Lagi ramai dibicarakan soal isu vaksin Covid-19 memiliki kandungan magnet saat disuntikan di tubuh manusia. Hal ini bermula dari tayangan video yang memperlihatkan pria yang membuktikan koin menempel di bagian tangannya usai disuntikkan vaksin. Memangnya benar? Yuk, cek faktanya!
Vaksin Tidak Mengandung Magnet
Video yang memperlihatkan koin menempel di lengan pria dan mengklaim sebagai bukti vaksin Covid-19 mengandung magnet salah satunya diunggah akun YouTube brotherhood tv.
“Saya ingin membuktikan bahwasanya ada tidak vaksin itu ada magnetnya. Nah, sekarang saya buktikan. Ini bekas suntikan saya masih ada, kemudian saya siapkan uang logam ini yang Rp1.000. Saya letakan di bekas suntikan, saya lepas saja. Dia menempel, ternyata benar. Ada daya tarik pada saat berada di dekat kita,” kata pria dalam video.
Video tersebut memang memperlihatkan koin yang diletakkan di lengan melekat. “Kita tidak tahu maksud dan tujuannya ini. Semoga kita sehat walafiat selalu,” ucapnya menutup tayangan video.
Menyikapi hal ini, Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo memastikan isu tersebut merupakan hoaks. Ia menegaskan, dugaan kandungan magnet di dalam vaksin merupakan hal yang mengada-ada.
Baca juga: Masyarakat Mulai Tak Ragu Vaksinasi, Ini Alasannya!
“Jadi yang namanya kandungan vaksin itu tidak ada mengandung magnet, hoaks itu. Kalau bicara kandungan, itu tergantung platform dari vaksinnya. Misalnya, Sinovac itu di dalamnya ada inactivated virus atau virus yang sudah mati, kemudian stabilizer supaya vaksin tidak cepat rusak semacam pengawet,” jelas Windhu kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Sabtu (29/5/21).
Ia menjelaskan stabilizer ini umumnya mengandung 2-phenoxyethanol yang tidak beracun bagi manusia dan berguna untuk mengawetkan vaksin dengan jangka waktu beragam, mulai dari 6 bulan sampai setahun. Meski sudah ada pengawet, vaksin juga tetap harus disimpan dalam suhu yang aman sesuai dengan yang dianjurkan.
“Tetap perlu disimpan di suhu tertentu dan enggak boleh kulkasnya, katakan lah itu, dicampur sama minuman atau makanan. Suhunya kayak Sinovac atau AstraZeneca itu mesti 2 sampai 8 derajat Celcius. Ada juga larutan garam atau natrium klorida (NaCl), supaya ketika disuntikkan dia melebur dengan kandungan darah kita yang juga mengandung NaCl. Jadi kandungan garam ini dibuat sama dengan kondisi cairan tubuh manusia karena bisa bikin nyeri kalau vaksin tidak sama dengan kandungan di tubuh,” ucapnya.
Sedangkan untuk vaksin AstraZeneca, mengandung vektor virus yakni unsur pembawa virus yang tidak berbahaya bagi tubuh manusia. Vektor virus bertujuan untuk mengirimkan sepotong kode genetik ke sel manusia yang memungkinkan mereka membuat protein patogen.
“Ada juga vaksin Moderna dan Pfizer yang mengandung mRNA. Ini juga bukan magnet tapi kandungan protein yang bisa menciptakan antibodi. Enggak ada itu namanya magnet,” tuturnya.
Setop Isu Menyesatkan
Windhu juga mengamati, selain isu kandungan magnet sebelumnya juga ramai isu kalau vaksin Covid-19 terdapat chip di dalamnya. Isu ini menurutnya muncul dari khayalan orang-orang yang selama ini termakan teori konspirasi Covid-19.
“Isu chip dan magnet itu candaan yang menyesatkan. Setop yang menyesatkan kayak gini. Kita enggak usah lah, bercanda soal Covid-19 bikin hoaks kayak gini. Apalagi saya dengar juga isu nomor batch itu nomor chip yang ditempelkan di vaksin. Begini ya, enggak ada dan perlu diluruskan batch itu nomor produksi. Kalau kita memproduksi sesuatu, pengelompokannya ada nomornya, Itulah yang disebut batch sebagai kode produksi,” ungkapnya.
Baca juga: Benarkah Vaksin di Indonesia Tidak Efektif Lawan Mutasi Covid-19 N439K?
Tujuan adanya nomor batch ini, lanjut dia untuk mengawasi kalau vaksin dengan kode tersebut memiliki masalah maka bisa ditarik dan ditahan sementara izin edarnya untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
“Menurut saya perlu ada law enforcement yang tegas buat mereka yang menyebarkan hoaks-hoaks soal Covid-19 atau vaksin harus disanksi pidana lah, penjarakan saja seminggu biar kapok,” ungkapnya.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) dr Ari Fahrial S SpPD menambahkan, maraknya peredaran hoaks di tengah masyarakat terkait vaksin Covid-19 tak terlepas dari belum meratanya edukasi soal kandungan vaksin.
“Edukasi belum merata, itu penyebabnya. Sayangnya juga seringkali vaksin itu bertempur dengan hoaks dan seringkali hoaks yang menang,” ucapnya saat dihubungi terpisah.
Ia pun mengaku heran dengan orang yang berpendidikan tinggi tapi masih saja percaya dengan isu semacam ini.
“Enggak sedikit juga yang pendidikannya tinggi tapi masih terbawa isu bahkan ikut percaya lalu menyebarkan. Hal-hal semacam ini yang harus kita lawan. Jangan aneh-aneh lah, urusan vaksin ini,” tandasnya.