Isu Terkini

Nadiem Naikkan Bantuan Kuliah, Tapi Kriterianya Dikritik

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Humas Kemendikbud

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengubah skema Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah) dengan memberikan bantuan uang kuliah dan biaya hidup yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Perubahan itu berlaku bagi mahasiswa penerima KIP Kuliah pada tahun 2021. Skema baru KIP ini pun mencuri perhatian publik, hingga menjadi perbincangan di jagad maya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makariem, menargetkan skema baru KIP ini diberikan kepada 200 ribu mahasiswa baru pada perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) di bawah naungan kementeriannya. 

Bantuan Disesuaikan dengan Akreditasi Prodi dan Daerah

Nadiem mengungkapkan, anggaran yang dialokasikan untuk KIP Kuliah meningkat signifikan dari Rp1,3 triliun pada 2020, kini menjadi sebesar Rp 2,5 triliun. “Dengan demikian, kami berharap KIP Kuliah semakin memerdekakan calon mahasiswa untuk meraih mimpinya,” ujarnya dikutip dari Tempo.

Adapun untuk besaran biaya pendidikannya, bakal disesuaikan dengan program studi (prodi) masing-masing, berdasarkan nilai akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). “Untuk prodi berakreditasi A, mahasiswa penerima KIP Kuliah Merdeka ini akan bisa mendapatkan maksimal Rp 12 juta. Kemudian, prodi berakreditasi B bisa mendapatkan maksimal Rp 4 juta. Sementara itu, prodi berakreditasi C bisa mendapatkan maksimal Rp 2,4 juta,” jelasnya dikutip dari Detik.com.

Selain itu, tak seperti tahun sebelumnya, biaya hidup bagi penerima KIP Kuliah tahun ini bakal disesuaikan dengan indeks harga daerah. Besaran biaya hidup yang diterima mahasiswa pemegang KIP Kuliah Merdeka ini dibagi ke dalam lima klaster daerah.

“Klaster pertama sebesar Rp 800.000, klaster kedua sebesar Rp 950.000, klaster ketiga sebesar Rp 1,1 juta. Sementara untuk klaster keempat sebesar Rp 1.250.000, dan klaster kelima sebesar Rp 1,4 juta,” kata Nadiem.

Berpotensi Picu Ketidakadilan

Menyikapi rencana perubahan skema KIP Kuliah ini, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Budi Djatmiko memberikan apresiasi. “Tentu saya mengapresiasi ke Mas Nadiem karena ini berbeda dari sebelumnya. Kita ini dulu PTS hanya dapat 5 persen dari total bantuan. Kalau demikian, berarti kan, sudah naik 60 persen,” katanya kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Selasa (30/3/21).

Namun, Budi menyoroti soal pemberian bantuan akan dibagi atas dasar akreditasi prodi A, B atau C. Menurutnya, hal ini perlu dikritisi karena bila demikian, berpotensi memicu ketidakadilan.

“Hemat saya, pandangan pemerintah kan, kalau prodi yang akreditasi C itu perguruan tingginya masih kecil, B perguruan tinggi sedang dan akreditasi A perguruan tinggi besar. Artinya, ini yang kaya disumbang semakin besar, sementara perguruan tinggi kecil yang miskin, semakin kecil dapat bantuannya, semakin miskin,” tuturnya. 

Di sisi lain, dirinya juga mengerti bila bantuan untuk mahasiswa di program studi akreditasi A, biasanya biaya kuliah di kampusnya mahal maka perlu mendapatkan bantuan. “Cuma kebanyakan yang kuliah di perguruan tinggi negeri akreditasi A misalnya, itu kebanyakan orang yang punya uang. Masa dapat bantuannya lebih gede,” ungkapnya. 

Ia menyarankan, seharusnya Mendikbud juga mendengar aspirasi dari perguruan tinggi swasta kecil yang justru sama sekali tidak pernah menerima bantuan, baik untuk mahasiswa atau keperluan akademik.

“Kalau bicara bantuan, enggak ada. Bantuan itu misalnya Rp89 triliun unruk PTN, PTS itu bantuan 10 persen saja dari itu enggak dapat. Padahal jumlah PTS kita itu ada 4520, sementara PTN hanya 200, tapi mereka mendapatkan porsi 90 persen lebih dari APBN,” terang Budi. 

Selain itu, dirinya juga menyarankan sebaiknya Mendikbud memberikan bantuan KIP sama besarnya tanpa melihat akreditasi prodi atau dilakukan secara bergilir. 

“Kalau ada bantuan jangan diberikan ke perguruan tinggi yang prodi atau kampusnya akreditasi A saja lah. Adil saja dikasih merata nominalnya atau kalau mau bergilir. Semester pertama, mahasiswa prodi dengan akreditasi A yang dapat nominal besar, berikutnya B dan kemudian C di semester berikutnya. Gantian gitu lho kalau beri bantuan,” tandasnya.

Nadiem Dinilai Pilih Kasih

Pengamat Pendidikan dari Komisi Nasional Pendidikan, Andreas Tambah justru mempertanyakan, mengapa Menteri Nadiem hanya fokus memberikan bantuan suntikan dana yang besar untuk mahasiswa. Menurutnya, hal ini menunjukkan sikap pemerintah yang pilih kasih.

“Kalau memang Mendikbud mau memajukan pendidikan lewat suntikan dana kepada peserta didik, seharusnya jangan pilih kasih, masa cuma mahasiswa doang. Pendidikan kita, rata-rata orang Indonesia enggak lulus SMA. Artinya, masyarakat kita yang masuk jenjang perguruan tinggi masih sangat sedikit,” tuturnya.

Ia menilai, seharusnya yang menjadi prioritas menerima bantuan yang besar adalah pelajar, bukan mahasiswa. “SD, SMP dan SMA itulah yang diberikan. Paling tidak, supaya wajib belajar 12 tahun bisa tuntas,” terangnya.

Andreas melanjutkan, sebagian di sekolah negeri memang ada program bantuan operasional sekolah (BOS) yang berjalan. Namun, jumlah sekolah negeri dan swasta yang saat ini sudah seimbang, menyebabkan program ini tak berjalan baik.

“Sehingga, dalam hal ini banyak murid kita yang putus sekolah karena enggak tertampung di negeri lalu masuk swasta juga enggak mampu bayar banyak. Seharusnya peserta didik yang ada di bawah dulu yang diperhatikan dapat bantuan besar,” ujar dia.

Share: Nadiem Naikkan Bantuan Kuliah, Tapi Kriterianya Dikritik