Pemerintah berencana mengenakan PPN atau Pajak Pertambahan Nilai pada jasa pendidikan. Hal ini terlihat dari dihapusnya sektor pendidikan dari daftar jasa yang tidak dikenai PPN pada Revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sebelumnya secara tegas aturan menulis soal jasa pendidikan tidak dikenai PPN tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan.
Pada Pasal 2, disebutkan bahwa Kelompok jasa Pendidikan yang tidak dikenai PPN meliputi jasa Penyelenggaraan Pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional. Pasal 2 juga menyebutkan bahwa jasa Penyelenggaraan Pendidikan luar sekolah juga termasuk dalam kelompok jasa pendidikan yang tidak dikenai PPN.
Keputusan pemerintah yang akan mengenakan PPN pada jasa pendidikan menuai banyak kritik, baik dari kalangan pengamat, praktisi, hingga siswa.
Pengamat pendidikan, Andreas Tambah menilai bahwa kebijakan sekolah yang dikenakan sangat membebani sekolah. Menurutnya, tanpa PPN pun sekolah sudah kena PPh penghasilan 1% dari setiap dana yg masuk, dan hal tersebut sudah cukup.
Andreas juga menyatakan bahwa banyak sekolah yang mengalami kesulitan di saat pandemi seperti saat ini.
Baca Juga : Jika RUU KUP Diketok, Biaya Sekolah SMA sampai Kuliah Bisa Makin Mahal
“Saat pandemi ini banyak sekolah yang mengalami kesulitan untuk memenuhi biaya operasional, bahkan ada beberapa yang terancam tutup. Pemerintah jangan menambah beban baru bagi sekolah. Khususnya sekolah kelas menengah ke bawah yang justru lebih banyak kegiatan sosialnya dari pada profit yang didapat,” jelasnya melalui pesan teks WhatsApp saat dihubungi Asumsi.
Ia juga menegaskan bahwa pemerintah jangan menyamaratakan semua sekolah. Bila pemberlakuan PPN tetap dilakukan, kebijakan tersebut bisa sangat membebani sekolah kecil.
“ Jangan sama ratakan semua sekolah, sekolah kelas menengah ke atas mmg mengejar profit. Sementara yg menengah bawah lebih condong sosialnya. Bila tetap dikenakan PPN tentu akan memberatkan sekolah khususnya sekolah kecil, bisa saja sekolah makin terpuruk. Bila pemerintah membidik sekolah besar sebaiknya diterapkan pajak progresif atas uang pangkal atau uang sekolah” jelasnya.
Kritik terhadap pemerintah yang menetapkan jasa pendidikan dikenakan PPN juga datang dari praktisi pendidikan. Menurut Said Hamid Hasan, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, keputusan pemerintah menghapus jasa pendidikan dari daftar jasa bebas PPN merupakan keputusan yang gegabah. Menurutnya, dalam hal pendidikan, tidak ada nilai tambah dalam hal ekonomi, melainkan bertambahnya kemampuan siswa.
“Dalam konteks pendidikan tidak ada penambahan nilai dalam hal ekonomi. Sedangkan penambahan nilai dalam pendidikan itu adalah dalam kemampuan siswa atau kemampuan peserta didik. Ketika dia masuk, kemudian dia belajar, maka terjadi penambahan kemampuan dia. Nah ini kan tidak bisa kita terjemahkan dalam bentuk uang” jelasnya saat dihubungi Asumsi.
Said juga menegaskan bahwa pengertian penambahan nilai dalam dunia pendidikan tidak sesuai dengan penambahan nilai yang dilakukan oleh Pajak Pertambahan Nilai. Menurutnya, pendidikan bersifat nirlaba dan tidak berbicara nilai penambahan uang. Dalam pendidikan, kita berbicara tentang penambahan kemampuan anak supaya menjadi lebih baik. Hal itu tidak bisa diukur dengan uang.
Dari pihak pelajar juga menyuarakan penolakan terkait biaya PPN pada pendidikan. Dilansir dari CNN, Nofrian Fadil Akbar selaku Koordinator dari Pusat BEM Seluruh Indonesia menegaskan bahwa pihaknya menolak rencana pemerintah yang ingin memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa pendidikan.
Baca Juga : Rencana Tarif PPN Naik Jadi 12%, Daya Beli Dikhawatirkan Melemah
Fadil membeberkan beberapa alasan menolak rancangan kebijakan tersebut. Di antaranya potensial membuat biaya sekolah bagi warga semakin mahal di Indonesia. Dia juga khawatir kebijakan tersebut berimbas pada meningkatnya jumlah warga yang putus sekolah. Padahal, pemerintah harus menjamin akses pendidikan yang terjangkau bagi warga negaranya.
“Kita lihat pendidikan akan makin mahal. Dan tentunya bisa terjadi banyak yang putus sekolah bisa terjadi dan segala macam dampak lainnya,” katanya.
Lalu, apa yang akan terjadi jika pemerintah tetap menjalankan kebijakan tersebut?
Kembali ke pernyataan Andreas Tambah yang menyatakan bahwa bila jasa pendidikan tetap dikenakan PPN, hal tersebut akan memberatkan sekolah kecil.
“Bila tetap dikenakan PPN tentu akan memberatkan sekolah khususnya sekolah kecil, bisa saja sekolah makin terpuruk. Bila pemerintah membidik sekolah besar sebaiknya diterapkan pajak progresif atas uang pangkal atau uang sekolah,” terang dia.
Said Hamid sebagai praktisi pendidikan juga menyuarakan hal yang hampir serupa. Menurutnya, kebijakan menghapus jasa pendidikan dari bebas pajak itu suatu tindakan yang kurang bagus bagi dunia pendidikan, dan itu akan menghancurkan dunia pendidikan. Ia menyarankan bahwa kebijakan tersebut harus dikaji ulang.
Said juga menegaskan bahwa DPR harus menolak, karena akan berakibat kemunduran dalam dunia pendidikan. Menurutnya, pendidikan itu bukan untuk mencari keuntungan. Karena lembaga sekolah bukanlah lembaga bisnis.
“Dari pemerintah, saya kira DPR harus menolak. Kalau ini terjadi, maka akan berakibat kemunduran dalam dunia pendidikan kita. Kenapa? Karena biaya yang diterima dari pemerintah akan terkena pajak lagi, dan itu akan berkurang. Pendidikan itu bukan mencari keuntungan. Dia bukan lembaga bisnis. Dia lembaga nirlaba. Jangan kita melihat bahwa lembaga pendidikan tersebut karena dia dibayar mahal, kehidupan gurunya bagus, fasilitasnya bagus. Itukan bagus untuk bangsa. Jangan kita melihat itu sebagai sumber uang. Tidak boleh berpikir begitu.” tegasnya.