Eksklusif

Pengakuan Anak Freddy Budiman: dari Permintaan Terakhir Jelang Eksekusi Mati hingga Kejanggalan Hukuman

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Nama Freddy Budiman mungkin masih membekas di telinga sampai hari ini. Bekas gembong narkoba kelas kakap ini dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi oleh tim regu tembak dari Brimob Polda Jawa Tengah di lapangan tembak Limus Buntu, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, 29 Juli 2016 lalu.

Freddy Budiman saat itu menghebohkan masyarakat dan divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena keterlibatannya dalam impor 1.412.476 butir ekstasi dari Cina, Mei 2012 lalu.

Sebelumnya, Freddy bahkan harus keluar masuk penjara karena kasus yang sama. Asumsi.co berbincang dengan anak kandung dari Freddy Budiman, Muhammad Fikri Fernanda Budiman, yang dalam beberapa hari terakhir ramai diperbincangkan publik.

Saat ayahnya dieksekusi pada tahun 2016, Fikri masih berusia 17 tahun. Ia sempat menunda kuliah selama setahun–selepas lulus SMA pada tahun 2015 hingga 2016–karena harus fokus mengurus sang ayah yang sedang menghadapi hukuman mati.

Lima tahun setelah kepergian sang ayah, Fikri muncul dan bercerita mengenai banyak hal, beberapa di antaranya soal penolakannya terhadap hukuman mati dan penegak hukum yang harus mengedepankan kemanusiaan. Berikut petikan obrolannya:

Apa saja kesibukan hari-hari ini?

“Lagi sibuk nulis buku soal perjalanan saya dari lahir sampai sekarang, terutama yang paling saya fokuskan ke sosok papa di mata saya. Sudah banyak naskahnya, bulan depan lah semoga bisa (naik cetak).”

“Karena kan enak ceritanya, sesuai dengan apa yang saya alami, dan yang terjadi. Jadi, nggak perlu banyak mengingat masa lalu lagi.”

Ada jeda lima tahun dari rentang 2016 ke 2021, sejak eksekusi mati. Sekarang tiba-tiba muncul dan speak up, apa latar belakangnya?

“Kalau alasan utama pasti karena saya udah terdiam cukup lama sekitar lima tahun. Kenapa saya terdiam itu karena mau fokus dulu sama kuliah waktu itu dan kegiatan-kegiatannya.”

“Setelah itu saya pengin banget orang mendengar cerita saya, supaya bisa termotivasi. Misalnya, dalam hal kehidupan. Tapi di sisi lain juga, saya juga masih ada keresahan-keresahan tentang hukum yang didapat sama papa.”

“Terutama ya itu hukuman mati itu, masih ada keresahan sama hal itu. Makanya, saya akhirnya memutuskan untuk speak-up , dan berharap keresahan ini bisa terjawab suatu saat nanti.”

Sebenarnya ada fakta lain apa yang dilihat terkait hukuman mati itu?

“Saya sih merasa ada ketidakadilan yang harus dirasakan sama papa ya, meski saya sendiri juga tidak pernah membenarkan apa yang papa lakukan selama ini.”

“Tapi saya merasa apa yang didapatkan sama papa, terutama hukuman mati itu, seharusnya kayaknya nggak perlu sampai ke situ, kayaknya belum adil deh di situ. Nggak mesti hukuman mati.”

“Jadi menurut saya hukuman mati itu harus ditinjau lagi. Itu yang jadi keresahan saya sampai saat ini.”

Pelajaran apa yang diharapkan bisa didapat dari eksekusi mati yang sudah terjadi pada 2016 lalu itu?

“Di satu sisi, saya pribadi nggak pernah sepakat ada yang namanya hukuman mati, karena menurut saya hukuman mati itu hanya bisa dilakukan atas kehendak Tuhan saja.”

“Kurungan penjara, it’s oke dan seorang penjahat atau seorang kriminal memang harus dihukum “seberat-beratnya” dan juga harus bisa dihukum seadil-adilnya, tapi menurut saya, hukuman mati ini masih terlalu abu. Masih terlalu tidak jelas, apa sih takarannya dan hal-hal lainnya yang tidak kita ketahui?”

“Karena selain papa, masih banyak tindakan-tindakan kriminal yang lebih parah lagi daripada yang dilakukan papa saya. Tapi pertanyaannya, kenapa harus papa saya yang seolah dijadikan seperti kelinci percobaan itu.”

“Kalau mau dikoreksi, banyak ya, salah satunya sorotan ke kasus korupsi, apalagi korupsi bansos di era pandemi COVID-19, itu salah satunya. Itu sangat merugikan banget ya.”

“Dengan bertele-telenya hukuman mati yang mestinya diterapkan pada koruptor bansos, tapi akhirnya sampai sekarang nggak diketahui arahnya, itu sudah menunjukkan bahwa hukuman mati ini sebenarnya belum jelas arahnya ke mana.”

“Tapi kenapa narkoba jadi sangat difokuskan? Padahal sudah jelas yang lebih merugikan itu ya ada juga kasus korupsi, karena kerugiannya jelas. Sebenarnya memang harus ditinjau lagi dan sekarang gue secara pribadi masih mendalami juga sebenarnya.”

“Makanya saya speak up tuh berharap banyak orang yang mendukung juga, banyak pihak-pihak yang sepakat dengan pemikiran saya juga, sehingga nanti akhirnya kita berjalan bersama-sama untuk menelusuri perihal hukuman mati ini.”

Apa saja yang diupayakan keluarga sebelum hari eksekusi?

“Sebenarnya ya menjalani proses hukumnya aja. Papa sudah menjelaskan semua yang terjadi, sudah jujur, sudah terbuka semuanya, terus juga papa juga sudah menunjukkan perubahan perilakunya selama ada di dalam Lapas.”

“Cuma ya memang hukum tetap udah saklek pada saat itu.Tapi, saya tetap melihat ada keanehan. Pasti! Apalagi posisinya, saya seorang anak terus juga melihat papanya bukan seorang mafia yang kecil, tapi mafia besar internasional dan merasa hukuman mati ini janggal lah ya.”

“Kayak merasa ada sesuatu yang aneh nih, ada sesuatu yang membuat akhirnya ayah gue harus dieksekusi mati.”

Sebelum dieksekusi, interaksi seperti apa yang terbangun dengan Freddy Budiman?

“Full semua yang saya obrolin pasti tentang kehidupan, dan apa yang harus saya lakukan, dari saat itu sampai rencana ke masa depan. Itu yang selalu saya obrolin sama papa.”

“Saya sama papa selalu memanfaatkan waktu secara berkualitas, terutama obrolan. Saya nggak banyak ngobrolin tentang kasus papa, tapi saya tahu apa yang terjadi sama papa. Saat itu, papa lebih fokus ngasih banyak wejangan lah ke saya.”

Informasi seperti apa yang diterima keluarga jelang eksekusi?

“Dikasih informasi bahwa papa dieksekusi hari Jumat, nah hari Senin kita baru dikabarin. Kita datang semua ke Cilacap waktu itu. Jadi hari Senin kita berangkat ke Cilacap, Selasa tuh nyampe sana, Rabu kita jenguk, Jumat dieksekusi.”

“Saya hadir langsung ke LP Nusakambangan, Cilacap. Kita ke sana cuma empat orang: saya, kakak papa yang cewek, kakaknya yang cowok, sama mamanya yang pergi ke sana, kita berempat aja. Di situ, saya merasakan momen paling menyakitkan, saat harus merelakan papa saat itu.”

“Karena kan ya kita harus rela kehilangan seseorang, terutama sosok ayah dan lebih parahnya, kita tahu kapan ayah kita meninggal. Ya di situ momen paling sakit yang pernah gue rasain, ya saat nemenin itu.”

“Kalau untuk eksekusi, nggak (lihat) langsung ya. Tapi saya tetap di situ. Sebenarnya papa tuh punya beberapa permintaan, tapi nggak bisa dikabulin dari pihak kepolisian.”

“Yang pertama itu salah satunya yang nggak dikabulin, papa tuh pengen setelah meninggal, dia itu minta dimandiin sama saya waktu itu. Di situ pengen dimandiin, tapi karena alasan psikologis dari kepolisian akhirnya saya nggak boleh.”

“Jadi ya saya terima aja kondisinya. Jadi pas datang tuh papa udah jadi jenazah, udah rapihlah, udah di peti mati.Terus pas malam antara hari kedua ke hari ketiga, papa minta untuk diizinkan supaya saya tuh bisa tidur sama dia di dalam Lapas”.

“Tapi tetap nggak boleh juga waktu itu sama kepolisian karena alasan psikologis lagi. Waktu itu, papa sempat bilang ke petugas kalau `anak ini udah gede, anak ini mentalnya udah kuat`, tapi tetep ditolak. Jadi dia di hari kedua pengen tidur sama saya, tapi ditolak, dan hari ketiga dia dieksekusi mati, lalu kita pulang.”

Apa yang diharapkan dengan hukum di Indonesia?

“Pasti yang pertama keadilan. Yang selanjutnya pasti pengen meninjau lagi tentang eksekusi mati ini, tentang hukuman mati ini. Saya nggak pengen ada lagi korban-korban seperti papa terjadi di orang lain, karena hukuman mati ini sangat tidak manusiawi, baik yang menerima dan ditinggalkan.”

“Bebannya nggak bisa lagi kita deskripsikan. Makanya saya nggak pengin banget hukuman seperti ini terjadi lagi seperti yang papa. Dampaknya, seperti yang saya alami, selayaknya seorang anak dan seorang ayah. Bahkan, saya menghadapi itu semua pas masih di bawah 17 tahun, akhirnya sekarang saya udah jadi cukup kuat.”

Apakah langkah ke depan bakal terus menyuarakan keadilan?

“Pasti, tapi fokusnya ke kemanusiaan dulu. Saya pengin menunjukkan kalau kemanusiaan itu penting banget. Setelah soal kemanusiaan sudah saya suarakan dan junjung tinggi, ya saya berharap keadilan pun akan semakin rata lagi di Indonesia.”

“Dan lebih bersyukur lagi ketika memang pada akhirnya hukuman mati ini bisa sesuai apa yang diharapkan dan seadil-adilnya.Ya alasannya karena saya sayang papa. Saya sudah rela, sudah iklas dengan kepergian papa, tapi sekali lagi saya merasa ada yang aneh saja.”

“Saya hanya sekedar sebatas tidak ingin hal ini terjadi lagi untuk orang lain, siapapun itu.Dan kalaupun harus terjadi, proses menuju ke hukuman mati ini harus bener kita fokuskan dan harus benar-benar dipantau dan ditinjau.”

“Sebenarnya ini harus dibahas secara penuh ya karena masih timpang tindih dan hukuman mati ini tertuju sama siapa itu masih belum jelas. Misalnya di kasus korupsi, mau korupsi sekecil dan sebesar apapun, tapi tidak akan sampai dijerat hukuman mati. Jadi kayak seakan batasnya hanya sekedar kasus narkoba dan teroris aja yang pasti dihukum mati, sementara koruptor malah dihukum ringan. Padahal masih banyak kejahatan-kejahatan lain yang harus ditinjau.”

Share: Pengakuan Anak Freddy Budiman: dari Permintaan Terakhir Jelang Eksekusi Mati hingga Kejanggalan Hukuman