Penggunaan pendekatan keamanan dalam penanganan pandemi Covid-19 dianggap tidak pernah berhasil di Indonesia. Malah, pelibatan TNI-Polri hingga BIN dalam penanganan pandemi berimbas pada pelanggaran terhadap prinsip hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, pendekatan ini harus dihentikan.
Dalam konferensi pers daring yang digelar oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Selasa (27/7/2021), Kontras berpandangan pendekatan keamanan dalam penanganan pandemi Covid-19 juga telah berimplikasi pada rusaknya tatanan demokrasi.
Di sisi lain justru menimbulkan arogansi serta kekerasan aparat di lapangan.Namun, meski gagal, pemerintah sepertinya tak lelah menggunakan pendekatan ini. Buktinya, pemerintah tetap memanfaatkan TNI-Polri untuk memantau pembatasan durasi makan di tempat selama 20 menit.
Kepala Divisi Hukum Kontras, Andi Muhammad Rezaldy, menyebut pelibatan TNI-Polri dan BIN selama lebih dari setahun pandemi ini mempertontonkan ketidakprofesionalan sektor keamanan negara ketimbang keberhasilan mengendalikan pandemi. Selain melakukan tugas-tugas yang bukan kewenanganannya, pantauan Kontras setahun terakhir juga menunjukan adanya korban di lapangan.
“Hal ini terjadi karena negara lebih memilih menggunakan pendekatan kemanan daripada memberikan pemenuhan hak atas kesehatan,” kata Andi.
Baca Juga: PPKM Level 4, Makan di Warung Diawasi TNI
Catatan Kontras, pada tahap PSBB dan PSBB Transisi yang dilakukan sejak April 2020 hingga Januari 2021 ada 17 peristiwa kekerasan yang melibatkan TNI, Polisi, Satpol PP, dan Satgas Gabungan. Peristiwa ini mencakup pada penganiayaan, penangkapan dengan sewenang-wenang, penembakan dengan water canon, intimidasi, dan pembubaran paksa.
Hingga pelaksanaan PPKM ini, jumlahnya menjadi 29 tindakan kekerasan dengan 19 tindakan dilakukan oleh Kepolisian. Tindakan terbanyak berupa penangkapan sewenang-wenang. Yang terbaru ada tiga orang ditangkap pada 19 Juli 2021 karena dianggap menyebarkan hoax terkait seruan aksi menuntut pemerintah memberikan solusi kesejahteraan pada PPKM Darurat di Jawa Tengah.
“Ini tentunya menambah deret penderitaan masyarakat di tengah pandemi,” kata dia.
Sayang dari sejumlah temuan ini, terlihat adanya diskriminasi kelas. Menurut Andi, dari upaya penindakan yang dilakukan, mayoritas lebih diarahkan pada masyarakat menengah ke bawah.Padahal kalau dilihat lebih jauh, pelanggaran yang mereka lakukan pada aturan PSBB kemudian PPKM adalah keterpaksaan mereka yang dibatasi sumber penghidupannya selama pandemi.
Sementara, pemerintah, meski ada instrumen hukumnya lewat UU Kekaratinaan Kesehatan, lebih memilih opsi otak-atik lewat istilah PSBB dan PPKM yang tidak mensyaratkan pemenuhan hak dasar warga negara.
“Padahal pemerintah memiliki kewajiban dan warga negara memiliki akses pemenuhan terhadap kebutuhan dasarnya. Namun itu tidak diambil oleh pemerintah sebagai salah satu kebijakannya. Yang terjadi justru sebaliknya,” ucap dia.
Sementara bagi para pengusaha, pemerintah terkesan lebih memberi kemudahan. Salah satunya lewat penyelenggaraan Musyawarah Nasional Kamar Dagang Indonesia yang digelar pada 30 Juni sampai 1 Juli 2021 lalu. Munas ini bahkan dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo.
“Hasilnya ada penyebaran Covid-19 di sana. Dengan 16 peserta positif, dan satu di antaranya meninggal. Publik sebetulnya sudah mengingatkan bahkan mengecam tapi pemerintah tak mendengar. Hal ini lah yang memperlihatkan ada diskriminasi dalam penegakan aturan,” ucap dia.
Penanganan Pandemi Dijadikan Dalih
Di tengah pandemi Covid-19, penanganan pandemi dan penegakan protokol kesehatan kerap dijadikan dalih untuk melakukan pembungkaman dan represi. Pemantauan Kontras dalam pelaksanaan PSBB tahun lalu, setidaknya ada 29 tindakan atau kebijakan dan 19 kasus pelanggaran yang dilakukan kepolisian namun tidak berdampak baik pada penanganan Covid-19.
“Malah berimplikasi pada menyusutnya kebebasan sipil,” kata dia.
Di level kebijakan, khusus untuk Polri, Kontras melihat ada dua hal yang jadi sorotan. Yakni surat telegram Kapolri soal penanganan kejahatan di ruang siber selaman penanganan Covid-19 dan surat telegram soal penanganan omnibus law di tengah pandemi.
Menurut Kontras, kedua arahan ini dijadikan sebagai dasar kepolisian untuk melakukan pengerahan aparat secara besar-besaran dan masifnya penangkapan sewenang-wenang.
Staf Divisi Riset dan Dokumentasi Kontras Rozy Brillian menyebut hal yang sama juga terjadi pada institusi TNI dan BIN. Menurutnya, dua institusi ini terlalu jauh mencampuri pada pelaksanaan penaganan pandemi. Yang mana, tindakan-tindakan ini justru melangkahi kewenangan mereka yang sudah diatur dalam UU.
Dalam konteks TNI, pelibatan yang dilakukan oleh negara itu cenderung berlebihan. Di antaranya penjemputan WNI dari Wuhan, Tiongkok di awal pandemi, ikut ambil bagian dalam penelitian obat, hingga menegakan protokol kesehatan di lapangan dengan menggunakan alutsista saat PPKM Darurat lalu.
“Bahkan TNI diamanatkan mengambil alih program vaksin nusantara,” kata Rozy.
Hal ini justru menciptakan kekacauan. Ada kesan operasi TNI dan pendekatan militeristik dilakukan negara dalam penanganan Covid-19. Apalagi banyaknya sejumlah purnawirawan turun gunung ikut ambil bagian. Hal yang berbeda justru tidak terlihat pada pelibatan ahli-ahli kesehatan.
“Justru itu diberikan kepada purnawirawan militer yang tentu saja lebih memiliki pandangan militeristik. Jadi beberapa jurnal internasional juga sudah me-review bahkan Indonesia sudah masuk pada tahap sekuritisasi karena jauhnya pendekatan keamanan dalam penanganan pandemi ini,” kata dia.
Adapun peran BIN, tak kalah kacaunya. Kebijakan presiden terbaru yang mengajak BIN ikut ambil bagian dalam proses vaksinasi dari pintu ke pintu nyatanya tidak memberi dampak signfikan. Soalnya di lapangan masih saja ada orang yang enggan divaksin.
“Harusnya menggalakan sosialisasi daripada pendekatan intelejen. Ini malah membuat masyarakat takut, dan tugas teknis ini malah jauh dari tugas-tugas intelejen yang diamanatkan UU,” ucap dia.
Rekomendasi Kontras
Melihat sejumlah temuan dan potensi kesewenang-wenangan tadi, Kontras pun mengecam segala bentuk tindakan represif yang dilakukan petugas di lapangan baik itu dari Polri, TNI, maupun Intelijen utamanya terhadap masyarakat.
Kontras berpandangan, tidak terkendalinya penyebaran COVID-19 di Indonesia menunjukan bahwa pemerintah tidak mampu mengefektifkan langkah yang diambil dengan melibatkan TNI, Polri, dan BIN.
Berdasarkan hal tersebut, Kontras mendesak Presiden Jokowi untuk melakukan audit dan evaluasi menyeluruh perihal efektivitas pelibatan BIN, TNI, dan Polri dalam mengendalikan pandemi. Ini dilakukan agar institusi ini dapat bekerja sesuai dengan kapasitasnya, tidak sewenang-wenang dan mengancam kebebasan sipil.
Presiden juga harus menjamin dan memastikan langkah penegakan sanksi/hukum terhadap pembatasan sosial sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.Kontras juga merekomendasikan pemerintah harus segera menghentikan pendekatan keamanan (security approach) dan segera mengambil pendekatan kesehatan serta pemenuhan hak masyarakat dalam menyelesaikan pandemi.
Represi terhadap masyarakat tidak akan menyelesaikan masalah yang ada.Kebijakan penanganan pandemi yang diambil tidak boleh menempatkan masyarakat sebagai korban. Aparat di lapangan harus lebih humanis dan memikirkan dampak selanjutnya.
Selain itu, pemerintah harus menjamin kebutuhan hidup warga negara dengan menyusun strategi pemulihan terhadap warga yang menerima dampak dari penanganan COVID-19. Lalu, memberikan kewenangan penuh bagi otoritas kesehatan dengan melibatkan pakar dan ahli untuk menyusun, memantau, serta menyampaikan rekomendasi untuk penanganan pandemi.