Covid-19

Nakes Wisma Atlet Dipecat Karena Tuntut Insentif, LBH: Bentuk Pembungkaman

Irfan — Asumsi.co

featured image
Facebook/Setkab RI

Pemberhentian tenaga kesehatan Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, setelah menuntut hak pembayaran insentifnya, dinilai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebagai bentuk pembungkaman. Pengacara LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, yang mengadvokasi para nakes ini, menyebut langkah manajemen Wisma Atlet bertentangan dengan hak-hak saksi korban yang dijamin dalam undang-undang.

Melalui laman YouTube LaporCovid 19, Nelson menyebut satu per satu perlakuan tak menyenangkan yang dirasakan oleh nakes saat menyuarakan haknya. Sebelum dihentikan, teror bahkan sudah diterima nakes, mulai dari pengambilan kartu identitas, disidang oleh polisi dan TNI dalam suatu ruangan, dan dipaksa menulis surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Nakes yang vokal juga kerap dibuat tidak nyaman dengan terus dirotasi. Mulai dari menjadi tim vaksinasi, instruktur pengarahan relawan baru hingga akhirnya diberhentikan.

“Jadi sangat berlebihan dan kemudian ini cenderung teror ya,” kata Nelson.

Beberapa Nakes Diperiksa Polisi

Saat menghubungi salah satu nakes bernama Indah Pertiwi (nama disamarkan), LBH juga kaget dengan keterangan yang bersangkutan tengah diperiksa polisi berpangkat AKBP.  Nelson, yang sempat berbicara dengan polisi pemeriksa nakes tersebut, mengatakan bahwa pemeriksaan dilakukan dengan dalih pelanggaran kode etik.

Nelson lantas meminta surat perintah pemeriksaan. “Enggak ada, ini hanya pemeriksaan internal,” ujarnya meniru jawaban polisi yang memeriksa Indah.

Ia menambahkan, kejanggalan pun mulai tercium ketika tidak ada surat perintah yang seharusnya dipegang polisi saat melakukan pemeriksaan. Sebaliknya, polisi itu malah menanyakan kepada Nelson soal surat kuasa dirinya sebagai pengacara.

Nelson pun tidak mengantonginya karena baru saja memperoleh pengaduan. Hanya saja, Indah pada saat itu berkata kepada polisi kalau dirinya telah memberikan kuasa kepada pihak LBH Jakarta.

Dari situ, Nelson mengaku heran dengan posisi polisi yang memeriksa perawat. Pasalnya, selain tidak ada surat perintah, polisi juga memeriksa pelanggaran kode etik seorang perawat.

“Kalau memang ada terjadi pelanggaran kode etik, sedianya polisi itu mengantongi surat perintah dari organisasi perawat dan didampingi oleh perwakilan dari organisasi tersebut,” ucap dia.

Baca Juga: Gangguan Kecemasan Hingga Depresi, Bagaimana Kesiapan Layanan Kesehatan Mental Kita? | Asumsi

Mengutip CNN Indonesia, Fentia Budiman, seorang nakes yang diberhentikan, mengaku sempat diinterogasi oleh polisi pada Jumat (7/5/2021). Pemeriksaan ini dimulai pukul 08.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB dan dilaksanakan di ruangan Komite Etik Wisma Atlet.

Pemanggilan Fenti dengan dalih rapat berkaitan dengan rencana konferensi pers kepada awak media yang dijadwalkan Jumat sore hari, pukul 15.00 WIB. Konpers itu tak lain dari upaya Fenti bersama Jaringan Tenaga Kesehatan Indonesia (Jarnakes) menyuarakan sekaligus menuntut insentif yang macet selama beberapa bulan terakhir.

Menurut polisi, konpers tersebut telah melangkahi wewenang dan tak mewakili Wisma Atlet. Oleh karena itu harus dibatalkan.

“Tidak boleh. Kamu harus hapus link itu. Kalau tidak kamu tahu akibatnya, fatal,” ujar Fenti meniru petugas yang menginterogasinya.

Tak hanya mengancam, kata Fenti, petugas bahkan sempat berniat melaporkannya dengan tuduhan melanggar UU ITE. Meski akhirnya laporan tersebut tak sampai dilakukan, Fenti diminta menandatangani sebuah surat pernyataan untuk membatalkan konpers.

“Kalau sampai aku mau nyebarin link zoom dan membuat siaran pers, aku dapat konsekuensinya. Tapi aku itu diinterogasi selama 5 jam, dari jam 8.00 WIB -13.00 WIB. Dibentak-bentak,” kata dia.

Keesokan harinya, Sabtu (8/5/2021) dua petugas Wisma Atlet mendatangi kediaman Fenti di Jakarta Selatan untuk meminta kartu identitas atau id Fenti. Pada Senin (10/5/2021), Fenti menghubungi bagian sekretariat dan meminta kembali id-nya yang dirampas tanpa prosedur.

Namun di hari itu, semua tugas-tugas Fenti mendadak dicabut. Ia lalu diminta datang ke ruang sekretariat, untuk mengambil surat purna tugas sebagai perawat di Wisma Atlet. “Saya sudah tidak lagi bekerja sejak 10 Mei kemarin,” kata Fenti.

Fenti diberhentikan lewat Surat Perintah Nomor Sprin/4370/V/2021/RSDCWA yang ditandatangani dr. Asnominanda selaku Koordinator RSDC Wisma Atlet Kemayoran. Fenti dipecat tiga hari setelah rencana konpers ‘dibatalkan’ petugas. Konpers itu sedianya memaparkan data hasil temuan di berbagai daerah.

Wisma Atlet Bantah Tuduhan Pemecatan

Masih dari CNN Indonesia, Komandan Lapangan Satgas Covid-19 RSD Wisma Atlet Letkol TNI Laut M. Arifin membantah pihaknya telah memecat Fenti. Menurut dia, pemberhentian terhadap Fenti adalah karena ia telah habis masa kontrak per Sabtu (8/5/2021) lalu, dan tak terkait dengan rencana konpers yang akan dilakukan olehnya.

Arifin berkata, pihak Wisma Atlet memiliki catatan setiap bulan untuk mengevaluasi kinerja nakes. Menurut dia, pemberhentian Fenti selaku perawat di Wisma Atlet murni karena kinerja.

“Kinerja lah. Semua kan berproses. Pas tanggal 8 memang habis. Kan ada surat tugas tiap bulan diperpanjang,” kata dia.

Meski demikian, dia turut menyebut aksi yang dilakukan Fenti telah melangkahi wewenang Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet untuk menggelar rilis pers. Selain itu, katanya, upaya Fenti menggalang suara sesama nakes seperti cara buruh tak bisa dibenarkan.

Arifin juga memastikan bahwa semua insentif nakes yang sempat terlambat saat ini telah dicairkan. Sedikitnya ada sekitar 2.600 nakes yang bekerja di RSDC Wisma Atlet. Jumlah yang mereka terima, katanya, bervariasi antara Rp13 juta sampai dengan Rp30 juta.

Kemkes Bayar Tunggakan Insentif Nakes

Sementara itu, Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari mengatakan, Kemenkes telah selesai membayarkan tunggakan pembayaran insentif tahun 2020 bagi relawan RSDC Wisma Atlet sebesar Rp 11,8 miliar untuk 1.613 tenaga relawan pada 6 hingga 10 Mei 2021. Tunggakan tersebut merupakan pembayaran insentif untuk Bulan Desember 2020, yang mana tidak dapat diberikan pada tahun yang sama dan akan dibayarkan pada tahun 2021.

Sementara untuk pembayaran insentif tahun 2021, Kemenkes telah membayarkan untuk Bulan Januari hingga Maret dengan cara transfer mandiri ke rekening tenaga kesehatan. Sedangkan insentif untuk bulan April, masih dalam proses pengajuan SPM.

“Teman-teman RSDC juga sudah tepat waktu mengajukan untuk Januari, Februari, dan Maret. Pembayarannya dibayarkan langsung ke para tenaga kesehatan,” ujarnya dalam siaran pers di laman Sekretariat Kabinet, Rabu (12/5/2021).

Baca Juga: Belum Terima Insentif Sejak November 2020, Nakes Wisma Atlet Merana!

“Kami masih memiliki tanggung jawab menyampaikan data untuk direviu BPKP sebesar Rp 382 miliar. Sebagian datanya sudah diproses oleh BPKP, sehingga 1- 2 hari pascalibur kami harapkan sudah disetujui BPKP sehingga kami proses pembayarannya,” ujarnya.

Mengadopsi sistem yang baru ini, maka ditargetkan proses pembayaran insentif akan rampung dalam kurun waktu satu minggu setelah libur Lebaran.

Menurut Kirana, akurasi data akan sangat menentukan kecepatan pembayaran insentif. Apabila terjadi perbedaan dengan tahun sebelumnya, maka proses pembayaran membutuhkan waktu yang lama karena perlu dilakukan verifikasi kembali.

“Kemenkes terus memantau apakah pembukaan rekening baru relawan telah terealisasikan atau belum,” tuturnya.

Kirana menambahkan, ke depan kemungkinan proses pembayaran insentif akan dilakukan rutin per bulan. Fasilitas layanan kesehatan diminta untuk dapat mengajukan usulan tepat waktu, sehingga jumlah yang diinput di aplikasi tidak menumpuk.

“Jangan menunggu Mei-Juni baru diajukan di Bulan Juli. Jadi, kalau bisa, insentif Juni diajukan Mei, Juli diajukan Juni. Supaya kami bisa secara rutin membayarkannya, tidak dikumpulkan beberapa bulan baru diajukan,” ujarnya.

Kirana menuturkan, paham bahwa seluruh relawan belum sepenuhnya menerima rekening baru. Hal ini karena proses pembukaan rekening membutuhkan waktu untuk divalidasi.

Ia menambahkan, pembayaran insentif harus dikirimkan langsung ke rekening tenaga kesehatan, tidak boleh melalui fasilitas kesehatan. Hal ini dengan merujuk pada perubahan sistem tahun 2021. Hal ini untuk menghindari adanya penyimpangan, keterlambatan pembayaran insentif sekaligus sebagai bentuk transparansi pemerintah.

Share: Nakes Wisma Atlet Dipecat Karena Tuntut Insentif, LBH: Bentuk Pembungkaman