Vaksin Covid-19

Perbedaan Sinovac, Astrazeneca, dan Sinopharm, Serta Efektivitasnya Pada Varian Virus Baru

Irfan — Asumsi.co

featured image
Unsplash

​Di tengah kasus harian yang semakin tinggi dan munculnya varian virus corona baru, pemerintah terus berupaya menggencarkan vaksinasi untuk masyarakat. Presiden Joko Widodo menargetkan pada Juli mendatang vaksinasi bisa menjamah satu juta rakyat Indonesia dalam sehari. DKI Jakarta bahkan diminta sudah herd immunity pada Agustus ini.

Dari sejumlah vaksin yang beredar di dunia, tiga jenis vaksin yang kini telah digunakan di Indonesia adalah Sinovac, Sinopharm, dan AstraZeneca. Buat kamu yang mendapatkan vaksin di awal, vaksin yang digunakan adalah Sinovac dari China. Kekinian, digunakan juga AstraZeneca dari Inggris. Sementara Sinopharm digunakan dalam program vaksin Gotong Royong yang dilakukan oleh pengusaha untuk karyawannya.

​Dengan tiga vaksin berbeda, tentu ada perbedaan pula pada tiap detil dosisnya. Baik dari segi efikasi, efek samping setelah penyuntikan, hingga jeda dosis suntik pertama ke suntik kedua.

Baca juga: Dari Chip Sampai Ada Magnetnya, Epidemiolog: Setop Isu Sesat Vaksin | Asumsi

Sinovac

CoronaVac, vaksin Covid-19 buatan Sinovac, menggunakan inactivated virus atau virus utuh yang sudah dimatikan. Melansir WHO, cara ini umum digunakan dalam pengembangan vaksin flu dan polio serta terbukti manjur.

Vaksin ini tergolong vaksin pertama untuk Covid-19, tetapi izin penggunaan darurat dari WHO baru divalidasi pada 1 Juni 2021. Dengan adanya validasi ini, CoronaVac dinilai memenuhi standar persyaratan internasional terkait mutu dan keamanannya.

The Strategic Advisory Group of Experts on Immunization (SAGE) merekomendasikan penggunaan vaksin Sinovac sebanyak dua dosis (0,5 ml) yang diberikan secara intramuskular. WHO merekomendasikan interval dua sampai empat minggu antara dosis pertama dan kedua.

Jika dosis kedua diberikan kurang dari dua minggu setelah dosis pertama, dosis tidak perlu diulang. Jika pemberian dosis kedua tertunda lebih dari empat minggu, maka harus diberikan dosis kedua sesegera mungkin.

Terkait efikasi, pada uji coba fase 3 besar di Brasil menunjukkan bahwa dua dosis CoronaVac yang diberikan dengan selang waktu 14 hari, memiliki kemanjuran 51 persen terhadap infeksi SARS-CoV-2 yang bergejala dan 100 persen terhadap Covid-19 yang parah.

Sementara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan efikasi CoronaVac sebesar 65,3 persen. Mengutip Detik, riset awal pada tenaga kesehatan di DKI Jakarta yang mendapatkan vaksin Sinovac menunjukkan efektivitas di dunia nyata sebesar 90 persen lebih.

Penggunaan CoronaVac untuk vaksin memang disertai beberapa efek samping. Namun selama ini efek samping yang dilaporkan adalah efek samping ringan hingga sedang. Ini mencakup pada nyeri, iritasi, kemerahan, dan pembengkakan pada bagian yang disuntik. Sedangkan efek samping sistemik berupa myalgia atau nyeri otot, fatigue atau kelelahan, dan demam.

WHO menyebut CoronaVac juga cukup efektif melawan varian virus baru. Dalam sebuah studi observasional, perkiraan efektivitas Sinovac pada petugas kesehatan di Manaus, Brasil, varian Gamma (P.1) menyumbang 75 persen dari sampel SARS-CoV-2 adalah 49,6 persen terhadap infeksi simtomatik. Efektivitas juga telah ditunjukkan dalam studi observasional di Sao Paulo dengan adanya sirkulasi Gamma sebanyak 83 persen sampel.

Ketika Gamma bermutasi jadi Zeta (P.2), efektivitas CoronaVac diperkirakan masih di angka yang sama pada dosis pertama dan meningkat menjadi 50,7 persen setelah penyuntikan dosis kedua.

AstraZeneca

Vaksin yang diproduksi Oxford dan AstraZeneca dari Inggris dikenal juga dengan nama CoviShield dan Vaxzevria. Vaksin ini menggunakan vektor adenovirus simpanse, yakni mengambil virus yang biasa menginfeksi simpanse, kemudian dimodifikasi secara genetik untuk memicu respons imun (viral vector). 

Dosis yang dianjurkan WHO untuk AstraZeneca adalah dua dosis yang diberikan secara intramuskular, masing-masing 0,5ml dengan selang waktu delapan hingga 12 minggu. Penelitian tambahan diperlukan untuk memahami potensi perlindungan jangka panjang setelah dosis tunggal. 

Vaksin AstraZeneca memiliki kemanjuran 63,09 persen terhadap infeksi SARS-CoV-2 yang bergejala, dua minggu setelah dosis kedua. Interval dosis yang lebih lama dalam rentang delapan hingga 12 minggu disebut membuat kemanjuran vaksin menjadi lebih besar. Melansir Bloomberg Businessweek, Public Health England mengatakan vaksin ini 92% efektif mencegah keharusan menjalani perawatan di rumah sakit.

AstraZeneca cukup kontroversial karena adanya sejumlah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi saat digunakan di Eropa. Ini terkait terjadinya pembekuan darah terutama pada penerima vaksin berusia muda.

Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dilansir oleh Detik menyatakan bahwa hingga Mei 2021, terdapat sekitar 9.000 kasus KIPI non-serius dan 18 kasus KIPI serius pasca penyuntikan vaksin AstraZeneca.

Laman GOV.UK menyebut efek samping yang sangat umum pasca-penyuntikan AstraZeneca adalah nyeri, gatal, dan rasa panas di area suntikan, merasa tidak enak badan, menggigil atau demam, sakit kepala, mual, hingga nyeri sendi atau nyeri otot. 

Sementara yang umum adalah bengkak, kemerahan, dan benjolan di area suntikan, demam, muntah atau diare, radang tenggorokan, pilek atau batuk, hingga menggigil. Adapun efek samping yang jarang adalah nafsu makan menurun, sakit perut, kelenjar getah bening membesar, keringat berlebih, dan kulit gatal atau ruam.

Terkait efektivitasnya pada varian virus baru, WHO tidak menyatakannya secara detil. Namun, SAGE telah meninjau semua data yang tersedia tentang kinerja vaksin dan merekomendasikan penggunaan vaksin AstraZeneca bahkan terhadap pencegahan varian virus baru.

Sinopharm

​Sama seperti Sinovac, SAGE merekomendasikan penggunaan vaksin Sinopharm sebanyak dua dosis 0,5 ml yang diberikan secara intramuskular.

WHO merekomendasikan interval tiga sampai empat minggu antara dosis pertama dan kedua. Jika dosis kedua diberikan kurang dari tiga minggu setelah dosis pertama, dosis tidak perlu diulang. Jika pemberian dosis kedua tertunda lebih dari empat minggu, itu harus diberikan sesegera mungkin.

Uji coba fase tiga di beberapa negara telah menunjukkan bahwa dua dosis yang diberikan dengan interval 21 hari memiliki kemanjuran 79 persen terhadap infeksi SARS-CoV-2 yang bergejala 14 hari atau lebih setelah dosis kedua. Kemanjuran vaksin terhadap rawat inap adalah 79 persen.

Kepala BPOM, Penny K Lukito kepada Detik menyebut, efek samping vaksin Sinopharm bisa ditoleransi dengan baik. Frekuensi kejadian masing-masing efek samping adalah 0,01 persen atau sangat jarang mencakup pada rasa sakit dan kemerahan atau sakit kepala, nyeri otot, diare, dan batuk.

Mengutip WHO, SAGE merekomendasikan penggunaan vaksin ini, mengacu pada roadmap prioritas WHO. Namun, Sinopharm belum dievaluasi dalam konteks peredaran varian yang mengkhawatirkan.

Tetap Jaga Prokes

Meski saat ini proses vaksinasi sudah diberlakukan, waspada dan menjaga protokol kesehatan tetap jadi keharusan.

Mengutip WHO, terus mempraktikkan langkah-langkah kesehatan masyarakat dan sosial masih menjadi yang utama sebagai pendekatan komprehensif untuk mencegah infeksi dan penularan. Langkah-langkah ini termasuk mengenakan masker, menjaga jarak fisik, mencuci tangan, kebersihan pernapasan dan batuk, menghindari keramaian dan memastikan ventilasi yang memadai sesuai dengan saran nasional setempat.

Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman menyebut upaya percepatan vaksinasi memang efektif untuk mengatasi lonjakan kasus saat ini. Namun tetap yang paling utama adalah Upaya 3T atau tindakan melakukan tes Covid-19 (testing), penelusuran kontak erat (tracing), dan tindak lanjut berupa perawatan pada pasien (treatment).

“Harus ada kombinasi antara vaksin dan 3T. Dengan 3T yang terjaga, kita bisa mencegah orang yang membawa virus berkeliaran,” ucap dia.​

Baca juga: Masyarakat Mulai Tak Ragu Vaksinasi, Ini Alasannya! | Asumsi

Share: Perbedaan Sinovac, Astrazeneca, dan Sinopharm, Serta Efektivitasnya Pada Varian Virus Baru