‘jangan banyak bicara’ selama perjalanan, bepergianlah dengan senyap. Itu lebih praktikal daripada ngeributin rapid test. Karena kan kita tahu juga kasus paduan suara beberapa waktu lalu itu. Jadi banyak omong itu bisa nyebarin virus, apalagi sesama penumpang,” kata Ahmad.
Sementara itu, senada dengan Ahmad, Dosen Departemen Biologi FMIPA IPB, Dr. Berry Juliandi, mengatakan bahwa memang betul bahwa rapid test itu tidak tepat. Sebab, menurutnya, rapid test itu berbasis antibodi, digunakan seharusnya untuk studi immunosurveilance.

“Untuk mengetahui seberapa banyak orang yang sudah membuat antibodi terhadap SARS-CoV-2. Untuk deteksi definitif memang hanya bisa dengan PCR dengan sampel dari swab test,” kata Berry saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (19/8).

“Untuk pencegahan memang hanya bisa dengan prosedur kesehatan yang ada. Pakai masker, jaga jarak, aerasi yang baik, cuci tangan, dan sejenisnya,” ujar Berry yang juga merupakanSekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia itu.

Sekadar informasi, aturan soal calon penumpang pesawat diwajibkan menyertakan hasil rapid/swab test untuk seluruh penerbangan tersebut terdapat dalam Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang Dalam Masa Adaptasi Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman COVID-19.

SE terkait berbunyi: Setiap individu yang melaksanakan perjalanan orang dengan transportasi umum darat, perkeretaapian, laut, dan udara harus menunjukkan surat keterangan uji tes PCR dengan hasil negatif yang berlaku 7 hari, atau; Menunjukkan surat keterangan uji Rapid test dengan hasil non-reaktif yang berlaku 3 hari pada saat keberangkatan.

Sementara, untuk mereka yang tidak memiliki fasilitas test rapid atau swab, diharuskan menunjukkan surat keterangan bebas gejala covid-19, seperti influenza yang dikeluarkan oleh dokter rumah sakit/puskesmas.

Pemerintah juga mengharuskan setiap individu yang melaksanakan perjalanan orang wajib menerapkan dan mematuhi protokol kesehatan, yaitu menggunakan masker, jaga jarak, dan mencuci tangan, termasuk menunjukkan identitas diri (KTP atau tanda pengenal lainnya yang sah). Calon penumpang juga diharuskan mengunduh dan mengaktifkan aplikasi “Peduli Lindungi” di perangkat seluler.

Share: Rapid Test untuk Perjalanan Harusnya Tak Perlu, Apa Gantinya?