Budaya Pop

Perjalanan ​Skateboard, dari Budaya Jalanan ke Kompetisi Level Dunia

Irfan — Asumsi.co

featured image
Unsplash

Masih ingat video viral soal penertiban para skaters di Bundaran HI, Jakarta Maret 2021 lalu? Ya, video yang memperlihatkan perebutan papan luncur antara para skaters dengan Satpol PP DKI Jakarta itu cukup menyita perhatian publik.

​Perkaranya, Satpol PP DKI Jakarta menilai trotoar Bundaran HI tidak boleh dipergunakan untuk bermain skateboard. Sementara para skaters terbiasa main di sepanjang trotoar Sudirman-Thamrin terutama sejak trotoar itu diperlebar.

​Situasi makin panas saat Satpol PP secara arogan merebut papan luncur milik skaters yang main di situ. Aksi tarik menarik tak terhindarkan.

​Video ini lantas mengundang komentar warganet. Sampai-sampai Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan buka suara soal hal ini.

​Namun, artikel kali ini bukan hendak mengulas video tadi. Tetapi, ingin mendedah soal olahraga skateboard yang memang lekat dengan budaya jalanan.

Dimulai sejak dekade 1970, siapa sangka kalau olahraga yang kerap diidentikkan dengan anak muda bengal itu kini menjanjikan. Bahkan dipertandingkan di kompetisi level dunia seperti Olimpiade.

Asal mula dan akar pemberontakan

​Meski baru populer di dekade 1970, papan kayu beroda empat yang bisa digunakan untuk meluncur sudah dikenal di penghujung dekade 1950. Saat itu namanya masih, sidewalk surfing, sebuah cara yang dikembangkan oleh para peselancar California untuk meniru aktivitas selancar, namun dilakukan di darat.

​Papan luncur ini mulanya dibuat secara mandiri. Namun, karena tidak ada standar baku mengenai material dan ukuran, penggunaannya kerap berbahaya. Alhasil, mengutip laman Grinnell College, skateboard sering disorot sebagai olahraga yang berbahaya.

​Momen terobosan untuk skateboard baru terjadi pada tahun 1972 ketika Frank Nasworthy menemukan roda urethane. Roda ini melaju jauh lebih lancar dan aman. Faktanya, mereka sangat sukses sehingga roda urethane masih digunakan pada skateboard hingga hari ini.

​Momen revolusioner lain untuk skateboard terjadi pada tahun 1978, ketika Alan Gelfand menemukan trik skateboard yang disebut ‘Ollie’. Trik ini mungkin masih merupakan istilah skater yang paling dikenal, dan merupakan dasar dari banyak trik yang harus diikuti.

Baca Juga: Pendiri Vans Meninggal Dunia, Skateboarder Berduka | Asumsi

​Namun, momen revolusioner ini tak lantas membuat skateboard punya nilai positif di mata awam. Saat itu, di Amerika mengendarai skateboard kadung dikaitkan dengan bahaya, kecerobohan, dan kemalasan. Skater lebih terpinggirkan daripada orang yang memilih untuk mengendarai sepeda, skuter, atau sepatu roda.

​Stigma ini lantas menimbulkan problem baru. Ada keterputusan antara kreativitas dan pemberdayaan yang diekspresikan pemain skateboard dengan penilaian yang diberikan oleh orang-orang di luar subkultur.

​Meski sudah ada skatepark, skater cenderung mencari tempat baru untuk bermain skate, terutama di tempat yang dilarang untuk bermain skate. Ini adalah bagian dari apa yang menambah citra menyimpang seorang pemain skateboard.

​Sementara di publik, saat mereka menggunakan ruang publik untuk bereksperimen, menggiling bangku, melompati tangga, melakukan trik di atas tong sampah, ada persepsi bahwa properti publik bisa rusak.

Pemain skateboard legendaris Tony Hawk, kepada NPR pada tahun 2006 tidak menyangkal hal itu. Menurutnya skateboard selalu memiliki sedikit budaya jalanan yang melanggar hukum dengan reputasi buruk. “Dan itu menerima banyak label negatif: Itu adalah mode anak-anak, buang-buang waktu, pengejaran yang berbahaya, dan kejahatan,” kenangnya.

Nilai kreativitas dan solidaritas

​Namun, tentu nilai-nilai skateboard tidak pernah senegatif apa yang publik awam stigmakan. Dalam “Authenticity in the Skateboarding World”, Becky Beal, profesor kinesiologi di California State University bersama Lisa Weodman, seorang profesor komunikasi massa di Linfeld College menyebut skateboard bukan hanya sarana perjalanan atau bahkan hanya olahraga. Sebagai subkultur, skater menghargai kreativitas, risiko, dan kebebasan.

​Jika olahraga tradisional diselenggarakan dan dijalankan oleh orang dewasa, beda halnya dengan skateboard. Pada mulanya, para skaters bisa melakukan kegiatan ini di mana saja tanpa banyak pelatihan formal. Dalam skateboard ada ruang untuk membuat keputusan, menantang diri sendiri, dan tidak harus mematuhi pedoman ketat tentang apa yang dapat diterima atau bagaimana menjadi sukses.

Howard Adelman dan Linda Taylor dalam “About Surfing and Skateboarding Youth Subcultures” menjelaskan seperti kebanyakan subkultur, ada juga hierarki keaslian dalam skateboard. Hierarki ini bertepatan dengan prevalensi nilai skater. Misalnya, street skating dapat dipandang lebih otentik karena dibandingkan dengan skate park, street skating dianggap lebih nyata dan keren, serta membutuhkan keberanian dan kreativitas.

Mulai dapat sorotan

​Pertengahan 1980-an menjadi momen di mana skateboard mulai menarik perhatian umum. Mengutip skatedeluxe, di era ini sangat mungkin untuk mendapatkan banyak uang sebagai pemain skateboard profesional dan industri skateboard berkembang pesat di AS.

​Pada akhir 1980-an, perusahaan seperti Powell Peralta, Santa Cruz, dan Vision mendominasi pasar internasional. Fashion terutama ditentukan oleh sepatu seperti Vans, Converse atau Vision menjadi andalan untuk bagi para skaters. Singkatnya, skateboard mengalami fase positif. Apalagi seiring peningkatan berbagai tren olahraga.

​Fase ini makin riuh di pertengahan 1990-an lewat acara besar seperti “X-Games” yang diluncurkan dan disiarkan di televisi sejak 1995. Karena banyak majalah, semua acara, video, dan yang tak kalah pentingnya adalah internet, skateboard menjadi umum di seluruh dunia.

Debut di Olimpiade

​Hari ini, skateboard kembali mencetak sejarah barunya. Hampir tiga dekade sejak X-Games, marwah Skateboard di kancah olahraga makin “resmi” dengan dipertandingkannya cabang olahraga ini di Olimpiade Tokyo 2020 yang digelar tahun ini.

​Para pesaing dari sejumlah negara akan memamerkan keterampilan yang mereka kembangkan di jalan-jalan dan skatepark seluruh dunia, dengan harapan menarik penonton muda buat Olimpiade yang digelar di tengah pandemi Covid-19 ini.

Dalam sebuah video promosi yang dikutip NPR, Tony Hawk yang kini berusia 53 tahun cukup girang dengan debut Olimipade ini. Ia yang terbang ke Tokyo menyebut kalau dulu skateboard boleh dibilang olahraga yang terbuang.

​”Tapi sekarang dunia akan memanggil kita Olympians,” kata Hawk.

Baca Juga: Sanggoe Dharma Tanjung, Atlet Skateboard Termuda Indonesia di Asian Games 2018 | Asumsi

​Laga perdana skateboard juga akan menjadi pertandingan bertabur bintang karena banyak atlet internasional yang sudah memiliki nama besar akan meluncur. Di antaranya Nyjah Huston dari Amerika Serikat yang sejak usia 10 tahun sudah meniti karir profesonal atau skaters tuan rumah Yuto Horigome.

​Ada dua kategori yang akan dilagakan. Yakni kategori women’s dan men’s street digelar pada 25-26 Juli, lalu kategori women’s dan men’s park pada 4 dan 5 Agustus.

Sempat ditolak

​Namun, dipertandingkannya skateboard di Olimpiade Tokyo 2020 tak begitu saja didukung oleh para skaters. Sejumlah nama legenda seperti Bob Burnquist bahkan sempat menolak.

​Meski kini Bob mengarsiteki tim skateboard Brazil, sempat ada kekhawatiran dari dirinya dan sejumlah tokoh skateboard lain akan eksploitasi skateboard. Penolakan ini bahkan memicu petisi online yang mendesak Komite Olimpiade Internasional untuk tidak menggunakan skateboard sebagai “bahan iklan” Olimpiade.

Mengutip Mens Journal, petisi ini meminta IOC sebagai otoritas Olimpide untuk tidak mengeksploitasi skaterboard dan mengubahnya agar sesuai dengan program perhelatan olahraga dunia itu.

​Sikap para pencela itu mungkin paling tepat diringkas oleh seorang penandatangan petisi Brasil bernama Rodrigo Kaveski yang berkomentar, “Skate adalah seni, bukan bisnis.”

​Namun, Brian Blakely, redaktur pelaksana di Transworld Skateboarding menjelaskan petisi itu. Menurutnya kontroversi ini perlu untuk memastikan bahwa skateboard akhirnya ditangani oleh pemain skateboard. “Siapa yang mendapatkan kepemilikan skateboard? Selama itu pemain skateboard, saya pikir sebagian besar dari kita akan mendukungnya,” ucap dia.​

Share: Perjalanan ​Skateboard, dari Budaya Jalanan ke Kompetisi Level Dunia